Tampak beberapa santri putri sedang murajaah sambil berdiskusi di gazebo pesantren.

Di sudut ruangan kantor berukuran 10×10, seorang gadis duduk sendirian di pojok kanan ruangan tersebut. Namanya Shalinaz Selmania Azzahra, atau yang biasa disapa Alina. Sudah dua jam ia melamun, terus memandangi wajah pria itu. Wajah pria yang tiba-tiba meninggalkannya. Padahal, hubungan asmara mereka sudah terjalin lama. Nampaknya, Alina masih belum bisa melupakan pria itu, hingga membuatnya sering murung belakangan ini.

“Alina, pulang yuk, kamu nggak capek melamun terus?” tanya Gaby, sahabatnya.

Alina tetap terdiam, masih menatap foto yang ia pegang. Perasaan itu benar-benar menghancurkan dirinya, sebab setengah dari dirinya telah sepenuh hati mencintai pria itu.

“Lin, pulang yuk, kita cari makan dulu. Jangan sedih terus, Lin. Masih banyak laki-laki lain kok,” tambah Gaby dengan khawatir.

Sejujurnya, Gaby benar-benar bingung. Baru kali ini Alina benar-benar merasakan patah hati yang mendalam. Alina jadi sangat tertutup dan jarang bisa diajak bicara. Dia lebih sering melamun, terbenam dalam kesedihannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saat sedang mematikan komputer, Alina berjalan meninggalkan Gaby. Dengan cepat, Gaby mengejar langkah Alina yang sudah cukup jauh.

“Lin, kita makan dulu ya? Aku lihat kamu belum makan dari pagi. Ayo, kita beli nasi kebuli di warung Arafah,” kata Gaby.

Alina tetap terdiam, tidak menjawab sama sekali.

Tak terasa, mereka sudah sampai di warung. Gaby pun memesan nasi kebuli untuk mereka berdua. Seperti biasa, Alina tetap melamun, melihat kenangan-kenangan saat bersama pria itu.

Gaby hanya bisa diam dan merasa lelah. Sesakit itu melihat teman yang dulu ceria, kini menjadi wanita yang gagal dalam kisah cintanya. Terkadang, Gaby ingin sekali melabrak pria itu, memberitahunya betapa hancurnya hati Alina setelah ditinggalkan tanpa alasan yang jelas. Namun, Gaby tidak tahu di mana pria itu berada.

Makanan pun datang, dan mereka berdua menikmatinya tanpa ada sisa.

“Alina, jujur, ngeliat kamu kayak gini, aku juga ikut sakit, Lin. Please, Lin, kamu harus bangkit. Jangan terpuruk terus, Lin. Aku yakin masih banyak laki-laki lain yang akan mencintai kamu tulus dan setia, tanpa meninggalkan kamu lagi.”

Alina hanya terdiam, tanpa membalas ucapan Gaby.

“Lin, aku tahu sakitnya jadi kamu, aku tahu hancurnya perasaanmu. Tapi aku minta tolong, Lin, kamu harus bisa ikhlas. Ingat kesehatanmu, ingat pekerjaanmu. Kamu tahu kan, Lin, dulu waktu kita di Pondok Kyai Fatih, Kyai Fatih pernah bilang, ‘sesuatu yang tertakar tidak akan tertukar.’ Nah, sama halnya dengan jodoh, Lin,” lanjut Gaby.

Alina yang awalnya masih melamun, kemudian menoleh dan menatap Gaby.

“Aku tahu, Gab. Tapi aku butuh waktu untuk semuanya. Kamu tahu kan, Gab, nggak gampang melupakan seseorang yang selama ini sudah mengisi hati dan memberi banyak harapan,” jawab Alina dengan suara pelan.

Kini keduanya sama-sama terdiam.

“Ya sudah, Gab. Aku pulang duluan ya. Aku mau ke maqam Nyai Hamdanah. Kamu pulang duluan nggak apa-apa, aku bisa sendiri kok.”

“Oh iya, makasih semangatnya, makasih ucapanmu, dan juga makasih ya sudah mentraktir nasi kebuli,” tambah Alina sambil melangkah pergi meninggalkan Gaby.

Warung Arafah pun kini lengang, hanya tersisa Gaby yang masih duduk melihat Alina melangkah pergi.

Benar apa yang dikatakan Gaby, namun semua ini soal waktu. Waktu untuk ikhlas, waktu untuk rela melepaskan orang yang telah lama bersama, yang telah mengisi setiap langkahnya. Kini, Alina melangkah mendekati maqam Nyai Hamdanah. Setelah selesai mengirim doa, ia menangis tersedu-sedu, menceritakan segala kegundahan hatinya, tentang perasaan hancurnya.

Setelah dirasa cukup, Alina kembali pulang ke rumah. Ia berjalan dengan langkah lunglai, menghadapi takdir yang ternyata tidak membahagiakan.

Sesampainya di rumah, Alina langsung menuju kamar dan merebahkan diri, kembali menangis mengenang kehidupannya yang penuh luka. Saat adzan berkumandang, Alina pun berdiri dan melaksanakan sholat. Sebab dengan sholatlah dirinya bisa kembali tenang.

Hampir setiap sholat, Alina pasti menangis, memohon agar bisa ikhlas, rela, dan melupakan segala ketidakbahagiaannya dalam kisah asmara. Hampir setahun sudah, namun dirinya masih belum bisa melupakan sosok pria itu, pria yang ia kenal empat tahun lalu saat menjadi mahasiswa baru.

Kini, perlahan-lahan Alina mencoba untuk bangkit. Sebab, ini adalah bulan ke-12, dan itu berarti hampir satu tahun ia menggalaukan pria yang jelas-jelas membuatnya sakit hati.

Hari ini, seperti biasa, ia pergi ke kantor. Beruntung, selama ini tidak ada permasalahan di kantor meskipun dirinya berada dalam fase gamon (galau monton).

Saat sedang bercengkrama dan menikmati makan siang di kantor, tiba-tiba seseorang datang memanggil Alina.

“Mbak Alina, ada yang ingin bertemu di bawah,” ucap salah satu teman kantornya.

“Siapa, Mbak?” tanya Alina penasaran.

Gaby dan Alina saling bertatapan, sama-sama penasaran.

Mereka berdua pun melangkah bersama menuruni anak tangga.

Sesampainya di ruang bawah, langkah Alina dan Gaby terhenti. Alina melihat sosok pria yang berdiri di sana. Dari postur tubuhnya dan model potong rambutnya, Alina benar-benar mengenali sosok itu.

Di samping Alina, Gaby hanya terdiam, sembari terus menemani Alina melangkah mendekati pria itu.

“Mas… Gibran,” suara Alina terucap lirih.

Alina dan Gaby terkejut. Pria yang selama ini pergi tanpa alasan kini berani juga muncul di hadapan perempuan yang hampir gila setahun ini.

“Alina, maaf. Aku tahu aku salah pergi tanpa memberi alasan apapun. Lin, sejujurnya, aku pergi untuk kuliah di Madinah. Aku diutus Kyai Marzuki untuk melanjutkan studi, dan Kyai Marzuki bilang tinggalkan semua yang kamu beratkan. Jujur, termasuk meninggalkanmu, itu benar-benar bikin aku gila, Lin. Kepergianku kala itu sangat menyakitkan. Aku tahu aku salah. Selama di sana, aku selalu mendoakanmu agar tidak ada laki-laki lain yang mendahuluiku untuk meminangmu. Kini, studi itu sudah selesai, Lin. Aku sudah mendapatkan gelar doktor, dan tujuan aku kesini untuk melamarmu. Ayah, ibu, dan Kyai Marzuki telah merestui kita, Lin. Banyak doa yang turut mendoakan hubungan kita.”

Mendengar itu, Alina menangis sejadi-jadinya. Ada rasa kesal, marah yang menggebu, kebahagiaan, dan haru yang tak terhingga. Ternyata, pria itu pergi untuk mengabdi dan mengejar cita-cita, bukan untuk mengejar wanita lain.

Gaby memeluk Alina yang masih menangis, memberikan pelukan hangat.

“Lin, kalau mau, besok kita adakan acara itu sekaligus akad. InsyaAllah aku sudah mempersiapkan semuanya. Kamu jawab ya, Lin. Aku harap kita bisa kembali bersama dalam berkahnya pernikahan.”

Alina masih terdiam, tidak percaya. Ternyata benar apa yang dikatakan Kyai Marzuki, sesuatu yang sudah tertakar tidak akan tertukar. Dan kini, sosok Gibran datang dengan versi terbaiknya. Tanpa menunggu lama, Alina pun mengiyakan jawabannya.

Kini Gaby tersenyum bahagia. Ternyata akhir dari kesedihan temannya membuahkan kebahagiaan yang tiada tara. Sebagai sahabat, Gaby turut bahagia atas kisah baru antara Alina dan Mas Gibran.



Penulis: Wan Nurlaila Putri