Oleh: Al Fahrizal*

Indonesia merupakan negara multikultural, di mana ada beragam budaya, suku, dan agama yang menyatu dalam satu sayap persatuan Bhinneka Tunggal Ika. Setidaknya, sensus BPS tahun 2010, ada 1340 etnis dan 6 agama resmi yang ada di tanah air Indonesia. Dengan angka kemajemukan tersebut, tentu Indonesia sangat kaya akan budaya yang timbul dari berbagai suku dan agama yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat tertentu di seluruh bumi pertiwi Indonesia. Dalam satu suku atau agama yang sama saja, sudah ditemukan perbedaan budaya. Hal ini biasanya dipengaruhi latar wilayah dan karakter masyarakat.

Keberagamaan itu sendiri, di satu sisi memang menjadi suatu kebanggaan yang patut kita syukuri. Hal ini menandakan bahwa Indonesia kaya, kaya akan keberagamannya. Akan tetapi, hal itu juga menjadi bumerang yang sewaktu-waktu dapat mengancam jika tidak dibenahi dengan benar.

Banyak konflik yang terjadi di sepanjang sejarah peradaban dunia timbul akibat keberagaman, ragam ras, etnis, budaya, hingga agama. Jika kita menyingkap sedikit sejarah, sepanjang tahun 1618-1648 ada istilah ‘Perang Tiga Puluh Tahun’ di daratan Eropa, terjadi antara kelompok Protestan dan Katolik. Perang salib (11-13 M) juga merupakan perang antar umat beragama, kristiani versus muslim. Catatan merah demikian bukan berarti agama sebagai sumber konflik, tetapi ada yang keliru dalam cara atau prilaku beragama. Karena kita semua meyakini bahwa agama apa pun tidak mungkin mengajarkan sikap skeptis terhadap sesama, apalagi sampai perang.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Maka dari sinilah, sikap saling menghargai, menghormati, dan berlaku positif kepada sesama menjadi poin pokok yang harus dimiliki di tengah masyarakat majemuk, terutama majemuk keyakinan, kepercayaan, dan agama. Poin itu kita sebut sebagai “toleransi”.

Istilah toleransi berasal dari Bahasa Latin, “tolerare” yang berarti sabar terhadap sesuatu. Toleransi adalah sikap dari kesabaran, kelapangan dada (Echols dan Shadily, 1976). Toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berpikir dan beragama (Casram, 2016).

Allah SWT juga menegaskan bahwa manusia itu diciptakan dengan keberagaman agar keindahan dan keharmonisan dapat dirasakan secara total.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. (QS. Al-Hujurat: 13)

Selalu menjadi bahan pembicaraan yang laku, ketika perbedaan dipersinggungkan. Dan “toleransi” menjadi sebuah konsep final saat konflik tersebut menginjak ranah hubungan antar manusia. Toleransi dalam beragama di setiap pendapat para pakar memiliki perspektif yang bermacam.

Ada yang mendefinisikan toleransi dengan longgar, sehingga berbagai perdebatan mengomentari toleransi tersebut muncul. Ada pula yang mengartikan toleransi dengan ketat, pun konsep tersebut tak luput dari kecaman berbagai kalangan. Dalam perbedaan toleransi memang menjadi konsep final, tetapi toleransi itu sendiri masih menjadi perdebatan. Berangkat dari keresahan toleransi tersebut, kami mencoba untuk memetik pelajaran dari satu peristiwa penting oleh ­the best man, Muhammad SAW.

Toleransi adalah Dakwah

Suatu kisah yang sangat popular di kalangan umat muslim, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah marah atau membalas kepada orang yang tidak senang dengannya. Setiap Nabi berangkat shalat, ada satu orang kaum kafir Quraisy yang sering meludah kepada Nabi. Rasulullah tetap tenang dan tidak pernah marah, apa lagi sampai membalas.

Hingga suatu ketika, saat Nabi berangkat shalat, beliau tidak menjumpai orang yang sering meludahinya. Rasulullah justru kaget dan bertanya kepada para sahabat, “Di mana orang yang sering meludah kepadaku?,” salah seorang sahabat menjawab bahwa orang tersebut sedang sakit. Epic moment, Rasulullah datang menjenguk orang yang sering meludahinya bahkan membawa hadiah kepada orang tersebut. Sontak, karena kelembutan dan kesucian hati dan sikap Rasulullah, orang tersebut memeluk agama Islam dan bersyahadat di hadapan Rasul.

Dari kisah tersebut penulis menangkap satu nilai penting dalam bersikap toleransi. Diakui atau tidak, dalam bersikap toleran, manusia cenderung agar orang lain atau lawan bicaranya itu berpikiran sama dengannya. Akan tetapi, orang tersebut tidak dapat memaksa orang lain agar menurutinya. Maka di sinilah bagaimana sikap toleransi yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Layaknya seorang bertamu, akan dipersilakan masuk jika bersikap sopan dan berpenampilan baik. Sebaliknya, bagaimana tuan rumah mempersilakan masuk, kalau dari sikap saja sudah kurang ajar. Bukannya diajak bertamu, diusir tepatnya. Setelah diajak masuk ke rumah, barulah kita dapat melihat bagaimana isi dalam rumah tersebut. Dan dengan bahasa dan gerakan yang baik, setidaknya kita dapat bertanya, “mohon maaf, kenapa figura ini diletakkan di sini, bukankah lebih baik kalau ditaruh di atas sini?.” Bukan bermaksud untuk mengobrak-abrik isi dalam rumah, tapi hanya memberi tahu bahwa yang terbaik adalah seperti ini. Pilihan tuan rumah untuk mengikuti arahan atau tidak itu bukan ranah tamu. Karena itu murni hak prerogatif tuan rumah. Tapi, tuan rumah akan merasa tertarik jika dari awal sikap tamu menjunjung sikap menghargai dan ramah.

Kira-kira seperti ini analogi tentang toleransi yang coba ditangkap dari sikap Rasulullah. Bahwa, dalam toleransi beragama agar teman tidak seislam mengikuti ajaran Islam merupakan sesuatu yang pasti. Karena puncak dari toleransi beragama bagi muslim adalah merangkul teman non muslim agar sama-sama kembali ke jalan selamat, yakni ad-dinu al-islam. Rasulullah selalu mengedepankan etika agar orang-orang di sekitarnya tertarik untuk diajak ke rumah. Setelah, diperkenankan masuk Rasulullah baru mencoba untuk merubah isi dalam rumah tanpa memaksa. Setelah orang-orang tertarik dengan etika yang kita junjung, barulah kita dapat merubah secara perlahan isi ideologi saudara kita tanpa memaksa.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari