Perempuan yang terpenjara oleh ingatan dan kenangannya sendiri (gambar: http://teatersatulampung.org)

Oleh: Ana Saktiani Mutia*

Sajak rindu yang mulai tenggelam dalam ingatan, mengalahkan peluh dalam untaian kata. Ketika senja menyapa, ingatan itu mulai terlukis kembali. Meski tak ada yang perlu dipertanyakan, ingatan itu tetaplah kenangan abadi. Merelakan ingatan itu adalah hal terkecil yang seringkali disesali. Begitu pula dengan apa yang tengah terjadi saat ini.

Ingatan itu kembali, namun tak ada yang mampu tuk mengembalikan kenangan pada kenyataan. Merelakan kenangan, mengukung keterpaksaan, melepas jenuh dalam fikiran, itukah ingatan yang kembali?

Jika itu bukanlah ingatan yang kembali, maka rindu adalah jawaban tepat untuk mendefinisikan. Seringkali kujatuh tanpa sebab, dan seringkali kubangkit tanpa alasan. Aku kembali bukan untuk jatuh, bukan pula untuk bangkit. Aku kembali hanya ingin menjemput ingatan yang sempat luka karena kebodohan nan egoku. Sekejap aku bertanya, untuk menjawab pertanyaan yang datang tanpa henti.

Saat rindu dan ingatan tak kembali menyapa, akan ada jurang jawaban yang menanti kedatangannya. Jangan mengharap rindu dan ingatan itu kembali, saat apa yang dipertanyakan tak menemukan sebuah jawaban. Menggagas rindu pun juga bukanlah jawaban untuk mengembalikan sebuah pertanyaan dalam keangkuhan. Mengharap ingatan dan rindu juga bukan salah satu jalan dan keinginan yang dinantikan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Berucap jujur adalah hal terbaik yang mampu mengikis kekecewaan dan keterpurukan di dalam relung hati yang kian tak pasti, akan apa yang di rasakan. Selamat tinggal ingatan, kau bukanlah jawaban atas sebuah pertanyaan yang kian hari membuatku sulit terlelap. Sudilah kau kenangan tuk berhenti memberiku sebuah harapan tanpa kepastian.

Aku akan kembali untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang acapkali datang tanpa permisi.


*Penulis adalah mahasiswi PBSI Unhasy Tebuireng Jombang.