Sumber ilustrasi: kompas.com

Oleh: Moh Khozinol Fatah*

Dalam menunaikan zakat fitrah, tidak sedikit dari masyarakat kita memilih untuk memberikan zakat tersebut kepada kiai atau guru ngaji. Jika dipahami dalam kategori yang berhak menerima zakat, maka kiai atau guru ngaji tersebut sebenarnya masuk dalam katagori yang mana? Lantas sah kah zakat fitrah kepadanya mengatasnamakan fi sabilillah atau kategori lainnya?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita bahas delapan (8) golongan yang dapat menerima zakat:

Pertama, fakir yaitu orang yang tidak memiliki penghasilan, memiliki sedikit harta sehingga tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari nya.

Kedua, miskin yaitu orang yang memiliki sedikit harta, dan penghasilan yang hanya bisa dibuat makan dan minum tidak lebih dari itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketiga, amil yaitu, orang yang punya legalitas untuk menyalurkan kepada orang-orang yang berhak atas zakat.

Keempat, muallaf yaitu orang yang baru masuk islam, agar dia meyakini islam menjadi agamanya.

Kelima, riqob yaitu budak yang ada dibawah kepemilikan seseorang. Agar zakat ini dapat digunakan untuk memerdekakan dirinya.

Keenam, ghorim yaitu orang yang memiliki hutang. Misal, berhutang karena Allah seperti berhutang tujuan mendamaikan permusuhan.

Ketujuh, sabilillah yaitu orang-orang yang berperang.

Kedelapan, Ibnu sabil yaitu orang yang dalam perjalanan kerena allah seperti merantau untuk bekerja atau mencari ilmu.

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa kita bisa melihat dari berbagai sisi untuk memberikan zakat pada pihak yang tepat. Salah satunya adalah kiai atau guru mengaji. Kiai atau guru mengaji bisa dilihat dari sisi perekonomian (miskin), meski ada pendapat ulama yang juga bisa mengkategorikan guru ngaji sebagai fi sabilillah, namun hal tersebut masih menjadi perdebatan, berikut penjelasannnya:

Mayoritas ulama (mayoritas ulama) mengatakan sabilillah ialah orang yang berperang di jalan allah. Ada juga sebagian yang berpendapat bahwa Sabilillah itu atas jalan kebaikan (وجوه الخير), contoh diberikan kepada pembagunan masjid, madrasah, dll. Seperti pendapat imam qoffal dalam kitab tafsir munir:

وَنَقَلَ القَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الفُقَهَاءِ اَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ جَمِيْعَ وُجُوْهِ الخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ المَوْتَى وَبِنَاءِ الحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ المَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى “فِى سَبِيْلِ اللهِ” عَامٌ فِى الكُلِّ. (تفسير المنير, 1/344)

“Dinukil dari imam qoffal dari sebagian fuqoha’ bahwa ulama memperbolehkan memberikan zakat kepada semua yang bersifat kebaikan baik berapa biaya penguburan orang mati, pembagunan benteng, dan pembangunan masjid kerena firman allah dalam teks fi sabilillah itu Am” (Tafsir munir 1/344)

Namun pendapat Imam Qoffal ini ditolak oleh syeik Ali bin Abi Bakar bafadhol dalam kitab mawahibu Al fadli min fatawa bafadhol kerena pendapat imam Qoffal tidak ditemukan sumbernya, sebagaimana perkataan beliau:

وما يقال عن القفال عن بعض الفقهاء، مما ذكره السائل, لم نره عنه فيما فيما بأيدينا من المصادر (مواهب الفضل من فتاوى بافضل، مسألة 14 في الزكاة)

“Perkataan yang dikatakan imam Qoffal dari sebagian ulama’ fiqh, sebagai mana yang sudah dikatakan oleh si penanya, bahwa kami tidak menemukan dari pendapat itu sumber aslinya” (mawahibu Al fadli min fatawa bafadhol, masàlah 14 fiz zakat)

Imam Ahmad juga mengatakan boleh tapi pernyataannya ditolak oleh imam Ibnu Hajar Al haitami dalam kita Tuhfatul muhtaj kerena sanadnya tidak jelas dan hadisnya mudallas yang dikutip oleh syeik Ali bin abi Bakar bafadhol:

لكن قال الشيخ إبن حجر رحمه الله في [التحفة]: إن الحديث الذي استدل به الإمام أحمد مخالف لما عليه أكثر العلماء. (مواهب الفضل من فتاوى بافضل، مسألة 14 في الزكاة)

“Hadist yang dibuat dalil oleh imam Ahmad itu telah menyalahi kebanyakan ulama.” (mawahibu Al fadli min fatawa bafadhol, masàlah 14 fiz zakat)

Dan imam Malik juga memasukkan Santri, Guru, dll, dalam konteks fi sabillah, akan tetapi itu untuk zakat Mal bukan zakat fitrah, kerena ketika dilihat di kitab malikiyah, yang boleh menerima dalam zakat fitrah cuman ada dua golongan yaitu miskin dan fakir. Sehingga kyai atau guru ngaji tetap tidak boleh menerima zakat fitrah dalam madzhab Maliki bila mengatas namakan Sabilillah, sebagai mana dalam kitab syarh muktashor kholil lil khurosy:

(ص) وإنما تدفع لحر مسلم فقير (ش) يعني : أن زكاة الفطر تدفع للحر لا للقن ولو مكاتبا : المسلم لا الكافر ولو مؤلفا أو جاسوسا، الفقير إذا لم يكن من بني هاشم وظاهر كلام المؤلف, أنها لا تدفع لغير من ذكر وهو كذالك ولا تدفع لمن يليها ( شرح مختصر خليل للخرشي، باب الصوم 2/233)

“(Matan) zakat fitrah hanya diberikan kepada orang merdeka yang muslim juga fakir. (Syarah) maksudnya: zakat fitrah tidak boleh diberikan budak sekalipun Budak Mukatab (melakukaj akad memerdekakan dirinya) Dan orang kafir sekalipun muallaf ataupun intelegen dan fakir dari keturunan bani hasyim, dhohirnya dawuh pengarang, bahwa zakat tidak dapat diberikan kepada selain yang telah di sebutkan dan seterusnya” (Syarh muktashor kholil lil khurosy, bab shoum, 2/233)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendapat yang memasukkan kiai atau guru ngaji dalam konteks sabilillah tidak dapat dibenarkan, sehingga memberikan zakat fitrah kepadanya atas nama fi sabilillah tidak SAH. Namun bilamana kiai atau guru ngaji itu berketepatan miskin maka boleh menerima atas dasar miskinnya bukan atas nama fi sabilillah. Waallahu alam.

*Biro Keagamaan Rayon Yusuf Hasyim, Tebuireng.