Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #7

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Sudah sering kita mendengar ungkapan “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama”. Bahkan kata-kata itu sering menjadi semacam jargon yang digembor-gemborkan di mana-mana.

Tapi apakah yang disebut memberikan manfaat? Barangkali kita perlu sering-sering mengambil ibrah (hikmah/pelajaran) dari para guru kita, panutan kita tentang kebermanfaatan kepada sesama.

Sebagai santri Tebuireng (semoga diakui), saya tentu banyak menganalisa ibrah dari sang pendiri pesantren, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Kalau tidak berlebihan, saya boleh menyebut beliau adalah telaga kebermanfaatan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beliau mengalirkan air manfaat kepada sesamanya dalam berbagai bidang, baik sebagai guru, pengajar, maupun manusia pada umumnya. Berikut beberapa hal yang patut kita ambil pelajaran dari Kiai Hasyim sebagai telaga kebermanfaatan:

1. Mendahulukan Kepentingan Umat daripada Diri Sendiri

Pernah mendengar Kiai Hasyim memperkaya diri sendiri? Memanfaatkan ketenaran untuk diri sendiri? Secara pribadi saya tak pernah mendengarnya. Yang ada justru beliau mewakafkan diri untuk kepentingan orang banyak. Sebenarnya tak perlu menjelaskan apa-apa kita akan bisa memahaminya, Tebuireng dan NU adalah buktinya.

Dua elemen air telaga itu telah memberikan cahaya bagi bangsa dan umat. Pengabdian tanpa batas untuk kemaslahatan. Salah satu santri beliau, KH. Abu Bakar Jombang saat kami wawancara memberikan pengakuan tentang bagaimana Kiai Hasyim menerapkan pembayaran syahriah (SPP) kepada para santri. Tak ada batasan. Bebas semampunya. Hasil bumi boleh, uang boleh, bahkan mungkin tak punya apa-apapun juga boleh.

Kiai Abu Bakar contohnya yang berasal dari keluarga tidak berada, kadang tidak mampu membayar syahriah. Tetap dimaklumi oleh beliau. Bahkan beliau sering tombok (sebaliknya mengeluarkan uang pribadi) untuk kepentingan pesantren. Seperti saat ada akhirus sanah (kegiatan akhir tahun) beliau selalu menyembelih sapi untuk syukuran.

Seluruh santri bergembira ria seperti Idhul Adha kedua selama setahun itu. Sebagian besar santri dari keluarga tidak mampu, tentu senang sekali berpesta daging. Kita tahu, beliau juga bertani dan berdagang, punya sawah, kebun, tambah, dan peternakan.

Tapi sebagian besar hasil itu, tidak jauh-jauh dari perjuangan. Dibuat mengembangkan Tebuireng, membangun beberapa masjid untuk masyarakat, membantu ekonomi masyarakat, dan tentu saja dakwah. Bahkan, jika tidak dilarang oleh sang putra, Kiai Yusuf Hasyim, beliau mungkin akan juga masuk dalam perjuangan senjata.

Dalam satu kesempatan meminta sang putra itu untuk mengajari cara menggunakan pistol untuk melawan penjajah. Atau, beliau bisa saja duduk di istana negara menerima jabatan presiden, tetapi taruhannya meninggalkan Tebuireng dan Jombang yang sangat beliau cintai.

Atau, menjadi pejabat Hindia Belanda dengan lencana emas dan perak, taruhannya harus menghentikan pesantren yang berdarah-darah beliau dirikan. Tak kuasa kata-kata terlalu panjang untuk menjelaskan poin ini, karena sungguh telah banyak bukti yang nyata.

2. Mencintai dan Mengamalkan Ilmu

Sungguhpun kita menjelaskan poin ini panjang lebar tidaklah cukup membeberkan seberapa besar beliau mencintai ilmu. Sampai-sampai beliau menulis kitab khusus untuk para pelajar dan guru bagaimana menjalankan pendidikan berbasis akhlak.

Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Dari Wonokoyo, Langitan, Siwalan, Bangkalan, sampai ke Mekkah dan Madinah di tanah Haramain. Saking cintanya dengan ilmu, sempat menolak, ketika ditawari menikah oleh guru beliau.

Istri beliau sampai-sampai cemburu dengan buku dan kitab-kitab karena hari-harinya diwarnai dengan belajar dan mengajar. Mengurus pesantren dan santri. Saat sakitpun beliau menyempatkan untuk mengajar untuk mengamalkan ilmunya.

Menurut Hadratussyaikh, tujuan pendidikan ialah pemahaman terhadap pengetahuan dan pembentukan karakter yang baik, yang penuh dengan pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten.

Beliau selalu mengatakan bahwa santri yang baik ialah santri yang bisa menjalankan apa yang dipelajari di pesantren di dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pengetahuan agama yang sudah dipelajari harus diterapkan atau dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan segudang ilmu itu tak lantas membuat seorang alim tinggi hati, tapi harus dapat berbaur dengan masyarakat sehingga tujuan dakwah dapat tercapai. Dengan segudang ilmu itu tak membuat beliau tinggi hati, justru seperti padi, makin rendah hati dan ikhlas beramal.

Keikhlasan itulah yang mencetak santri-santri yang bermanfaat pula bagi sesama. Sebut saja, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Sansuri, Kiai Mukhit Muzadi, Kiai Syafaat Blokagung Banyuwangi, Kiai Jazuli Ploso, Kiai Abdul Karim Lirboyo, Kiai Muhammad Ilyas, Kiai Adlan Aly, Kiai Ma’shum Aly, Kiai Idris Kamali, Kiai Sansuri Badawi, Kiai Tahmid, Kiai Romli Tamim dll.

Mereka semua menjadi pionir di tempat masing-masing dan bidang masing-masing. Minimal yang kami temukan, santri beliau menjadi kiai kampung yang memberikan warna di tengah masyarakatnya. Keikhlasan beliau dalam mengamalkan ilmu sebagai sarat wajib ilmu yang bermanfaat telah menjadi warna untuk umat dan bangsa ini.

3. Meninggalkan Warisan yang Bermanfaat

Warisan yang dimaksud di sini bukanlah harta benda dunia. Tetapi lebih shodaqoh jariyah yang manfaatnya bisa kita rasakan hingga saat ini.

Pertama, adalah Tebuireng sendiri. Pesantren yang beliau dirikan dengan delapan santrinya pada 1899. Pesantren yang telah mencetak kader-kader dari berbagai bidang. Hingga 120 tahun usianya, Tebuireng telah dan tetap memberikan ruang pengabdian kepada umat dan bangsa yang tak terhingga besarnya. Tidak hanya dari sisi kaderisasi santrinya, tetapi juga kebermanfaatkan sosial dan ekonomi.

Tebuireng telah membela negara dan agama sejak awal didirikan. Bahkan belum banyak dibunyikan di mana-mana, pada kira-kira tahun 1938 lagu Indonesia Raya karya WR Supratman telah secara berani dikumandangkan di Tebuireng lengkap dengan bendera Merah Putihnya. Pesantren pertama barangkali yang melakukan upacara bendera. Hal ini diungkapkan langsung oleh santri beliau, KH. Abdurrahman Badjuri.

Kedua, Nahdlatul Ulama (NU). Jami’yah Diniyah (Ormas keagamaan) ini telah menjadi warisan terindah dari beliau. Hingga sekarang ini NU telah konsisten mengabdi.

Tak terhitung peran NU untuk bangsa dan umat, mulai dari pendidikan, keagamaan, perjuangan dan pergerakan nasional, sampai ekonomi dan sosial. Muslimat NU, menjadi yang paling tersorot kesuksesannya. Titik baliknya adalah nasihat dari beliau untuk mendirikan sekolah, madrasah, dan penguatan ekonomi kesehatan, hingga sekarang punya ribuan lembaga.

Ketiga, Persatuan umat Islam. Melalui kegiatan pendidikan dan organisasi, beliau ingin sekali menyatukan umat yang terpecah belah oleh politik yang didesain penjajah. Masyumi dan MIAI adalah bentuk rilnya.

Melalui dua organisasi itu, beliau berhasil menghimpun umat dari berbagai ormas dan aliran untuk bersatu berjuang melawan tekanan Belanda dan Jepang, maupun Sekutu pasca kemerdekaan. Di antara pesan yang ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari kepada para ulama pesantren di Jawa dan Madura tentang pentingnya persatuan ialah:

“Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebakan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan bersengketa.”

Keempat, kemerdekaan bangsa. Siapa menyangkal bahwa salah satu warisan beliau yang paling kita rasakan adalah kemerdekaan bangsa ini. Berlebihan kah? Walaupun tidak hanya beliau yang berjuang, tapi beliau patut kita sebut sebagai Bapak Bangsa atau Pendiri Negara.

Mulai dari resolusi Jihad, hingga ide dasar negera yang beliau titipkan putra beliau, KH. A. Wahid Hasyim. Bahkan Kiai Hasyim adalah penasihat para pajuang bangsa, seperti Bung Tomo, Jenderal Soedirman, dan Soekarno.

4. Dzurriyah yang Bermanfaat

Nomor empat ini, tidak usah dijelaskan panjang lebar, wong sudah nyata. Kita melihat, beberapa keluarga Tebuireng punya peran besar di masyarakat, agama, maupun negara. Sebut saja Kiai Wahid Hasyim, putra beliau. Sebagai pendiri negera, perumus dasar negera, dan Menteri Agama pertama.

Kiai Yusuf Hasyim dan Kiai Kholik Hasyim, pejuang kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. KH. Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI, pejuang kemanusiaan. KH. Salahuddin Wahid, pejuang HAM dan guru bangsa. Ada juga dr, Umar Wahid, dokter senior penggerak Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan masih banyak lagi tak bisa disebutkan satu.

Mereka menjadi bermanfaat bukan karena nama besar Kiai Hasyim, tetapi didikan dan gen perjuangan dari beliau, yang tak bisa dipungkiri oleh siapapun. Semoga dzurriyah muda juga mengerti akan fakta ini, sehingga keluarga dan santri, ditambah lagi nahdliyin sama-sama bermanfaat.

*Penulis adalah Anggota Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.