tebuireng.online. Jakarta 20/01/14, The Wahid Institute adakan temu media dan Seminar Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan 2013. Acara Peluncuran dan Seminar ini diadakan Senin 20 Januari 2014
di Balai Kartini Jakarta.
Acara ini merupakan agenda tahunan The Wahid Institute
mengenai laporan kebebasan beragama dan berkeyakinan selama tahun 2013.
Pembicara seminar ini antara lain Yenny Zanuba Wahid (Direktur The Wahid Institute), Dr. Rumadi (Peneliti The Wahid Institute), M. Chairul Anam (HRWG), Imdadun Rahmat (Komisioner Komnas HAM), M. Subhi Azhari (Peneliti The Wahid Institute), dan Kombespol Boy Rafli Amar dari unsur Kepolisian.
Dalam kesempatan itu, Yenni Wahid memberikan prolog bahwa Indonesia masih belum bebas dari kekerasan atas nama agama. Yenni menuturkan perbaikan kuaitas jaminan kebebasan beragama /berkayakinan oleh Negara belum menunjukkan perubahan signifikan. Total pelanggaran sebanyak 245 kasus mulai dari terkatung-katungnya pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito Mataram NTB, penyegelan gereja GKI Yasmin, penyegelan gereja Fuladelphia di Bekasi, dan kasus Syiah Sampang dimana saat ini warga Syiah masih belum bisa kembali ke daerah asalnya.
Menurut Yenni, pelaku pelanggaran berasal dari unsur aparat negara (Pemda/Pemkab, Kepolisian, Satpol PP) dan non negara (FPI dan MUI masih menjadi aktor tindakan pelanggaran dan beberpa perguruan tinggi).
Sedangkan Imdadun Rahmat memberikan uraian bahwa beberapa kasus pelanggaran terjadi akibat penerapan peraturan daerah yang terlalu mengikat (Crime by Judicial) atau bahkan dikriminalisasi akibat dianggap tidak sesuai dengan keyakinan/agama tertentu yang kemudian menghasilkan ketidakadilan oleh aparat hukum mulai dari kepolisian hingga pengadilan tinggi akibat buruknya peraturan yang ada.
Pernyataan itu pun disanggah oleh Kombespol Boy Rafli Amar yang saat ini menjadi kepala Bagian Penerangan Umum Polri, bahwa
aparat kepolisian sudah bertindak sesuai prosedur dan menjunjung tinggi nilai-nilai yuridis sesuai undang-undang yang ada.
Beliau juga memberikan saran agar kepala daerah di Indonesia memiliki integritas kepemimpinan yang kuat untuk mencegah tindakan intoleransi di masyarakat. (lutfi/tbi.org)*