sumber foto: headersfortwitter.com

Cerpen oleh: Hayah Nisrina Yasmin

20 Laki-laki 1 Perempuan

Pengalaman kawan adalah pengalaman milikku pula. Terlebih kisah cinta yang juga perlu ku pelajari demi masa depan kelak, karena aku tidak ingin dipermainkan cinta. Kisah kawanku terus terkenang karena takdir yang didapatnya oleh kedahsyatan cinta.

***

Laki-laki itu nampak celingukan. Tubuhnya berehat di sudut lapangan sepakbola depan kantin. Pandangan matanya berkeliaran bukan menyaksikan permainan bola kawan-kawan yang saling menendang dan mengoper bola dengan usaha membobol gawang lawan. Pandangan tersebut bukan pula mengikuti kemana saja bola sepak itu dilarikan atau tarian rerumputan hijau yang semakin lebat. Melainkan memandang gadis-gadis sesama santri yang berhamburan di kantin depan gedung asrama mereka. Dan akhirnya tatapan tersebut terpaku pada satu gadis idamannya sejak lama. Hingga permainan bola selesai, tatapannya tak bisa terlepas. Sudah tertebak, pasti Ia sengaja berehat dengan mata yang sama sekali tidak berkedip.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Tito, ayo balik ke kamar. Kita mandi, salat maghrib, lalu pengajian,” ajakku seraya mengulurkan tangan agar lelaki kasmaran ini lekas bangun dari duduk nikmatnya.

“Ingin ku tinggalkan mata ini demi menatap Meyra,” balasnya tetap terpaku.

“Percuma saja, Meyra tidak melirikmu. Kau telah dibutakan oleh kecantikan Meyra!” kata-kata yang entah dari mana meluncur lepas dari bibirku. Sontak saja Tito mengacungkan tinjunya meski ancaman belaka.

“Lihatlah perpulangan nanti. Meyra yang akan buta olehku,”

Begitulah Tito. Optimis yang membara menancap kuat pada dirinya. Selepas perpulangan, kudengar kabar Tito dilanda bencana cinta. Namun hal itu tak menyapa baginya. Karena menyerah tidak pernah mengalir pada nadi lelaki tersebut. Menyatakan cinta dengan penolakan teramat sederhana sudah menjadi konflik yang sering dijumpai dalam percintaan.

“Maaf, diantara kita tidak terdapat kemiripan. Bukankah hubungan yang langgeng adalah dengan adanya kemiripan pada pasangan tersebut?” kurang lebih itulah jawaban Meyra yang kudengar ketika Tito bercerita pada seisi kamar dengan mata yang agak sembap.

Karena jiwa optimis masih menancap kuat, lelaki tersebut tetap bersikeras untuk menaklukkan bidadarinya. Sementara Meyra sendiri adalah juara satu paralel. Masih jauh perbandingannya dengan Tito yang hanya peraih ranking 10 di kelas.

“Mungkin yang dimaksud Meyra salah satunya adalah kemiripan kemampuan otak,” celetuk salah satu kawan sekamar Tito.

“Bukankah itu merendahkanmu secara halus?” sahutan itu membuat gelagak tawa pada seisi kamar.

“Bisa saja kisah perjalanan cinta Meyra sama dengan kisah perjalanan mencari saudara kembar dia yang hilang,” tawaan menjadi semakin menggelagar. Suara-suara berat dan besar kini menjadi bersahutan.

Entah apa yang ada dipikirkan laki-laki bertubuh tegap itu. Tidak sedikitpun Ia menggubris komentar kawan seisi kamar. Seingatku, semenjak itu seringkali Tito amat tekun di kelas maupun di kamar. Entah itu secara diam-diam ataupun terbuka. Sangat berbanding terbalik dengan semester lalu. Jika yang lalu tidur adalah kebiasaannya, kini digantikan oleh belajar.

Jika yang lalu tempat kabur adalah tongkrongan ternyamannya, kini digantikan oleh ruang belajar. Jika yang lalu nilai 7 adalah langganannya, kini rentetan angka 9 bahkan 10 mengantri. Dan jika yang lalu aku dan kawan-kawan adalah sahabat yang menemani kemanapun Ia pergi, tempat Ia berbagi cerita suka atau duka dan gurauan-gurauan nakal, kini posisi kami sebagai sahabat telah digantika oleh buku. Namun, tetap yang lalu adalah Meyra.

Diriku kehilangan satu kawan. Sementara kawanku kehilangan banyak kawan. Inikah kekuatan cinta? Apalah dayaku yang belum dapat memahami arti perasaan. Dan di sinilah mulai kupahami arti perjuangan.

Adalah waktu perpulangan sekaligus penerimaan raport kenaikan kelas. Tidak berbeda dengan semester lalu, juara paralel kembali diserukan di aula agung pondok. Dipertontonkan oleh seluruh santri, walisantri, dan guru SMP-SMA se-yayasan. Setiap peraih juara diharapkan untuk maju menerima piala dan segenap penghargaan lain. Juara pertama tetap diraih oleh Meyra, si cantik dari X-3. Juara kedua juga didapatkan murid yang sama dari juara semester lalu. Hanya paralel ketiga yang tidak dapat disangka. Dialah Tito Azhuri, berkat kegigihannya, lelaki bertubuh tegap itu hampir menyamaratakn target.

***

Kembali mencuat kabar seusai liburan dari dongengan Tito. Menjadikan kabar itu menyebar luas secepat aroma asap yang tercium sangat. Meyra tetap bersikukuh untuk menolak pernyataan cinta lelaki yang berjuang penuh untuknya. Sejatinya, gadis yang dianggap Zulaikha oleh Tito mengerti akan perjuangan Tito untuk memenuhi kemiripan kemampuan otak. Sedangkan yang ditolak terus melanjutkan asanya.

Meski diriku tidak lagi berkawan dengan lelaki tagap yang kini tidak setegap dulu, tetapi diriku tetap memperhatikan perkembangannya. Terutama pada kasmaran lelaki yang suaranya pun tak sebesar dan berat seperti sebelum meraih juara parallel. Sesekali kutemukan Tito kena semprot guru BK karena rambut gondrongnya. Kudapatkan pula elakan-elakan yng mungkin diatas batas wajar.

Lelaki yang suaranya mulai melengking namun sedikit berat itu bersikeras untuk tidak memotong rambut hingga menyentuh bawah bahunya. Peringatan berkali-kali dibalaskan dengan bangkangan berkali-kali pula. Begitulah Tito berprinsip. Sampai pada saat gunting yang mengancam rambutnya, tangisan dan rayuan-rayuan meluluhkan hati menjadi senjata. Namun, dapat diakui bahwa semakin hari, penampilan dan wajah Tito semakin cantik.

Tidak ada lagi Tito bertubuh tegap dengan suara lantang yang besar dan berat. Di loker tempatnya menyimpan barang pun semakin padat. Handbody lotion, pelembab, bedak, dan sebagainya melekat sempurna. Raga lelaki tidak didukung jiwa kelelakian. Polesan-polesan pada tubuh Tito semakin kentara. Aroma mawar semerbak setiap kali terdapat raganya. Tak peduli jikapun hanya melesat dan sesaat.

Santriwan pun tidak lagi memberi label lelaki kepada Tito. Terlebih Meyra, gadis itu dibuat malu oleh perubahan tidak senonoh. Dan nyatanya, tidak ada apapun yang dipikirkan Tito selain Meyra. Cara apapun Ia kerahkan. Beruntungnya, pakaian yang dikenakan tetap standar santriwan. Bukankah yang dilakukannya selama ini lebih sakit dari diam dan kematian?

Kerap kali kutemukan, cinta selalu membuat seseorang berubah. Jika itu takdir cinta, tak inginku mengenalnya. Bilamana pilihan tersebut tidak dapat di dongkrak, izinkan aku untuk lepas darinya.

“Teman-teman siapa yang melihat lulurku? Wajahnya sungguh panic.

“Lulurku menghilang!” suara jeritan melengking memenuhi seisi kamar. Bahkan sudut tersembunyi dan koridor depan kamar. Di sinilah kutemukan salah satu kamar di asrama putra berisikan 20 lelaki dan satu perempuan.


Penulis adalah Siswa kelas X Sains 3