Tak hanya murid saja yang harus mempunyai adab, seorang guru juga harus memiliki adab dan tata krama dalam mendidik murid atau santri. Edisi sebelumnya kita telah mengupas beberapa etika guru menjaga harkat dan martabatnya. Edisi ini adalah kelanjutan dari edisi sebelumnya yang mengutipkan nasehat Mbah Hasyim kepada guru dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim. Berikut sepuluh nasihat beliau dari jumlah keseluruhan 20 nasihat kepada guru yang beliau tulis:
Jauhi Profesi yang Kurang Pantas
Seorang guru seharusnya menjauhi segala bentuk mata pencaharian yang rendah dan hina menurut akal sehat, juga profesi yang makruh menurut adat dan syaraiat Islam seperti tukang cantuk, tukang samak, tukang tukar-menukar mata uang, tukang pembuat perhiasan dari emas dan lain sebagainya.
Menjauhi Sesuatu yang Dapat Merendahkan Harga Diri
Guru juga sebaiknya menghindari tempat-tempat yang memungkinkan timbulnya prasangka buruk orang terhadap dirinya, meskipun kemungkinan itu jauh adanya. Tidak boleh bagi guru melakukan sesuatu yang dapat mengurangi harga dirinya (muru`ah) dan sesuatu yang secara lahir dianggap munkar, walaupun kenyataannya hukumnya boleh. Bila hal itu dilakukan berarti dia menghadapkan dirinya pada posisi rawan kena tuduhan atau prasangka yang bukan-bukan, dan bisa menyebabkan orang lain melakukan dosa dengan ber-su`uzhon padanya.
Namun, jika terpaksa melakukan perbuatan di atas, karena ada keperluan atau alasan lainya, hendaknya guru menjelaskan hukum, alasan dan maksud dari perbuatannya tersebut kepada orang yang mengetahuinya, agar tidak membuat orang itu berdosa (dengan berburuk sangka) dan lari menjauh; tidak mau menimba ilmu darinya lagi.
Oleh Sebab itu, Nabi berkata pada dua lelaki yang sedang memergoki beliau berbincang dengan Shofiyah lalu mereka bersegera pergi:”Hai kalian, Jangan terburu-buru pergi, Perempuan ini adalah Shofiyah”, kemudian berkata, “Sesungguhnya Setan itu seperti darah yang mengalir dalam tubuh manusia, makanya aku khawatir setan membisikkan sesuatu yang buruk pada kalian. Sebab hal itu akan merusak kalian.”
Menjaga Keistikamahan
Guru juga harus menjaga keistikamahan menjalankan syiar-syiar Islam dan ibadah-ibadah yang dhahir seperti shalat berjamaah di masjid, menebarkan salam pada siapa saja, amar makruf nahi munkar, serta selalu tabah atas penderitaan, teguh dengan kebenaran dimuka penguasa, pasrah sepenuhnya pada Allah SWT tanpa ada rasa takut cercaan orang dan selalu memotivasi diri dengan firman Allah SWT yang artinya, “Dan bersabarlah atas apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS Luqman: 17).
Begitu juga dengan kesabaran Nabi Muhammad SAW dan para Nabi lainnya atas penderitaan yang mereka alami dan atas pertentangan kaum sebagaimana kisah tentang Nabi Adam dengan puteranya, Nabi Syits dengan kaumnya, Nabi Nuh, Hud dan Sholih dengan kaum mereka, Nabi Ibrahim dengan Namrud serta ayahnya, Nabi Ya`qub dengan puteranya, Nabi Yusuf dengan saudaranya, Nabi Ayyub dengan musibah penyakit yang dideritanya, Nabi Musa dengan Bani Israil setelah selamat dari banjir besar, Nabi Isa dengan Ashabul Maidah, Nabi Muhammad dengan kaumnya lalu dengan para sahabat pada perang Hudaibiyyah dan Hari pembagian harta perang.
Dapat Menjadi Teladan bagi Umat
Guru harus melestarikan sunnah, membasmi bid`ah dan memberikan perhatian terhadap masalah agama dan urusan-urusan yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, sesuai dengan jalan yang bisa diterima oleh syariat, adat dan tabiat. Tidak mengambil cukup dengan melaksanakan pekerjaan lahir dan batin yang mubah, tetapi harus memilih yang terbaik dan sempurna, karena para ulama merupakan panutan, rujukan hukum dan hujjah Allah swt bagi orang awam. Terkadang tanpa sepengetahuan ulama, hal ihwal mereka menjadi sorotan dan panutan orang-orang yang tidak mereka kenal. Kalau orang alim tidak mengamalkan ilmunya maka orang lain semakin jauh untuk mengambil teladan darinya. Kesalahan kecil orang alim menjadi besar karena dampak negatifnya terhadap para pengikutnya.
Menghiasai Diri dengan Kesunnahan
Guru seyogyanya selalu menghiasi perbuataan dan pekerjaan dengan kesunnahan seperti membaca Al Quran dan zikir kepada Allah dengan hati dan lisan. Serta membaca doa-doa, zikir yang diajarkan Rasulullah pada siang dan malam, mengerjakan sholat, puasa, haji kalau mampu, membaca sholawat, cinta, hormat dan ta`zhim pada Rasulullah saw dan menjaga adab tatkala mendengar namanya dan menyebut hadis-hadisnya.
Berbudi Pekerti yang Baik pada Orang Lain
Memperlakukan orang lain dengan budi pekerti yang baik adalah sifat yang harus dimiliki guru, misalnya dengan menampakkan wajah yang berseri-seri, menebarkan salam, memberi makanan, mengendalikan amarah, menjaga orang lain dari hal-hal yang menyakitkan dan berusaha menanggungnya, mendahulukan orang lain dan tidak ingin didahulukan, berlaku adil dan tidak menuntut keadilan, mengucapkan terima kasih atas kebaikan orang lain, menimbulkan suasa nyaman ketika bersama orang lain membantu orang lain mendapatkan hajatnya, menanggalkan jabatan untuk memaafkan orang lain, mengasihi orang fakir, baik pada tetangga dan kerabat, memberikan kasih sayang, pertolongan dan kebaikan kepada murid.
Ketika melihat orang yang shalat dan thoharah-nya atau ibadah wajibnya yang lain tidak sempurna, guru harus membimbinggnya dengan pelan dan kasih sayang sebagaimana sikap Rasulullah kepada orang badui yang kencing di dalam masjid dan kepada Muawiyah bin al-Hakam yang bicara saat mengerjakan sholat.
Bebas dari Akhlak Tercela
Mereka harus bersih jiwa dan raga dari akhlak yang tercela dan membangunnya dengan akhlak yang mulia. Akhlak tercela, diantaranya, adalah dendam, dengki, zalim, marah bukan karena Allah swt, menipu, sombong, ingin dipuji (riya`), bangga diri, ingin dihormat, pelit, tidak mensyukuri kenikmatan, tamak, berpakaian degan penuh gayanya, berebut kekayaan, bersaing-saingan yang tidak baik, cari muka dengan berkata manis, gila bersolek agar dilihat orang, ingin dipuji atas sesuatu yang tidak dia kerjakan, buta terhadap aib sendiri dan peka dengan aib orang, possesif dan fanatik bukan karena Allah SWT, bergosip, menyebarkan isu miring, berdusta dan meremehkan orang lain. Hindarilah, Hindarilah semua itu! sebab merupakan keburukan yang membuka pintu keburukan-keburukan yang lain.
Obat dari penyakit-penyakit hati ini dapat ditemukan di pelbagai kitab yang mengorek masalah hati (kutub ar-raqoiq). Maka barang siapa yang mau menyucikan hati dari penyakit-penyakit itu wajib mempelajarinya. Diantara yang paling bergizi dan lebih detil isi penjelasannya dari sekian kitab-kitab itu adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghazali.
Tetap Rajin dan Istikamah dalam Belajar dan Diskusi
Guru harus bisa melanggengkan antusiasme dalam menambah ilmu dan senantiasa bersungguh-sungguh dan istikamah beribadah serta rajin membaca, belajar, mengulang-ngulang ilmu, memberi komentar kitab yang dibaca, menghapal, berdiskusi dan mengajarkan ilmu. Guru tidak boleh menyia-nyiakan waktu untuk selain ilmu dan urusan mangamalkannya, kecuali untuk keperluan yang sifatnya primer (dhorurah) seperti makan, minum, tidur, istirahat ketika jenuh, menunaikan hak istri atau tamu, mencari nafkah keluarga, istirahat karena sakit atau karena udzur-udzur lain yang mengganggu aktivitas.
Sebagian ulama tidak meninggalkan aktivitas belajar ketika tertimpa sakit ringan. Mereka mencari obat penyembuh sakit itu dengan belajar dan menyibukkan diri dengan ilmu semampu mereka. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung niatnya.” Hal ini karena ilmu merupakan kategori warisan para nabi. Dan keluhuran derajat tidak akan bisa dicapai kecuali dengan bersusah payah.
Dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Yahya bin Katsir berkata, “Ilmu tidak bisa diperoleh dengan bersantai.” Dalam hadis pun ada ungkapan bahwa jalan surga dipenuhi dengan hal-hal yang tidak disukai nafsu. Dikatakan dalam sebuah syair, “Apakah kamu ingin dapatkan keluhuran derajat dengan murah, padahal untuk mendapatkan madu kamu harus siap disengat lebah?”
Imam Syafi`i berkata, “Wajib bagi orang yang berilmu mengerahkan semaksimal mungkin kesungguhannya untuk memperbanyak ilmu, bersabar atas segala rintangan dalam belajar, meng-ikhlas-kan niat hanya untuk Allah ta`ala dalam memperoleh ilmu baik dengan menghapal teks maupun menganalisis dan menyimpulkan dalil (istinbath), dan berharap pertolongan Allah dalam mencari ilmu. ”Rasulullah SAW bersabda, “Semangatlah kamu dalam mencari hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan Allah ta`ala.”
Tak Malu Bertanya Jika Tidak Tahu
Tidak hanya murid yang harus bertanya ketika tidak tahu, guru pun tidak boleh segan-segan bertanya sesuatu yang tidak ia ketahui kepada orang yang secara jabatan, nasab, maupun umur berada di bawahnya. Guru harus punya hasrat yang tinggi dalam mencari pengetahuan yang berfaedah di manapun tempatnya, karena sesungguhnya ilmu yang bermanfaat (hikmah) merupakan harta hilang milik orang yang beriman, sehingga bila dia menemukannya, di manapun itu, dia akan mengambilnya.
Sa`id bin Jubair berkata, “Seseorang disebut alim ketika dia masih mau belajar. Ketika dia sudah tidak mau belajar dan mengira sudah cukup mumpuni dengan ilmunya, maka dia berarti orang terbodoh yang pernah ada.” Pepatah arab berkata, “Buta bukanlah banyak bertanya, namun sebenar-benar buta adalah selalu diam terhadap kebodohan dirinya. Sekelompok ulama salaf dulu belajar kepada murid-murid mereka sesuatu hal yang tidak mereka ketahui. Dan banyak sekali terjadi para sahabat yang meriwayatkan hadis yang mereka peroleh dari para tabi`in. Yang lebih hebat dari semua itu adalah bacaan Rasulullah saw, ayat Al Quran di hadapan Ubay bin Ka`b. Beliau berkata, “Allah memerintahkan aku membacakan kepadamu ayat “Lam Yakun al-ladzina kafaru.” Para ulama menyatakan bahwa tindakan Rasulullah itu bermaksud untuk menyampaikan pesan bahwa orang yang lebih mulia tidak boleh segan mengambil pelajaran dari orang yang lebih rendah darinya.
Al Humaidi, seorang murid Imam Syafi`i, berkata, “ Saya menemani as-Syafi`i dari Mekah ke Mesir: Selama itu aku menimba pengetahuan yang berguna tentang beberapa persoalan dan beliau pun juga belajar hadis dari ku”. Ahmad bin Hanbal berkata, “as-Syafi`i berkata kepadaku ‘kamu lebih alim masalah hadis dariku. Maka bila ada hadis yang menurutmu shahih, katakan padaku agar aku bisa mengambilnya (sebagai dalil)’.”
Guru Harus Rajin Menulis
Guru tak hanya mampu beretorika di depan murid dengan berbagai argument dan ilmunya, tetapi juga harus pandai mengarang, meringkas dan menyusun karangan, jika dia mampu melakukannya. Sebab, dengan begitu guru terdorong untuk menelaah hakikat berbagai disiplin ilmu dan detil-detil pengetahuan yang dipelajarinya, dikarenakan mengarang membutuhkan banyak cross check, verifikasi, penelaahan dan pembacaan ulang. Mengarang, sebagaimana yang diungkapkan al Khatib al Baghdadi, dapat memperkuat hafalan dan mencerdaskan hati, mengasah kecerdasan, memperindah ungkapan bahasa, mendatangkan daya ingat yang baik mendapatkan pahala yang banyak dan nama pengarang akan kekal sepanjang masa.
Lebih baik, guru mengarahkan perhatiannya pada sesuatu yang bisa berguna dalam lingkup yang luas dan banyak dibutuhkan. Hindari ungkapan panjang yang membosankan dan ungkapan pendek yang tidak memahamkan, serta berusaha menyuguhkan materi yang pantas untuk setiap jenis karangan. Jangan mempublikasikan karangan sebelum proses editing, penelaahan ulang dan penyuntingan rampung.
Sebagian orang pada jaman sekarang ada yang menolak karya baik berupa karangan maupun hasil kumpulan, meskipun itu karya dari orang yang jelas-jelas ahli dan dikenal keluasan ilmunya. Tidak ada dasar dari penolakan itu kecuali hanya akan menimbulkan persaingan di antara orang-orang yang berilmu. Orang yang menorehkan tinta di atas kertas untuk menulis apa yang dia kehendaki, seperti syair, cerita yang diperbolehkan atau apapun bentuknya, tidak ada yang menolak karyanya. Apalagi kalau ada yang menulis tentang ilmu syariat dan ilmu-ilmu alatnya yang jelas berguna, maka tentu semestinya tidak ditolak.
Adapun orang yang tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni menulis sesuatu, maka penolakan terhadap karyanya harus dilakukan karena karya itu mengandung kebodohan dan penipuan terhadap orang yang mempelajarinya. Lagipula penulis karya dusta itu hanya akan membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak dikuasainya, dan dia telah meninggalkan upaya untuk memperkuat keahliannya yang seharusnya dia lakukan terlebih dahulu sebelum menulis karangan.
*Dikutip dari kitab Adabul Alim wal Muta’allim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari