Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pak Kyai yang senantiasa kami ta’dzimi segala fatwanya. Akhir-akhir ini terdengar ada wacana berqurban dengan menggunakan uang tunai yang diserahkan langsung pada fakir miskin. Sebab dalam konteks keindonesiaan, yang lebih dibutuhkan masyarakat saat ini adalah kebutuhan finansial bukan daging qurban. Jika wacana ini terlaksana bagaimana hukum qurban tunai tersebut?

Solekhan , Depok

Wa’alaikumsalam Wr. Wb

Bang Solekhan yang budiman, wacana tentang ibadah qurban diganti dengan uang sebenarnya sudah ada sejak lama dan tidak muncul belakangan ini saja. Dalam kitab al-Mushannaf karya Imam Abdul Razzaq, juz IV/385, dan kitab al-Mughni juz XIII/361-362, masalah nomer; 1748, ada riwayat bahwa sahabat nabi Muhammad SAW, Bilal bin Rabah menyatakan; Daripada berqurban, aku lebih suka uang untuk berqurban itu aku berikan kepada anak yatim. Imam al-Syatibi (w.230) dan murid Imam al-Syafi’i, Imam Abu Tsaur (w.230), juga berpendapat seperti itu. Tetapi ternyata syari’at ibadah qurban itu tetap dikerjakan umat Islam sampai abad ke-15 ini. Maka perlu diketahui, karakter qurban berbeda dari karakter shadaqoh.

Pertama, kurban memiliki sejarah yaitu ujian bagi nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih putranya, nabi Ismail. Sehingga orang yang berqurban akan mengambil pelajaran dan hikmah dari peristiwa tersebut. Sementara shadaqoh tidak memiliki sejarah seperti itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kedua, pahala ibadah qurban sangat luar biasa. Dalam kitab Sunan al-Tirmidzi, dengan nomer hadits 1526 dan kitab Sunan Ibn Majah, hadits nomer 3126, Aisyah menuturkan, nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak ada perbuatan anak Adam pada hari Nahr yang paling disukai Allah SWT, selain menumpahkan darah. Dan pada hari kiamat nanti binatang qurban itu akan didatangkan lengkap dengan tanduk, kuku, dan rambutnya”.

Bahkan dalam kitab Sunan al-Tirmidzi, ada tambahan hadits untuk orang yang berqurban akan mendapatkan pahala satu kebajikan untuk setiap rambut atau bulu hewan yang dikorbankan. Sanggupkah kita menghitung berapa jumlah rambut telinga kambing yang kita qurbankan? Dan pahala seperti ini tidak terdapat dalam shodaqoh.

Ketiga, ibadah qurban di samping memiliki dimensi sosial, juga memiliki dimensi aqidah. Pada masa jahiliyah banyak orang musyrik yang mengkultuskan binatang-binatang tertentu. Dalam QS. Al-Maidah : 103, Allah SWT menyebutkan binatang-binatang yang dikultuskan itu, yang disebut bahirah, saibah, washilah dan ham. Binatang-binatang ini diistimewakan orang-orang jahiliyah, sehingga tidak boleh diganggu bahkan tidak boleh disembelih dan dimakan dagingnya.

Islam kemudian datang dan menghancurkan kepercayaan jahiliyyah itu. Dalam ajaran Islam tidak ada binatang yang istimewa. Maka sembelihlah dan makanlah dagingnya. Begitu perintah Allah Swt dalam QS. Al-Hajj : 28. Dan tentunya dimensi seperti ini tidak ada dalam shodaqoh.

Keempat, ibadah qurban hanya ada pada 4 hari saja setiap tahun, yaitu hari Nahr dan Tasyriq; 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijah. Sedang shodaqoh dapat dilakukan sepanjang tahun.

Berdasarkan paparan hal di atas, maka mayoritas ulama berpendapat, ibadah qurban tidak dapat diganti dengan shodaqoh seharga binatang qurban. Dan ibadah qurban tetap lebih unggul dan utama dibanding dengan sedekah seharga binatang qurban. Tetapi praktik yang jamak dilakukan adalah membayar uang seharga hewan qurban untuk diamanahkan kepada panitia membelikan hewan tersebut. Konteks seperti ini yang diperbolehkan oleh fikih karena qurban tetap berupa hewan bukan uang yang diberikan langsung kepada fakir miskin. Mudah-mudahan pembaca dapat memahami masalah ini. Wallahu a’Lam


Prof. Dr. Ahmad Zahro, Dosen Pascasarjana Universitas Hasyim Asy’ari