
Tergiur fadilah puasa Syawal tapi masih punya hutang pada puasa Ramadan, bagaimana hukum puasa syawalnya?
Ramadan sudah berlalu, namun kita berharap bahwa hasil didikan Ramadan tidak berlalu begitu saja. Jangan sampai ada kesan bahwa keluarnya kita dari Ramadan ibarat lepasnya kuda dari kandangnya yang lari kesana kemari seakan lepas dari semua beban dan tanggung jawab penghambaan kita kepada Allah SWT.
Bulan Syawal telah datang yang ditandai dengan hari raya Idul Fitri kemarin, gema takbir berkumandang di seluruh penjuru dunia menandakan bulan Syawal telah tiba.
Di bulan Syawal ada sunnah yang sangat dianjurkan dan hampir setiap kita mengetahuinya walaupun tidak semua kita mau dan mampu melaksanakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah haditsnya bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (HR. Muslim)
Ini ibarat langkah awal bagi kita untuk menjaga tradisi baik setelah Ramadhan, tentunya selain berharap bisa mendapatkan nilai pahala yang dijanjikan. Enam hari yang dimaksud tidak harus berurutan, boleh terpisah asalkan enam hari ini semuanya dikerjakan dalam bulan syawal.
Puasa enam hari di bulan Syawal sudah diketahui keutamaannya, yaitu pahalanya sama dengan berpuasa selama satu tahun. Namun setelah lebaran Idul Fitri, mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, lebih baik mendahulukan mengganti (qadha) puasa Ramadan atau melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal?
Baca Juga: Bolehkah Menggabungkan Qadha Puasa Ramadan dan Puasa Syawal?
Di satu sisi ingin segera melaksanakan puasa Syawal, mengingat keutamaannya yang sangat besar. Di sisi lain, ada utang puasa Ramadan yang harus ditunaikan, dan hukumnya adalah wajib.
Secara umum sebenarnya permasalahan ini masuk dalam pembahasan apakah boleh puasa sunnah (tidak hanya puasa sunnah Syawal) sebelum melunasi hutang puasa Ramadan yang tertinggal. Dalam hal ini setidaknya ada tiga pendapat para ulama:
Pendapat Pertama
Ini adalah pendapat para ulama fikih dari madzhab Imam Abu Hanifah. Mereka berpendapat bahwa boleh hukumnya dan sah bagi siapa saja yang melaksanakan puasa sunnah walaupun hutang puasanya belum dilunasi, termasuk di dalamnya bahwa boleh melaksanakan puasa sunnah Syawal walaupun masih ada beberapa hari hutang puasa belum terbayarkan.
Imam Al-Kasani dalam kitabnya Al-Badai’ wa As-Shanai’ menegaskan bahwa kewajiban membayar hutang puasa Ramadan itu mempunyai waktu yang panjang dan longgar/alwajib ala at-tarakhi, tidak harus dikerjakan pada bulan Syawal, tapi waktunya bisa kapan saja. Adapun kewajiban mengganti puasa Ramadan yang pernah ditinggalkan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُون
Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS Al-Baqarah: 184).
Dalam ayat di atas tidak ada waktu khusus yang Allah perintahkan, Allah hanya memesankan agar puasa yang ditinggalkan tersebut harus dibayar, masalah waktu pembayarannya sangat longgar.
Ditambah dengan hadits Aisyah r.a., dalam penuturannya bahwa:
كان يكون عليّ الصوم من رمضان، فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان
“Saya pernah punya hutang puasa ramadhan dan saya belum melunasinya kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari)
Ketika Sayyidah Aisyah pernah melunasi hutang puasanya di bulan Sya’ban rasanya mustahil bagi seorang Aisyah di tahun itu tidak pernah puasa sunnah; tidak puasa sunnah Syawal, tidak puasa Arafah, tidak puasa Asyura, tidak puasa Senin Kamis, dsb.
Pendapat Kedua
Pendapat kedua dalam permasalahan ini adalah boleh mengerjakan puasa sunnah sebelum melunasi puasa wajib tapi hal seperti ini agak kurang disukai/ ma’a al-karahah (مع الكرهة). Ini adalah pendapat para ulama dari madzhab Maliki dan Syafii.
Imam Ad-Dardir menyebutkan itu didalam kitabnya As-Syarhu Al-Kabir jilid 1 hal. 518-519, bahkan lebih tegas lagi Imam Ad-Dasuqi menyebutkan bahwa baik puasa sunnah tersebut bahkan sampai pada level sunnah muakkadah, tetap kurang disukai untuk dilakukan selagi masih ada puasa wajb yang belum dikerjakan atau dilunasi.
Begitu juga pandangan para ulama madzhab As-Syafii terkait hal ini, bahwa boleh mengerjakan puasa sunnah sebelum melunasi puasa wajib, walaupun hal ini agak kurang disukai/makruh.
Alasan pendapat ini secara sederhana bahwa kurang etis rasanya megakhirkan yang wajib dan mendahulukan yang sunnah, padahal seharusnya yang wajib harus diprioritaskan terlebih dahulu, baru setelah itu diikuti dengan yang sunnah.
Terlepas bahwa memang benar ada sebagian dari kewajiban yang mempunyai waktu luas, sehingga agak terkesan longgar, tidak sempit, tapi tetap saja yang utama adalah segera melunasi yang wajib agar diri segera terlepas dari taklif/beban hutang kewajiban
Pendapat Ketiga
Terkait apakah boleh melaksanakan puasa sunnah sebelum melunasi puasa wajib, maka pendapat ketiga menegaskan bahwa hal tersebut tidak boleh, bahkan ada yang sangat tegas menilainya haram. Ini adalah pendapat dari sebagian ulama Hanabilah, seperti yang ditulis oleh Imam Abu An-Naja dalam kitabnya Al-Iqna’ jilid 1 hal. 316.
Baca Juga: Dapatkan Pahala Puasa Satu Tahun dengan Cara Ini
Adapun Imam Ahmad sendiri disinyalir mempunyai dua riwayat, satu riwayat menyebutkan tidak boleh, dan dalam riwayat lainnya boleh, demikian penjelasan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni jilid 3 hal. 86
Dasarnya adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah:
من أدرك رمضان وعليه من رمضان شيء لم يقضه لم يتقبل منه، ومن صام تطوعا وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنه لا يتقبل منه حتى يصومه
“Siapa yang mendapati Ramadhan dan dia masih mempunyai (hutang) kewajiban berpuasa darinya yang belum dia penuhi maka tidak diterima amalan puasanya, dan barang siapa yang berpuasa sunnah sedangkan dia masih mempunyai hutang puasa ramadhan yang belum dilunasi maka tidak diterima puasa sunnahnya.” (HR. Ahmad)
Lebih lanjut, Said bin Jubair pernah ditanya oleh seseorang apakah dia boleh berpuasa sunnah di bulan Dzulhijjah padahal dia masih menanggung hutang puasa wajib, dijawab oleh Said bin Jubair:
يبدأ بالفريضة
“(hendaknya) dia memulai dari yang wajib”
Abu Hurairah juga pernah ditanya yang demikian, beliau pun menjawab:
لا بل ابدأ بحق الله فاقضه، ثم تطوع بعد ما شئت
“Tidak, akan tetapi mulailah dengan melunasi hak Allah swt lalu setelah itu kerjakanlah (puasa) sunnah sesukamu.”
Juga begitu jika hal ini diqiyaskan dengan perkara haji, sebagaimana tidak boleh melaksanaan haji sunnah (dengan cara menghajikan orang lain) sebelum dia sendiri melaksanakan haji wajib terlebih dahulu, begitu juga dengan perkara puasa.
Namun bagi mereka yang berpendapat bahwa boleh mengerjakan puasa sunnah walaupun masih mempnyai hutang puasa wajib menilai bahwa hadits diatas tidak kuat untuk dijadikan dalil, terlebih bahwa menurut penilaian sebagian ulama, hadits tersebut diatas dhoif/lemah karena keberadaan perawi yang bernama Ibnu Al-Hai’ah karena dianggap hafalannya lemah.
Adapun sebagian atsar/perkataan para sahabat juga tidak serta-merta bisa dijadikan dalil pengharaman, karena bisa jadi kalimat pelarangan tersebut bukan berarti tidak boleh atau tidak sah namun itu hanya untuk sebuah keutamaan saja, bahwa baiknya cepat selesaikan hutang puasa wajib, bukan tidak boleh puasa sunnah.
Terkait dalil qiyas yang disebutkan tentunya antara puasa dan haji punya banyak perbedaan, salah satunya dari sisi waktu, bahwa ibadah haji mempunyai waktu yang tertentu dan waktunya sangat sempit, berbeda dengan qadha puasa yang waktunya sangat luas dan longgar, sehingga mengqiyaskan puasa dengan haji dianggap kurang tepat/qiyas ma’a al-fariq.
Yang Lebih Utama
Dari pembahasan di atas dapatlah kita simpulkan bahwa sebagian besar ulama membolehkan untuk berpuasa sunnah walaupun masih mempunyai hutang puasa wajib, hanya sebagian ulama Hanabilah saja yang tidak membolehkan.
Namun agar kita keluar dari perdebatan di atas memang baiknya dan yang lebih utama sebisa mungkin secepatnya membayar hutang puasa terlebih dahulu baru kemudian kita atur agar bisa berpuasa sunnah sesuai dengan kemampuan kita. Lalu terkait puasa sunnah Syawal memang baiknya segera lunasi dahulu hutang puasa baru segera diikuti dengan enam hari puasa syawal.
Baca Juga: Punya Hutang Puasa Ramadhan, Bolehkah Puasa Sunnah Syawal?
Namun jika mau sedikit mengakhirkan qadha puasa dan langsung berpuasa sunnah Syawal maka yang demikian sah menurut mayoritas ulama, asalkan mengqadha’nya tidak sampai memasuki bulan Ramadan berikutnya. insyaAllah tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal tadi yang disebutkan di awal pembahasan.
Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis: Fatih, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.