(Sumber: golan.desa.id)
(Sumber: golan.desa.id)

Oleh: Ustadz Yusuf Suharto*

Assalamu’alaikum, Ustadz. Ada pertanyaan mengenai tradisi nyadran. Di kebanyakan desa, masyarakat masih menyakini bahwa menziaroh makam kerabat/mbah-mbah yang utama itu menjelang hati ramadhan. Mohon penjelasannya mas admin

Zaenal, Surabaya

Jawaban:

Majalah Tebuireng

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Wa’laikumsalam Wr Wb, Mas Zaenal yang saya hormati. Tradisi masyarakat muslim  di Indonesia (mungkin juga di beberapa negara Islam lainnya), ketika di bulan Sya’ban menjelang Ramadhan antara lain adalah dengan berziarah kubur arwah para leluhur muslim (ayah ibu, paman, bibi, kerabat nenek, kakek, dan seterusnya) dan juga dengan membersihkan rerumputan di sekitar area makam. Apakah tradisi itu dibenarkan? Sebelum kita membahas hukum tradisinya, berikut ini disajikan makna tradisi dalam Islam.

Imam al Jurjany dalam Kitab at Ta’rifatmendefiniskan adat atau tradisi dengan suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Imam Al-Suyuthi mendefinisikan dengan ibarat:

ما اعْتاد النّاسُ وسارُوا عليْهِ فِي أُمُورِ حياتِهِمْ ومُعاملاتِهِمْ مِنْ قوْلٍ أوْ فِعْلٍ أوْ ترْكٍ

Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melewati kehidupan dan muamalat mereka dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan” (Imam as Suyuti, al Ashbah wa al Nadzair, hal 64).

Meskipun Islam datang dengan seperangkat aturan yang telah lengkap, namun demikian Islam tidak serta merta mengabaikan tradisi yang ada di masyarakat. Dalam ilmu Ushul Fiqh, tradisi menjadi salah satu patokan dalam penentuan hukum Islam hingga akhirnya lahirlah kaidah  العَادَةُ مُحَكَّمَة (adat istiadat itu mempunyai nilai hukum). Karena itulah melanggar tradisi masyarakat dianggap hal yang tidak terpuji selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam hal ini Syaikh ibn Muflih al Hanbali murid Ibn Taimiyyah, berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ  تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ

Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah telah membiarkan Ka’bah dan berkata, ‘Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…’. Sayyidina Umar berkata, ‘Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.’ Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al Fusul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, ‘Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.’ Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha shalat di musalla pada waktu dilaksanakan salat ‘id (hari raya). Beliau berkata, ‘Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.’(Syaikh Ibn Muflih al-Hanbali: al-Adab al-Shar’iyyah, II,  47).

Bulan Sya’ban adalah bulan istimewa. Pada bulan Sya’ban semua amal manusia dilaporkan kepada Allah. Berkaitan dengan keutamaan bulan Sya’ban ini, al Imam Ibn Rajab al Hanbali, murid terkemuka Syaikh Ibn Qayyim al Jauziyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif sebagai berikut:

قَالَ: ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَب وَ رَمَضَان وَ هُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ اْلأَعْمَالُ فِيْهِ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ عَزَّ وَ جَلَّ). (الإمام الحافظ ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف ، ص/٢٣٦)

“…Nabi  menjawab, “Bulan Sya’ban itu, bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan Sya’ban itu, bulan di mana amal manusia diangkat kepada Allah Tuhan semesta alam….” (al Hafizh Ibn Rajab al Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 236).

Dalam menghadapi bulan istimewa, di mana amal manusia dilaporkan kepada Allah, umat Islam di tanah air melakukan tradisi ruwahan(memperbanyak sedekah), sehingga bulan ini disebut dengan Bulan Ruwah (masyarakat madura menyebutnya sebagai bulen Rebbe). Para ulama juga menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah pada momen-momen yang dianggap penting yang sedang dihadapi. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi berkata:

وَقَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ اْلإِكْثَارُ مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ اْلأُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ. (الإمام النووي، المجموع شرح المهذب ٦/٢٣٣

“Para ulama kami berkata, ‘Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.’ (al Imam an Nawawi, al Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).

Bahkan, berkaitan dengan anjuran peningkatan amal kebaikan pada bulan Sya’ban, al Imam alHafizh Ibn Rajab al Hanbali berkata:

وَلَمَّا كَانَ شَعْبَانُ كَالْمُقَدِّمَةِ لِرَمَضَانَ شُرِعَ فِيْهِ مَا يُشْرَعُ فِيْ رَمَضَانَ مِنَ الصِّيَامِ وَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ لِيَحْصُلَ التَّأَهُّبُ لِتَلَقِّيْ رَمَضَانَ وَ تَرْتَاضَ النُّفُوْسُ بِذَلِكَ عَلىَ طَاعَةِ الرَّحْمنِ، رَوَيْنَا بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ الْمُسْلِمُوْنَ إِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ اِنْكَبُّوْا عَلىَ الْمَصَاحِفِ فَقَرَؤُوْهَا وَأَخْرَجُوْا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ تَقْوِيَةً لِلضَّعِيْفِ وَالْمِسْكِيْنِ عَلىَ صِيَامِ رَمَضَانَ. (الإمام الحافظ ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/٢٥٨

Oleh karena Sya’ban itu merupakan pengantar bagi bulan Ramadhan, maka pada bulan Sya’ban dianjurkan hal-hal yang dianjurkan pada bulan Ramadhan seperti berpuasa dan membaca al-Qur’an, sebagai persiapan menghadapi Ramadhan dan jiwa menjadi terlatih untuk taat kepada Allah. Kami telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Anas, yang berkata, “Ketika bulan Sya’ban tiba, kaum Muslimin biasanya menekuni mushhaf dengan membaca al-Qur’an. Mereka juga mengeluarkan zakat harta benda mereka agar membantu orang yang lemah dan miskin dalam menjalani puasa Ramadhan.” (Ibn Rajab al Hanbali, Lathaif al Ma’arif, hal. 258).

Pada bulan Sya’ban ini sebagaimana disinggung di awal, di kalangan masyarakat kita ada tradisi ziarah kubur, yang di sebagian daerah dikenal dengan tradisi nyadran. Rasulullah juga berziarah ke makam para sahabat di Baqi’ pada bulan Sya’ban ini.

Kerap pula, di samping berziarah ke makam orang tua, dan kerabat, kaum muslimin juga berziarah ke makam para wali, lalu membaca Al Qur’an di sisi makam yang dimaksud. Hal tersebut boleh dan baik untuk dilakukan. Bahkan membaca Al Qur’an di kuburan termasuk tradisi kaum salaf (sejak generasi sahabat).

Al Imam Ibn Qayyim al Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn at Taimiyah, berkata:

وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧)

“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan Al Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al Mu’alla bin Abdurrahman. Al Khallal berkata, “al Hasan bin Ahmad al Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca Al Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca Al Qur’an di samping makam itu bid’ah. ” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir alHalabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya).” Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al ‘Ala’ al Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca Al Qur’an di samping makam itu.” Al Hasan bin alShabah al Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada as Syafi’i tentang membaca Al Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al Khallal meriwayatkan dari as Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan Al Qur’an di sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabi juga menyampaikan beberapa riwayat membaca Al Qur’an ketika di makam kaum Muslimin dalam kitabnya Ahkam Tamanni al Maut berikut ini:

وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥

“Sa’ad al Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah Al Fatihah, Qul huwallahu ahad (al-Ikhlas) dan alhakumuttakatsur (al-Takatsur), kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan Al Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al Imam al Khallal–, meriwayatkan hadis dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memeroleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.”

Dalam redaksi keterangan dalam kitab di atas jelas juga mencantumkan hal yang berkaitan dengan tawassul kepada orang yang sudah meninggal dunia. Berarti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahhabi itu, juga mengamini adanya tawassul dan ziarah kubur.

Tentu, tradisi ziarah kubur, kirim doa, dan sedekah yang pahalanya ditujukan kepada arwah tidaklah dikhususkan pada bulan Sya’ban atau Ramadhan saja. Karena tradisi ini juga dilakukan dan memang sebaiknya dilakukan umat Islam sepanjang masa, atau semampunya. Dan yang jelas, tidak boleh pada tahap mewajibkan tradisi ini. Mewajibkan tradisi berarti mensyariatkan Sesutu yang tidak ada dalam syariat. Melaksanakannya silahkan, tidak meyakini dan tidak melakukan juga silahkan.

Adapun tentang membersihkan atau merapikan rerumputan yang tumbuh secara berlebihan, atau menghilangkan rerumputan yang sudah mati yang ada di areal makam atau dalam tradisi Jawa disebut Nyadran, adalah sesuatu yang sudah diketahui kebaikan atau kemaslahatannya. Hal itu sesuai dengan keindahan yang disukai Allah dan rasul-Nya, dan bagian dari pengamalan hadits “kebersihan itu adalah sebagian dari iman”. Namun ada satu riwayat dalam kitab I’anah at Thalibin karya Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad Dimyathi yang mengatakan:

ويسن أيضا وضع الجريد الأخضر على القبر وكذا الريحان ونحوه من الشيء الرطب ولا يجوز للغير أخذه من على القبر قبل يبسه لأن صاحبه لم يعرض عنه إلا عند يبسه لزوال نفعه الذي كان فيه وقت رطوبته وهو الاستغفار

Dalam redaksi kitab di atas, Imam Abu Bakar Muhammad Syatha ad Dimyathi mempunyai pendapat bahwa tidak boleh mencabut rumput yang masih segar. Namun, kalau hanya merapikan masih boleh misalkan  rumputnya terlalu rimbun atau sudah mati. Karena tumbuh-tumbuhan tersebutlah yang mendoakan si mayit.

Jadi sebaiknya, kita rapikan saja rumput-rumput itu dengan gunting, arit, atau benda tajam lainnya. Yang masih segar biarkan, karena yang penting adalah merapikan, karena kebersihan dan kerapian adalah sebuah bentuk kemaslahatan. Oleh karena itu, tradisi ini baik untuk dilakukan kapan saja dan juga boleh dilakukan pada menjelang Ramadhan seperti tradisi yang berkembang di masyarakat.


*Mantan Ketua Aswaja NU Center Jombang