
Awal 2021
Aku baru hendak memulai takbirku saat co-pilot-ku, Arya, menyusul masuk. Tampaknya ia hendak tidur sebentar. Dua jam berlalu, setelah briefing dan melakukan analisis rincian jalur dan proses penerbangan, aku kembali ke kabin kecil ini.
Tugas memeriksa kesiapan fisik pesawat telah kulaksanakan dibantu Anton, first-officer yang selalu bersemangat bekerja denganku. Beberapa ground-officer juga kutugaskan untuk membantu. Antusiasme kutemukan di wajah-wajah mereka, yang kutebak, amat merindukan berbagai equipment yang harus mereka ungsikan ke almari alat selama pembatasan sosial beberapa bulan lalu.
Sekarang, aku ingin istirahat dahulu. Salat sekira dua rakaat. Kabin rahasia ini amatlah nyaman. Suara penumpang yang telah mulai berdatangan tak bisa menembus lapisan kedap suara yang menjadi dindingnya. Tenang, mengingatkanku pada wajah Ibu yang entah mengapa, telah seminggu ini hadir menjadi bunga tidurku.
Kuangkat tanganku di samping telinga kanan dan kiri, Allaahu akbar, lirih kuucapkan seraya dalam hati mengeja niat. Pandangan mataku semenjak tanganku masih dalam posisi sigap, telah lurus tertunduk 90 derajat, menatap sebentuk corak hijau muda di sejadah pemberian istriku seminggu lalu.
“Hijau itu warna surga, kan, Bi?” begitu jawab istriku saat kutanya mengapa tumben memberiku hadiah dengan dominasi warna hijau. Seperti yang ia tahu, aku lebih suka warna putih.
Jawabannya memantik sebuah pertanyaan lagi di kepalaku. “Umi tahu apa sebabnya surga berwarna hijau?”
Istriku menggeleng. Seperti kebanyakan orang. Mereka tak tahu mengapa surga diberi warna hijau, bukan ungu atau merah, abu-abu atau oren. Mayoritas juga tidak mencari tahu kenapa. Setelah mendengar sesuatu yang dinilai sebagai kepastian, lalu menerima tanpa banyak rasa ingin tahu lebih lanjut. Sebagian ada juga yang memikirkannya, tapi terbatas dalam sedikit ruang sempit di benak mereka yang luas. Lalu berpikir ulang bahwa memikirkan hal tersebut tak terlalu penting.
Barangkali saja karena akan ada banyak pepohonan rindang yang menyerupai hutan, sehingga warnanya hijau. Dan bangunan yang berdiri di sana berjumlah tak lebih banyak dari pepohonan. Sehingga, tetap menang warna hijaunya. Atau, bangunannya pun berwarna hijau pula. Dan tempat itu juga disebut jannah, diterjemahkan sebagai pertamanan. Dimana-mana, taman identik dengan pohon dan hijau. Kecuali taman air tentunya.
Entahlah, aku hanya suka memikirkannya. Mengapa ini begini dan itu begitu. Lalu muncul semacam hipotesa pribadi yang berhenti di tempatnya muncul. Barangkali itu yang disebut sebagai hikmah? Atau kesimpulan sok tahu?
Di samping semua hal itu, paling penting bagi mereka, kau dan aku juga tentunya, adalah bagaimana dapat masuk ke tempat warna hijau tersebut dengan selamat.
Selamat tanpa banyak ditanya hal-hal yang bisa saja sudah kita lupakan. Kebodohan-kebodohan dan kealpaan yang barangkali awet mendampingi setiap detik di masa kecil kita. Kenakalan di masa remaja yang tengah bergejolak. Tak lupa, berbagai bentuk kelicikan-kelicikan di usia dewasa kita.
Kukira tak akan ada yang sanggup mengurai dosanya sendiri kepada siapapun. Apalagi di hadap-Nya.
***
Bacaan pembuka telah kuusaikan. Kuambil jeda nafas sejenak. Dari seratus tiga belas surah di direktori memoriku, kupilih al-Insyirah. Mengapa? Karena itu yang terlintas.
“Pak, kenapa, sih, musalanya dibangun di lantai paling atas? Rifa capek kalau harus mendaki tangga lima kali sehari,” keluhku.
Saat itu usiaku 9 tahun, baru sekolah dasar. Bapak mengajakku salat di musala rumah yang baru selesai dibangun. Letaknya paling tinggi, di loteng rumah. Kami salat dua rakaat. Subuh. Bapak membaca dengan keras. Aku ingat suratnya. Alam nasyroh laka shodroka… Bukankah telah Kami lapangkan dadamu, hai, Muhammad? Wa wadho’na ‘anka wizroka… Dan telah Kami angkat beban dari pundakmu…
Mataku berair. Hangat. Oh, Nabiku, betapa Allah sangat Mengasihimu…
“Allah itu Maha Luhur. Maka segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah harus ditempatkan pada posisi yang tinggi. Contohnya kitab al-Qur’an. Ia harus berada di posisi teratas di jajaran rak buku. Begitu juga untuk salat. Kalau bisa, ruangan untuk salat dibangun di atap. Seperti yang Bapak lakukan.
“Kau ingat tidak, cerita tentang Nabi Musa? Bagaimana dia menerima wahyu pertama?”
“Naik gunung Tursina.”
“Lalu di mana Raden Umar Said membangun masjid untuk mengajar santrinya?”
“Puncak Gunung Muria.”
“Begitulah maksudku, Nak. Semakin tinggi tempatnya, semakin kita bisa dekat dengan Allah. Kata guru Bapak, do’a kita menjadi lebih mudah dikabulkan.”
Sejak itu, Bapak beberapa kali mengajakku ke pegunungan untuk berdo’a sambil mengasah kekuatan fisik kami. Terakhir kudaki lima tahun lalu dengan Bapak, Gunung Arjuno, sebelum makhluk mikro bernama sel kanker menyesakkan nyawanya.
Petuah Bapak tentang tempat yang tinggi dan dekat sangat mempengaruhiku. Begitu terpengaruhnya sampai aku memilih menjadi pilot. Hari ini, genap sepuluh tahun aku laiknya burung. Terbang kemanapun yang dimaui surat tugas. Selama itu pula, aku pikir Bapak memang benar. Sehingga, berdoa banyak-banyak saat mengudara menjadi kebiasaan rutin sepanjang karirku. Dan seperti Nabi Zakariya, aku tak pernah kecewa ketika meminta kepada-Nya.
Ponselku bergetar. Membuyikan notifikasi pesan. Kutolehkan kepalaku ke kanan, lalu kiri. Salat sunahku telah usai. Kuangkat kedua tapak tanganku, saling kurapatkan. Mataku terpejam, lama sekali baru kubuka. Aku berdoa dalam hati. Entah kenapa, hari ini aku seperti kehilangan kata-kata untuk meminta. Aku seperti tidak menginginkan apapun.
Kuraih ponsel di meja. Istriku.
Jempolku memencet gambar telepon. Menyambung. Berdering.
“Assalamu’alaikum. Abi sehat?”
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah. Kenapa, Mi?”
“Enggak, cuma pengen nanya aja. Jadi terbang?”
“Insya Allah. Doakan selamat, ya.”
“Selalu…”
“Bi…”
“Iya, Mi?”
“Selamat jalan, ya? Umi, kok, kangen sekali ya…?”
Aku tertawa. Istriku adalah tipe orang yang praktis. Dia tidak suka berbasa-basi, termasuk denganku. Ia jarang membahas hal romantis seperti kangen.
“Tumben bilang kangen. Kalo Abi, mah, tiap saat kangen Umi.” Kudengar istriku terkekeh. Barangkali dia malu.
“Kapten…” Co-pilot-ku yang lain, Azmi, muncul di ambang pintu, sambil menunjuk jam di tangan kirinya. Aku mengangguk dan memberi isyarat.
“Sudah dulu, ya, Mi? Abi sudah harus berangkat.” Rasanya pembicaraan telepon ini tak ingin kuakhiri. “Jaga diri, jaga anak-anak, Abi pamit dulu.” Kututup telepon istriku dengan salam yang kurasakan sebagai salam paling sedih yang pernah kuucapkan. Aku tak bisa mengendalikan setitik air yang tiba-tiba saja memaksa keluar dari mataku.
*****
Sembari berkeliling mengitari burung besi raksasa ini, aku membetulkan letak peci putihku, pemberian seorang Tuan Guru dari Makassar, dua tahun lalu ketika aku menerbangkan pesawat umroh. Beliau memakaikannya langsung di kepalaku yang mulai beruban.
“Kalau kepalamu sudah putih, maka yang lain juga akan nampak putih.”
Kukira ia menyinggung ubanku. Tapi baru kumengerti nasihatnya setelah membaca uraian dari sebuah buku karangan beliau. Intinya, positifkan dulu pikiranmu, maka otomatis segala hal akan nampak positif di pandanganmu. Apa pun itu.
Azmi telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Aku kembali ke kokpit kemudian memeriksa ulang penyetelan sistem. Kuhubungi menara pengontrol, meminta izin untuk lepas landas. Mereka memberi rincian waktu. Kira-kira lima menit lagi.
Sambil memegang yoke, aku mulai melafalkan doa Nabi Nuh.
*****
Kami telah melihat perairan laut utara Jawa. Aku tersenyum, senang sekali jika mengudara di atas lautan. Tapi juga merasa takut, seolah-olah ia akan menyedot dan menenggelamkan kami di pelukannya yang dalam.
Suara radio dari air traffic control di bandara masih terdengar. Tidak ada pesawat lain yang melalui rute ini. Kucoba menghubungi beberapa frekuensi.
Di atas sini, gerimis. Awan di sebelah utara agak gelap. Cumulonimbus. Satu menit. Dua menit. Rupanya gerimis mulai berubah deras. Kutekan konsol radio untuk menghubungi ATC, meminta arah. ATC memberi intruksi untuk menaikkan ketinggian.
“Clear!” jawabku. Yoke kutarik ke belakang.
Satu menit. Masih stabil. Mulutku tak henti merapal zikir. Kumpulan titik-titik air yang makin pekat di depan membuatku sedikit ragu untuk berjalan lurus. Tiba-tiba lampu emergensi di depanku menyala merah. Satu mesin mati. Kucek panel suhu. Penunjuknya terjun bebas.
Aku menghubungi ATC lagi. Beberapa detik masih bisa kudengar suara kemeresak sebelum sinyalnya putus dan hilang. Tapi aku tak bisa berhenti memutar panel komunikasi dan memanggil.
Di atas sini, sangat dingin. Aromanya seketika merambati sekujur tubuh. Azmi juga tak kalah berusaha dariku. Ia mencoba menganalisis kerusakan sistem dan menghubungi siapapun yang bisa terhubung.
Namun nampaknya kami kehabisan waktu, seketika burung besi ini miring ke kiri dan kurasakan goncangan ringan, diselingi suara teriakan panik dan pekik takbir. Aku memekik dalam hati.
Kucoba menyetel ulang tombol-tombol control system yang ruwet, sambil terus mengeja zikir. Entahlah, kenapa semua peralatan ini seolah kehilangan fungsinya? Yoke kuarahkan untuk bermanuver, tapi sudah tak berguna lagi. Aku juga tak bisa mengontak siapapun yang ada di darat atau kapten lain yang sedang mengudara. Layar navigasi telah mati sedetik lalu.
Lalu segalanya berjalan sangat cepat. Gerimis yang makin ritmis, awan hitam serta penampakan kilat petir di kejauhan. Peciku. Ia terlepas dari kepalaku saat kurasakan tunggangan raksasa ini menukik begitu cepat. Pesawat ini turun, turun, tanpa bisa kukendalikan. Sampai ia mencium lautan, eksplosi di beberapa bagian pesawat akhirnya mendaratkan kami pada kehancuran total. Suara dentumannya menciutkan siapa saja.
Aku jatuh. Semakin jatuh dihisap lautan. Dipeluknya tubuhku begitu erat. Erat di kedalamannya yang paling jauh. Dan paling dingin. Wajah-wajah seketika muncul. Bapak. Ibu. Istriku…
Dua detik kemudian, peci putih ikonik itu menyusulku meringkuk di pelukan Laut Utara Jawa.
****
Lalu, kulihat sebuah kelebatan sayap. Ya, sayap yang amat besar. Dan langit dipenuhi oleh sayap-sayap.
Aku melesat tidak hanya sekadar terbang dengan kecepatan cahaya. Semakin tinggi. Melintasi angkasa, melintasi semesta. Semakin jauh, semakin tinggi.
Dan semakin dekat.
Catatan akhir:
Semoga mereka yang telah pergi dalam tugas penerbangan selalu dikenang dengan hormat, dan semoga semua awak yang terus mendedikasikan hidupnya untuk membawa kita melintasi langit selalu diberi keselamatan dan perlindungan, kemanapun mereka terbang.
Penulis: Athi Suqya Rohmah