Sumber gambar: www.google.com

Oleh: Vevi Alfi Maghfiroh*

Sebagai pemeluk agama Islam, seorang Muslim sejati harus menjalankan kehidupannya sesuai aturan dan pedoman yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi, baik secara qauli, fi’li, maupun taqriri. Ajaran dan pedoman tersebut meliputi semua sendi kehidupan umat Islam baik berupa akidah, hukum, maupun etika sosial.

Pedoman Umat Islam yang diajarkan tersebut adakalanya memiliki perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemahaman yang berbeda mengenai ayat dan teks-teks yang ada. Perbedaan pendapat para ulama tersebut bisa disebabkan karena perbedaan dalam memahami Al-Qur’an, berbeda dalam memahami makna dan memandang kedudukan suatu hadis, berbeda dalam metode ijtihad, dan perbedaan dalam memahami dan menafsiri sebuah teks.

Produk dari hasil pemahaman yang berbeda-beda tersebut kita kenal sebagai istilah fikih. Secara etimologi, fikih bermakna al fahmu yang bermakna pemahaman, sedangkan menurut terminologinya fikih bermakna hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan bagi perbuatan manusia yang telah sampai mukallaf yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Dari pemaknaan diatas, sudah barang tentu produk hukum yang dihasilkan dalam fikih berbeda antar satu golongan dengan golongan lainnya. Namun perbedaan pendapat tersebut masih sering terjadi pertentangan dan pertikaian antar muslim akibat kesalahannya memahami fikih itu sendiri, setidaknya ada Tiga kesalahan dalam memahami fikih.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Fikih Bersifat Zhanni bukan Qat’i Fikih sebagai produk hukum diambil dari dalil-dalil sam’i (periwayatan), maka sudah tentu fikih bersifat zhanni (bersifat dugaan kuat). Dalam sumber hukum yang disepakati berupa Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak, dan kias. Kias hanya sampai pada zhann (dugaan kuat), Ijmak pun demikian.

Adapun pada Sunnah dan Hadist bisa jadi redaksinya adalah qath’i (valid dari sisi periwayatan), akan tetapi dalalah (pengertiannya) zhanni (multitafsir). Begitupun dalam Al-Qur’an. Fikih berarti  pemahaman  bukan kebenaran mutlak dari makna etimologinya, fikih berarti paham. Jika yang dimaksud adalah paham, maka antar individu satu dengan lainnya bisa berbeda pendapat dalam memahami suatu realitas.

Hal ini menjadi sebab dalam fikih Islam muncul berbagai aliran dan mazhab. Tentu itu juga disebabkan karena sumber fikih itu sendiri tidak qat’i baik dari segi periwayatan maupun dari segi maksud dan cakupannya.

Dalam fakta ini, maka tak heran jika sering kali kita dihadapkan pada perbedaan-perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi satu masalah atau kasus. Pendapat-pendapat yang disodorkan tersebut merupakan pilihan bagi kita lantas memilihnya sesuai kondisi dan situasi yang pas. Fikih tidak kaku  dan selalu  bersentuhan dengan realitas Fikih selalu bersentuhan dengan realitas. Sedangkan permasalahan baik yang menimpa perorangan maupun kelompok masyarakat umum juga merupakan sebuah realitas.

Disini lah letak fikih, ia dihadapkan dengan realitas yang terjadi di tengah manusia, lalu para ulama mengutarakan pendapat mereka yang beragam berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian jadilah pendapat-pendapat mereka tersebut sebagai pilihan-pilihan yang disodorkan pada kita.

Maka sudah barang tentu dalam pilihan-pilihan ini, setiap golongan atau kelompok akan memilih hal yang berbeda sesuai dengan pemahaman, situasi, dan kondisi dari tiap-tiap wilayah dan golongannya.

Perbedaan-perbedaan dalam ranah fikih sudah mutlak adanya, bukan kah perbedaan merupakan rahmat dari Tuhan yang tidak perlu dipermasalahkan secara berlebihan. Wallahu a’lam bisshawab.

*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.