Oleh: Silmi Adawiyah*
Hidup tenang adalah dambaan setiap insan yang bernyawa. Tenang tanpa masalah, tenang tanpa cicilan, tenang tanpa musuh, dan tenang-tenang lain yang menenteramkan jiwa. Istilah “Sing jujur mujur” adalah kunci hidup tenang sebagian ummat.
Kenapa sebagian? Karena sebagian lagi mempercayai bahwa “jujur itu ancur”. Lantas manakah yang harus dijadikan prinsip dasar sebuah kehidupan yang tenang? Allah menitahkah setiap orang yang beriman dengan ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).”
Ayat tersebut merupakan perintah Allah agar orang yang beriman selalu senantiasa bersama dan bergabung bersama orang-orang yang jujur dan benar.
Selalu bersama orang-orang saleh, baik dan jujur merupakan jalan pendidikan bagi manusia agar terjauhkan dari jalan yang menyimpang dan sesat. Dengan begitu hidupnya akan diwarnai dengan amal saleh yang bermanfaat, sehingga hari demi hari pun dilaluinya dengan tenang.
Sifat jujur sangat erat kaitannya dengan hati nurani. Hati nurani senantiasa mengajak manusia kepada kebaikan dan kejujuran. Namun terkadang kita enggan mengikuti hati nurani dikarenakan kita lebih mengikuti keinginan hawa nafsu.
Kejujuran dapat membawa kebenaran, kebenaran dapat mengantarkan seseorang pada ketenangan dan sampai ke surganya Allah SWT. Rasulullah bersabda:
عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طالب رضي الله عنه عنهما قال حفظت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم دع ما يريبك إلى ما لا يريبك فإن الصدق طمأنبنة والكذب ريبة
“Dari kecil saya diajarkan Rasulullah suatu kalimat, yaitu tinggalkan sesuatu yang membuatmu ragu untuk kemudian mengambil sesuatu yang membuatmu tidak ragu atau tenang. Karena kebenaran itu membuat tenang, dan kebohongan itu membuat tidak tenang.”
Ketika kejujuran akan membawa pada hidup yang tenang, sebaliknya adalah kebohongan akan senantiasa menghantui dan membuatnya tidak tenang.
Jika Rasulullah sudah mengajarkan cara hidup tenang, lantas ada yang mengatakan hidupnya belum tenang, itu karena ia belum sepenuhnya berada pada totalitas kejujuran yang hakiki. Hidup tenang adalah pilihan, jika hidupnya tidak tenang itu karena ia tidak memilih.
*Alumni Pondok Pesantren Walisongo Jombang.