Sumber gambar: https://www.merdeka.com/gaya/3-aturan-belanja-cincin-kawin-dengan-tunangan.html

Oleh: Fathur Rohman*

Jika zaman dahulu perempuan kebanyakan dilamar oleh seorang laki laki dan merasa tabu bila ia melamar seorang laki laki. Seorang perempuan terpenjara adat tersebut karena tidak berani mengutarakan isi hatinya. Namun pada masa sekarang banyak laki laki yang dilamar oleh perempuan, entah karena ada fenomena apa, namun yang jelas kedua duanya bukanlah hal yang salah dalam sudut pandang ajaran Islam.

Seorang laki laki yang tidak berani melamar seorang perempuan atau seorang perempuan yang tidak berani melamar laki-laki, biasanya dilatarbelakangi oleh keminderannya, entah keminderan itu berupa perasaan takut ditolak, karena merasa belum mapan, karena tidak sopan, atau karena hal yang lainnya.

Padahal sebenarnya sederhana saja bila memakai logika akal (bukan memakai perasaan); bila suka seseorang ungkapkan saja, bila ditolak, tinggal cari yang lainnya atau berusaha memperbaiki diri untuk menjadi sosok yang diinginkan oleh orang yang dicintainya. Kemudian saat sudah pantas mengutarakan perasaannya lagi, atau bila belum siap menikahinya, cukup mengutarakan perasaannya saja, lalu bilang kalau belum siap menikahinya dengan menjelaskan alasan-alasannya.

Ada yang bertanya bagaimana jika kedahuluan menikah dengan orang lain, maka sebagai orang yang beriman, keyakinannya adalah bahwa ia bukan jodoh, dan yakin akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dan tepat darinya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Katika ada yang melamar, baik sebagai laki laki atau perempuan, ada baiknya tidak langsung diputuskan untuk diterima atau ditolak dalam waktu yang singkat, tanpa melakukan istikhorah dulu, baik istikharah bathini atau istigharah dhohiri yang biasanya memakan waktu yang agak lama.

Alasan tidak cepat-cepat diterima atau ditolak, karena belum mengenal karakternya, keluarganya, dan hal-hal lain yang terkait dengannya yang biasanya membutuhkan waktu yang agak lama untuk mengenalnya.

Mengenal bukan berarti harus berpacaran, sering janjian ketemuan, jalan bareng dan lain-lain. Karena mengenalnya itu bisa melalui orang-orang yang mengenal orang yang dicintainya, atau berkomunikasi tanpa melanggar batas syariat, sebagaimana kita tidak pernah bertemu langsung dengan Nabi Muhammad SAW, tetapi kita bisa mencintainya melalui riwayat para shahabatnya dan ulama’.

Terkadang ada orang yang menikah kemudian menyesalinya, karena dulunya ketika dilamar terburu-buru menerimanya atau menolaknya, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan istikharah sebelum memutuskan menerima atau menolaknya.

Menyegerakan menikah itu benar, namun tergesa gesa dalam pernikahan itu juga tidak dibenarkan, sehingga memaksakannya harus dilaksanakan dalam waktu dekat dan singkat.

Yang perlu dipahami bersama oleh calon pasangan atau suami istri adalah bahwa mereka akan menjalankan hidup bersama pasangannya selama 24 jam dalam sehari, bukan hanya saat terjaga, namun saat tidak terjaga juga, tidak hanya saat bersama dalam satu tempat dan waktu, namun saat di tempat dan waktu yang berbeda pula untuk saling tetap menyayangi dan mengasihi.

Bila berkeyakinan bahwa pasangannya adalah yang terbaik, maka harus menjadikannya yang terbaik bukan buat orang lain, tetapi buat diri sendiri, karena bisa jadi yang baik menurut orang lain tidak baik untuk diri sendiri, demikian juga yang baik menurut diri sendiri belum tentu baik menurut orang lain.

Bila ditanyakan bagaimana bisa mengetahui pasangan itu baik untuk diri kita, maka jawabannya adalah sederhana saat bersamannya ketaat kita pada Allah SWT semakin baik dan ia tidak mengajak untuk bermaksiat melanggar aturan Allah Swt. Sekaya apapun dan sepandai apapun pasangan atau calon pasangan, jika tidak membawa diri kita kepada ketakwaan kepada-Nya perlu dipertimbangkan lagi.

Orang tidak baik pada saat ini belum tentu tidak baik untuk menjadi pasangan, karena bisa jadi, ia kelak menjadi orang yang bertaubat dan baik dalam memimpin sebuah rumah tangga. Demikian juga orang yang saat ini baik, belum tentu baik untuk jadi imam dalam rumah tangga karena seseorang bisa berubah. Prinsip itu dimaksudkan, agar setiap pasangan atau calon pasangan sama-sama senantiasa berusaha memperbaiki diri dalam meningkatkan ketakwaan pada Allah SWT.

Semoga Allah senantiasa memberikan kita pasangan yang baik, Amin.


*Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng