Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asyari dikenal sebagai kiai yang supel, mudah bersosialisasi, dan bermuamalah dengan masyarakat, sehingga tak hanya disegani tetapi juga dihormati dan menjadi panutan. Selain memberikan pengajian dan pengajaran, Hadratussyaikh juga melakukan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan masyarakat, seperti bercocok tanam, berdagang di pasar lokal maupun ke kota, dan juga berorganisasi.
Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan oleh Kiai Hasyim sendiri dalam kitabnya yang berjudul, at Tibyan fi an Nahyi an Muqatha’ati al Arham wa al Ikhwan, yang membahas tentang larangan memutus silaturahmi dan persaudaraan. Kisah ini sangat menarik, di mana Hadratussyaikh menegur seorang ulama dan ahli ibadah yang biasa memberikan pengajaran dan pengajian kepada masyarakat, tetapi kaku, suka marah, dan tidak pandai bersosialisasi alias suka ber-uzlah (menyendiri).
Kisah ini berawal dari kesaksian Hadratussyaikh sendiri menghadapi ulama seperti itu. Dalam kitab itu, Kiai Hasyim menggambarkannya sebagai seorang ahli ilmu, rajin ibadah, shalat malam, puasa, dan tidak berbicara kecuali dalam keadaan yang butuh, haji berkali-kali, sampai ulama ini mendapatkan predikat masyikhah (guru/syaikh/mursyid) tarekat an Naqsabaidyah.
Pada suatu hari, sang ulama ini menyingkir dan tidak bergaul dengan masyarakat. Dia menyendiri di rumahnya dan tidak keluar kecuali untuk shalat jamaah dan mengajarkan dzikir kepada pengikut-pengikutnya. Tapi suatu ketika dia keluar untuk shalat Jumat. Manakala sampai di masjid, dia malah marah-marah kepada jamaah yang di dalamnya dengan kata-kata yang kasar dan jelek, padahal dia adalah seorang ulama panutan, apalagi pemangku tarekat (sufi) dan ahli ibadah.
Setelah marah-marah, si Mursyid tarekat ini pulang dengan segera ke rumahnya dan menyendiri kembali. Tapi, suatu hari, ada pejabat pemerintah (dalam bahasa Kiai Hasyim menggunakan kalimat “Wazirul Balad” atau menteri negara. Bisa jadi memang adalah menteri. Wallahu a’lam), yang datang menemui ulama tersebut untuk memintanya membacakan doa agar si pejabat ini diberikan ketenangan, menjadi rileks, dan lunak hatinya dengan imbalan beberapa uang. Lah, dilalah, sang ulama ini bersedia dan mendoakan pejabat tersebut. Dia juga menerima uang pemberian itu dengan enteng dan bahagia.
Kiai Hasyim (mungkin karena sudah merasa perlunya menegur), datang ke rumah ulama tersebut. Namun, sekaliber Kiai Hasyim yang merupakan pendiri NU dan Pesantren Tebureng, panutan masyarakat, tidak diindahkan. Mungkin karena dia tidak tahu kalau yang datang adalah KH Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim menunggu lama sampai memanggil berkali-kali, tidak juga mendaptkan respon. Sampai akhirnya istri ulama tersebut yang berada di belakang pintu, berkata bahwa suaminya tidak berkenan untuk keluar bertemu siapapun.
Mengetahui ada istri ulama itu, Kiai Hasyim berkata, “Sampaikan kepada suamimu, bahwa saudaranya, Muhammad Hasyim Asy’ari ingin bertemu. Maka keluarlah! Kalau tidak, aku yang masuk dan mengeluarkannya secara paksa. Beberapa waktu kemudian, ulama ini keluar juga dan menemui Hadratussyaikh yang sejatinya sudah menunggu lama.
Dalam pertemuan itu, Kiai Hasyim menanyakan alasan atau penyebab ulama itu marah-marah dan mengurung diri di rumahnya. Ia menjawab bahwa alasannya karena ia melihat orang-orang di sekitarnya itu tidak berlaku sebagai mana mestinya menurut pandangannya. Bahkan lebih esktrim lagi, ia menyebut masyarakat itu berperilaku seperti kera atau monyet.
Yang menarik di sini, Hadratussyaikh tidak memarahinya secara frontal, tetapi menasihatinya menggunakan bahasa ironi atau sindiran dalam bahasa Jawa disebut “ngelulu”. Kiai Hasyim berkata kepada ulama ini, ”Ya, silahkan kamu di rumah saja terus. Jangan keluar rumah, biar orang-orang semakin yakin kalau kamu adalah wali Allah, sehingga mereka punya keinginan datang mengunjungimu, meminta barakah dan dan meminta petunjukmu. Renungilah saudaraku dengan insaf!”. Menarik bukan?
Kemudian setelah memberi nasihat dan meminta ulama ini untuk merenung, Kiai Hasyim mengutipkan potongan hadis Rasulullah SAW yang saat itu disampaikan kepada sahabat Abdullah bin Amr ibn Ash ra., yang berbunyi:
و إنّ لضيفك عليك حقاّ
“Dan sesungguhnya tamumu punya hak”
Kemudian, beliau mengutip lagi potongan hadis Nabi SAW yang berbunyi:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya,”
Beberapa hari kemudian, ulama itu datang lagi kepada Hadratussyaikh dan mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Kiai Hasyim benar. Ia mengaku sudah tidak uzlah lagi, tidak mengurung diri lagi di rumahnya, dan mulai bersosialisasi dengan masyarakat. Ia melakukan itu atau berperilaku seperti itu sampai ia wafat. Indah bukan kepedulian Kiai Hasyim dalam menasihati sesorang? Kiai Hasyim menggunakan pendekatan persuasif, bukan represif, apalagi di depan umum.
Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dalam kisah Kiai Hasyim dan ulama sufi di atas. Pertama, keteladanan Kiai Hasyim dalam menasihati orang lain. Kiai Hasyim tidak memarahinya di luar ruangan atau di area publik. Beliau mengunakan pendekatan persuasif, pendekatan persaudaraan. Dalam pemilihan kalimat pun beliau menggunakan bahasa ironi, tidak frontal, sehingga tidak menyakiti hati yang dinasihati.
Kedua, akibat buruk dari sifat eksklusif dan kaku. Dalam mengingatkan umat, tidak perlu dengan marah-marah yang berlebihan, apalagi dengan tujuan agar ditakuti. Selain itu, menjadi ahli ibadah tidak berarti kita hanya berinteraksi pada Tuhan saja, tetapi juga harus bersosialisasi dengan manusia lain dan lingkungannya.
Ketiga, menjadi ahli ilmu atau tokoh agama tidak boleh pilih-pilih orang untuk dihormati. Dalam kisah di atas, si ulama tidak berlaku baik kepada masyarakat umum, tetapi bersikap santun dan baik kepada pejabat yang datang untuk meminta doa diberikan ketanangan. Apalagi faktanya, dia sendiri tidak pandai menguasai diri dari emosi dan amarah. Hal tersebut juga bisa mengurangi muru’ah (harga diri) atau martabat ulama di mata umat sehingga berpengaruh pada dakwahnya.
Keempat, merasa dirinya lebih baik dari orang lain, apalagi selain dia harus dipaksakan sesuai dengan sudut pandangnya. Orang semacam ini pasti akan kaget-kagetan ketika menemukan perbedaan di kalangan masyarakat. Akhirnya, tidak merasa paling benar, paling baik, paling dekat dengan Tuhan, dan paling layak masuk surga. Hal ini adalah sumber kekacauan. Bayangkan jika orang seperti ini ada banyak di dunia ini.
Kelima, perlunya melihat sesuatu dengan dalil dari sudut pandang lain. Hanya karena berbeda pendapat, bukan berati tidak bersaudara, tidak layak untuk diterima sebagai tamu. Lah wong sudah jelas, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa yang beriman itu yang memuliakah tamu, dan tetangga, serta berkata baik, atau kalau tidak bisa lebih baik diam. Apalagi menjadi tokoh agama yang menjadi panutan, harus dapat menjaga ucapannya.
Sungguh akhlak baik ditunjukkan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Ulama yang memposisikan diri sebagai bagian dari mata rantai masyarakat, sehingga mau bersosialisasi dan bermuamalah dengan masyarakat di lingkungannya. Berbalik dengan itu, justru sekarang ini banyak ulama-ulama yang eksklusif, meminta dihormati, bahkan manarif diri ketika ceramah. Parahnya, ada yang mengingatkan umat dengan ujaran kebencian, kata-kata kotor, kegaduhan, dan marah-marah, apalagi dengan melakukan kekerasan. Parahnya, hal itu diucapkan di ruang publik maupun di media sosial. Semoga kita dapat meneladani sikap Kiai Hasyim yang demikian.
*Disarikan oleh Muhammad Abror Rosyidin dari kitab at Tibyan fi an Nahyi an Muqatha’ati al Arham wa al Ikhwan karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.