perempuan berpendidikan. (ilustrasi: lensgo.id/ra)

Oleh: Nabila Rahayu*

6 tahun terlewatkan sudah. Tempat ini yang menjadi saksi.  Mengajarkan metode satu hari satu juz. Mengerti ilmu tajwid. Meski masih harus belajar sampai sekarang pun nanti. Rasanya tempat ini adalah bukti juangku belajar Al-Qur’an.

Dan dulu aku masih merasa bahwa Al-Qur’an itu hanyalah buku besar yang membutuhkan waktu sangat lama untuk mengkhatamkannya. Meskipun batas membaca Al-Qur’an hanya sampai ‘ain, setidaknya hampir setiap hari Al-Qur’an dibaca di tempat ini.

Bersama teman-teman aku mengaji, belajar Al-Qur’an. Kadang ada teman yang jahil, aku langsung mengadu ke Guru ngaji. Anehnya, malah aku yang dipukul pake rotan. Orang zaman dulu memang seperti itu teknik mendidiknya. Jika ada anak didiknya nakal dipukul pake rotan, mistar kayu, atau yang lainnya itu adalah hal yang biasanya. Dan orang tuanya pun tidak marah atau campur tangan. Berbeda dengan cara didik orang sekarang. Jangankan di pukul, ditegur atau dimarahi habis-habisan pun orang tua sudah buat laporan ke polisi terdekat.

Sangat terekam jelas seperti cuplikan film, dulu aku suka sekali menggunakan jilbab warna hijau yang desainnya seperti peci. Terus di bagian bawahnya di desain ada rumbai-rumbainya. Aku merasa menjadi wanita paling cantik kala itu. Dan kalau sudah selesai mengaji, sesegera mungkin jilbab itu dibuka.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tak hanya jilbab yang menjadi kesayangan, pun begitu dengan tas ransel yang hanya khusus untuk mengaji. Diisi Al-Qur’an yang berukuran besar. Percuma saja dibawa, itu hanya dibaca ketika jadwalku mengaji saja. Selebihnya Al-Qur’an itu tetap setia berada di dalam tas kesayangan.

Satu-satunya teman ngajiku kala itu adalah laki-laki. Dan yang tidak pernah alpha hanya kita berdua. Aku dulu sangat semangat mengaji. Ah, sayangnya masa-masa itu tidak akan terulang lagi. 

Kala itu ada acara di kantor kecamatan. Dan guru ngajiku minta aku untuk tampil menyenandungkan sholawat di depan pejabat-pejabat. Dan siapa sangka pengalaman itu yang berhasil membawaku untuk berani tampil setiap ada event apapun.

Guru ngajiku adalah lelaki sepuh, dengan ta’dzhim kami memanggilnya Wak ayas, beliau memang terkenal sebagai guru ngaji dan pengurus langgar kala itu, aroma parfum khas nya bahkan aku masih mengingat dengan baik.. Tiap pergi mengaji yang beliau bawa adalah permen pagoda berlambang menara Eiffel yang rasanya menurutku tak hanya pedas tapi juga pahit.

Setelah aku mengkhatamkan Al-Qur’an, ibuku bersilaturahim ke rumah beliau, memberikan beliau kain dan beberapa makanan juga sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih atas didikan beliau  terhadapku. Aku adalah muridnya yang selalu beliau panggil dengan nama belakangku. Maharani.

Sejak kala itu jarang kutemui Wak ayas, dan usianya makin sepuh, mungkin tak lagi ada yang mengaji. Ya. Kurasa setelah aku tamat tak lagi ada yang mengaji, selain itu kabar Wak ayas meninggal juga cukup membuatku sedih.

Sejak aku merasa tidak lagi buta huruf Al-Qur’an, kuamalkan ilmu Wak ayas dengan mengajar di masjid dekat rumah. Dibantu dengan guru ngaji yang lain. Daan ternyata benar bahwa ilmu yang bermanfaat itu adalah bukan tentang seberapa banyak didapatkan tapi seberapa banyak yang telah diamalkan. Baik juga untuk diri sendiri, namun lebih baik lagi jika kita mengamalkan ilmu nya Bersama Masyarakat sekitar, keluarga atau bahkan teman dekat. 

2017, tempat yang dulu jadi tempat yang menurutku membebankan itu -karena setiap hari harus mengaji- berubah dari langgar menjadi masjid. Tak ada aktivitas pengajian anak-anak disana. Inisiatif, kutemui ketua masjid untuk mengutarakan niatku membangun kembali tempat mengaji, menghidupkan kembali jasa Wak ayas, mengalirkan lagi pahala beliau yang dulu pernah beliau ajarkan terhadapku agar jadi amal jariyah untuk beliau.

Dan semua sudah tersistem, ketua masjid mendukung niat baikku. Alhamdulillah santri sudah kurang lebih 80, dibantu pengurus masjid, guru-guru yang sempat mengajar juga dukungan orang tua wali murid. Hingga sekarang TPQ ini berdiri kokoh dengan bahu membahu mendidik anak agar tidak buta huruf membaca Al-Qur’an. TPQ ini tetap akan berdiri, untukmu guru kami Wak Ayas.



*Penggiat Literasi di Sanggar Kapoedang.