Oleh: Dimas Setyawan*

Mengenal Sosok Teungku Fakinah

Teungku Fakinah adalah salah satu dari sekian ulama perempuan yang menjadi pendidik,  panglima serta pemimpin di medan pertempuran. Ia dilahirkan sekitar pada tahun 1856 M. Ayah Teungku Fakinah adalah anak dari Teungku Datu Mahmud atau lebih dikenal dengan nama Teungku Asahan (seorang penjabat pemerintahan pada zaman Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, 1238/1823-1251/1836 M).

Sedangkan ibunya adalah Teungku Fatimah, seorang putri dari ulama besar yang Bernama Teungku Chik Lam Pucok, pembangun dan pemimpin Dayah Lam Pucok, tempat Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman Berguru. Dengan demikian, secara langsung dalam tubuh Teungku Fakinah mengaliar dua unsur darah; darah bangsawan dan ulama sekaligus.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari hasil pernikahan Datu Mahmud yang memiliki latar belakang bangsawan dengan Teungku Fatimah yang berasal dari latar belakang ulama, maka pada tahun 1856 lahirlah soerang putri yang bernama Teungku Fakinah, di sebuah desa yang diberi nama Lam Diran kampung Lam Bunot (Lam Krak), yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Banda Aceh.

Benih Karir Seorang Pejuang

Semenjak kecil Teungku Fakinah telah belajar dari kedua orang tuanya. Ibunya mengajarinya baca-tulis huruf Arab, mengajar membaca al-Quran dan ilmu-ilmu agama dalam Bahasa Melayu. Selain itu, ibunya juga mengajari beberapa kerajinan tangan seperti, menjahit, menenun, menyulam, memasak, serta membuat kerawang sutra. Sedangkan sang ayah mengajari Teungku Fakinah ilmu bahasa Arab, fiqih (hukum Islam), tasawuf, akhlak, sejarah, tafsir, hadis dan lain-lain. Selain belajar ilmu pengetahuan yang sifatnya textbook, Teungku Fakinah pun pernah mendapatkan pendidikan militer menjelang pecahnya perang Aceh.

Setelah mencapai usia dewasa, Teungku Fakinah menikah dengan seorang perwira muda yang juga seorang ulama, namanya Teungku Ahma. Mereka berkenalan di tempat pendidikan militer hingga akhirnya menikah. Setelah menikah, ia bersama sang suami memulai kiprahnya pada bidang pendidikan dengan membangun dayah (pesantren) di kampung Lam Beunot di Mukim Lam Krak.

Pada tahun 1873, sewaktu Belanda memulai agresinya di Aceh, suami Teungku Fakinah, perwira muda Teungku Ahmad ikut bertempur di medan perang Pantai Cermin, tempat tantara Belanda mendarat. Dalam pertempuran tersebut, suami Teungku Fakinah dinyatakan gugur atau syahid.

Setelah wafatnya sang suami, Teungku Fakinah mengadakan kampanye perang di tengah-tengah kaum perempuan. Atas izin Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, Teungku Fakinah kemudian membentuk sebuah pasukan tingkat sukey (resimen) yang terdiri atas empat balang (bataloin), beliau sendiri tampil menjadi  Panglima Sukey (Panglima Resimen), dengan sebutan Sukey Fakinah.

Perlawan yang dilakukan oleh Teungku Fakinah berhasil membuat Belanda berang. Pada 9 Juni 1896 tentara Belanda dengan pasukan cukup besar, di bawah pimpinan Kernal J.W. Stempoot melakukan serangan umum terhadap kubu pertahanan Teungku Fakinah di daerah Lam Krak. Dua bulan lamanya, Belanda akhirnya gagal menembus benteng Aceh.

Ketika memasuki Agustus 1896, Belanda berhasil menduduki daerah Lam Krak, yang memaksa Teungku Fakinah mundur bersama sisa pasukannya. Awalnya mereka mundur ke Kuta Cot Ukam, kemudian Gleeyeung lalu ke Indraputri. Pada masa mundur tersebut, suami kedua Teungku Fakinah yang bernama Teungku Badai, syahid. Bersamaan dengan mundurnya Teungku Fakinah dari Lam Krak, satu per satu kubu pertahanan Aceh seperti Kuta Aneuk Galong dan Kuta Cot Bak-U di Mondasie jatuh ke tangan Belanda.

Penaklukan Belanda tersebut membuat Teungku Fakinah membuat garis pertahanan di Indrapuri. Namun karena kubu ini sangat rapuh, mereka pun akhirnya memutuskan untuk mundur ke Lamsi, ke Seulimeun dan seterusnya hingga ke Lam Tamot.

Setelah dirasa tidak mampu menahan serangan bertubi-tubi dari pasukan Belanda, Teungku Fakinah bersama pasukan dan sisa-sisa resimen lainnya hijrah ke daerah Pidie. Di sana mereka membuat garis pertahanan yang cukup kuat di daerah Tiro bersama Panglima Resimen Teungku Chik Tiro Matyet. Pada akhirnya, benteng ini pun berhasil direbut oleh pasukan Belanda, Teungku Fakinah memutuskan untuk menuju ke Tangse, sebuah Kawasan pedalaman yang cukup strategik.

Di daerah baru ini, Teungku Fakinah sempat membangun tempat pendidikan semi permanen untuk mengajar anak-anak yang lahir dalam masa peperangan, yang mulai masuk pada usia baligh. Namun tak dapat disangka, kubu yang baru dibangun ini pun akhirnya berhasil jatuh ke tangan Belanda pada bulan April 1899.

Menuju Hari Tua

Setelah perang Aceh berakhir (meskipun perang gerilya terus berlanjut sampai Belanda pergi ke tanah Aceh), Teungku Fakinah membangun dunia pendidikan kembali, atau dalam istilah back to basic ke pesantren (dalam Bahasa Aceh: Dayah), serta membangun kembali kesejahteraan rakyat yang porak-poranda selama masa perang.

Dalam hal ini ia dibantu oleh tenaga ulama, lelaki, dan wanita. Pada akhirnya Pondok Lam Diran mencapai kemajuan yang sangat pesat. Ribuan pelajar datang dari seluruh ceruk Tanah Aceh, setelah pusat pendidikan yang diusahakan bersama para ulama yang sekaligus bekas pasukan gerilya tesebut berjalan dengan teratur.

Dalam memasuki masa tuanya Teungku Fakinah sering dikunjungi oleh orang-orang besar, baik bangsa Indonesia, tokoh Aceh, dan bangsa Belanda. Ia juga sering dikunjungi oleh Teungku Paglima Polim Muhammad Duad, Tuanku Raja Keumala, seroang residen Belanda dan beberapa perwira mereka.

Setelah usai berbakti kepada agama, bangsa dan tanah airnya, menurut penuturan Teungku Ismail Lam Krak, pada tanggal 3 Oktober 1933, ulama dan pahlawan besar besar Teungku Fakinah berpulang ke rahmatullah dalam usia kurang lebih 76 tahun. Menurut H.M. Zainuddin, Teungku Fakinah meninggal pada 8 Ramadhan 1359 H. (1933 M.) Ia dimakamkan di pemakaman Lam Diran. Di tempat itu lebih dulu dimakamkan teman-teman seperjuangannya, seperti Habib Kabul, dan lain-lain. Makan ini sampai sekarang masih banyak diziarahi oleh orang-orang.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari