Teknologi pengenalan wajah (sumber: verihubs)

Di era digital yang serba terhubung, kemajuan teknologi bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi ia membawa kemudian dan manfaat yang tak tak terhingga. Namun disisi lain ia melahirkan tantangan-tantangan baru yang menguji keimanan dan akal sehat manusia. Salah satunya adalah ancaman dari teknologi deepfake yang muncul setelah adanya kecerdasan buatan atau AI.

Deepfake sendiri ialah akronim dari deep learning (pembelajaran mendalam) dan fake (palsu), yang kemudian secara sederhana didefinisikan sebagai teknik rekayasa media. Di mana citra atau suara seseorang diganti dengan citra atau suara orang lain secara sangat realistik. Bisa dibayangkan, sebuah video di mana seorang kiai terkemuka, tokoh masyarakat, mengucapkan kata-kata yang tidak pernah mereka ucapkan. Melakukan tindakan yang tidak pernah mereka lakukan, dengan kualitas visual yang begitu halus dan meyakinkan, yang dapat dilihat dengan mata telanjang namun susah dibedakan mana yang asli dan mana yang palsu.

Baca Juga: Cara Islam Mendorong Critical Thinking

Disinilah letak bahayanya, dimana teknologi bukan lagi sekadar alat untuk hiburan. Melainkan telah menjadi senjata ampuh untuk menyebar fitnah, disinformasi, bahkan hingga merusak kehormatan seseorang. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, deepfake berpotensi menjadi alat pemecah belah umat (adu domba), mendelegitimasi ulama, serta menciptakan kekacauan sosial.

Sementara itu dalam kacamata syariat, islam sebagai agama yang paripurna telah meletakkan prinsip-prinsip universal yang relevan sepanjang zaman. Salah satunya dalam menghadapi tantangan teknologi modern seperti deepfake. Ancaman yang ditimbulkan oleh deepfake sendiri sejatinya bukanlah hal baru, melainkan bentuk modern dari perbuatan-perbuatan yang telah lama dikecam dalam syariat, di antaranya:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Fitnah dan Buhtan (Tuduhan Palsu)

Deepfake merupakan sarana utama untuk menciptakan fitnah (ujian yang dapat menyesatkan) dan buhtan (tuduhan dusta yang keji). Membuat atau menyebarkan konten deepfake yang merusak nama baik seseorang adalah bentuk nyata dari buhtan. Allah berfirman dalam Q.S. al Ahzab ayat 58:

الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan (buhtan) dan dosa yang nyata.” (QS. al Ahzab: 58).

Video deepfake yang menuduh seorang tokoh melakukan perbuatan tercela adalah contoh nyata dari buhtan yang dosanya sangat besar di mata Allah.

2. Namimah (Adu Domba)

Salah satu tujuan utama dari deepfake adalah menciptakan perselisihan dan permusuhan. Video palsu yang berisi ujaran kebencian dari satu kelompok yang ditujukan kepada kelompok lain dapat dengan mudah menyulut api perpecahan. Inilah esensi dari namimah (adu domba), sebuah perbuatan yang sangat dibenci oleh Rasulullah SAW. Beliau bersabda dalam Hadits Riwayat Bukhari & Muslim,

Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba (nammam).” (HR. Bukhari & Muslim).

3. Penyebar Berita Bohong

Menyebarkan konten deepfake tanpa melakukan verifikasi kebenarannya, sama dengan ikut serta dalam menyebarkan kebohongan. Sikap permisif dan gemar membagikan informasi tanpa saringan adalah penyakit sosial yang berbahaya. Rasulullah SAW telah memperingatkan dalam Hadits Riwayat Muslim:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang (dianggap) berdusta jika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim).

Baca Juga: Menciptakan Sikap Tabayun di Era Digital

Di tengah badai disinformasi ini, Islam telah memberikan kita benteng pertahanan yang kokoh, yaitu prinsip tabayyun atau tathabbut. Tabayyun adalah sikap untuk selalu meneliti, memeriksa dan mengklarifikasi kebenaran sebuah berita sebelum menerimanya atau menyebarkannya. Perintah ini secara tegas disebutkan dalam al Quran Surat al Hujurat ayat 6, yaitu:

يٰٓاَيُّهَاالَّذِيْنَاٰمَنُوْٓااِنْجَاۤءَكُمْفَاسِقٌۢبِنَبَاٍفَتَبَيَّنُوْٓااَنْتُصِيْبُوْاقَوْمًاۢبِجَهَالَةٍفَتُصْبِحُوْاعَلٰىمَافَعَلْتُمْنٰدِمِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman. Jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya., agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Q.S. al Hujurat: 6)

Ayat ini adalah fondasi utama literasi digital dalam Islam, yang mana mengajarkan kita untuk skeptis secara sehat terhadap informasi yang datang dari sumber yang tidak jelas atau tidak terpercaya.  Dalam konteks deepfake, tabayyun berarti:

  1. Jangan Langsung Percaya: Tanamkan dalam diri sikap untuk tidak mudah percaya pada konten video atau audio yang provokatif, sensasional atau aneh, sekalipun terlihat sangat nyata.
  2. Periksa Sumbernya: Siapa yang pertama kali menyebarkan video tersebut. Apakah berasal dari media yang kredibel atau akun anonim yang tidak jelas. Dalam tradisi keilmuan Islam, ini mirip dengan ilmu sanad, yaitu meneliti rantai perawi hadis. Begitu pula di era digital seperti saat ini, kita harus meneliti “sanad” informasi.
  3. Cari Klasifikasi dari Sumber Resmi: Jika video tersebut menyangkut seorang tokoh atau lembaga, carilah informasi dari situs web resmi, akun media sosial terverifikasi, atau pernyataan langsung dari pihak yang bersangkutan.
  4. Gunakan Akal Sehat: Sebagai pengonsumsi informasi di media digital, kita perlu menanyakan pada diri sendiri apakah konten tersebut masuk akal? Seringkali konten deep fake berisi hal-hal yang tidak logis jika dianalisis dengan tenang.


Penulis: Anik Wulansari, M.Med.Kom.