Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (ilustrasi: tebuirengonline/lutfan)

Oleh: M. Minahul Asna*

Melihat sejarah didirikannya pesantren di wilayah Tebuireng, besar sekali pengorbanan yang diberikan oleh Kiai Hasyim untuk melaksanakan usahanya. Awalnya usaha itu ditujukan untuk mengamankan lebih dahulu desa tersebut, tidak saja dengan penerangan-penerangan, tetapi juga tidak jarang dengan kekuatan manusia, yang hampir-hampir merupakan peperangan kecil, yang setiap waktu menghendaki kesungguhan hati dan kewaspadaan.

Mengusahakan agar daerah yang penuh dengan pekerjaan mufsid itu kembali menjadi suatu desa yang aman, apalagi dalam arti kata aman buat orang luar daerah, tidak mudah, jika tidak dikerjakan dengan penuh kesungguhan hati dan kebulatan tekad.

Dalam mengusahakan keamanan itu dan mempertahankan kesejahteraan pesantrennya konon kabarnya sampai pernah Kiai Hasyim meminta bantuan kepada teman-temannya di Cirebon, kepada Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Pangurungan, Kiai Samsuri Wanantara, Kiai Abdul Jalil Buntet, dan Kiai Saleh Benda Kerep.

Lambat laun kelihatanlah fitnah, ancaman, dan lain-lain berangsur-angsur hilang laksana ditiup angin. Rumah-rumah kegembiraan, yang berisi setan-setan, satu demi satu hilang dan lenyap, atau berangsur-angsur men jauhkan diri dari Pondok Tebuireng itu. Sebaliknya, santri-santri makin hari bertambah banyak dan pada malam hari itu makin deras kedengaran bacaan-bacaan Al-Qur’an, yang dapat menakutkan iblis dan setan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pondok Tebuireng pada mulanya terdiri dan sebuah teratak yang luasnya cuma beberapa meter bujur sangkar.  Teratak ini terbagi atas dua buah petak rumah, yang sebuah untuk tempat tinggal KH. Hasyim dan sebuah lagi dipergunakan sebagai tempat sembahyang. Makin hari makin bertambah banyaklah teratak-teratak itu, yang didirikan oleh santri-santri yang belajar di situ.  Jumlah 28 santri yang setia pada hari-hari pertama, makin hari makin bertambah, disusul oleh murid-murid yang tidak hanya berasal dari Jawa Timur, tetapi dari bagian-bagian lain Pulau Jawa.

Memang pembangunan Pesantren Tebuireng ini pada hari-hari yang pertama tidak mudah, sebagaimana terjadi dengan pembangunan yang semacam ini yang terutama perlu bukanlah uang dan tenaga saja, tetapi yang terutama ialah tujuan penciptanya yang telah menjadi keyakinannya, yang kemudian dalam melaksanakannya disokong oleh kemauan hati yang kuat dan iman yang teguh.

Orang jangan menggambarkan dalam pikirannya bahwa Pesantren Tebuireng pada hari-hari pertama itu sudah seperti sekarang ini, baik tentang besar maupun tentang indah dan teraturnya gedung-gedung perguruan dan pondok penginapan murid-murid, sudah terletak di suatu tempat yang baik lain lintasnya, mempunyai masjid yang lumayan sebagai gedung pusat kuliahnya, mempunyai persediaan air dan penerangan yang cukup, terutama mempunyai murid-murid yang pakaian dan kesehatannya sudah agak ada kemajuan jika dibandingkan dengan kehidupan pondok pada umumnya, dengan santri-santrinya yang tidak paham akan faedah kebersihan dan tubuh. Tidak! Selain tempatnya tidak aman, Tebuireng itu adalah daerah yang belum memenuhi syarat-syarat kesehatan kampung, yang sangat perlu diperhatikan bagi suatu tempat pengajaran.

Kiai Hasyim tidak saja bergulat membuat Desa Tebuireng itu aman, membasmi orang-orang jahat, perampok, dan sundal-sundal yang bersarang di sekitar tempat itu, tetapi siang malam memutarkan otaknya untuk membuat desa itu menjadi suatu desa yang sehat, desa harapan, yang dilimpahi kerelaan dan maghfirah Tuhan, desa yang makmur, yang dikunjungi oleh pemuda-pemuda seluruh Indonesia, suatu Tebuireng yang tadinya tidak dikenal orang, kemudian menjadi buah bibir tiap kaum muslimin, terutama alim ulamanya.

Bukan main berat tanggung jawabnya. Kiai Hasyim dalam menghadapi pembangunan raksasa itu, tetapi ilmunya sudah cukup banyak, pengalam annya sudah cukup meluas dan pengikutnya yang jumlahnya makin hari makin bertambah banyak, dengan tidak ragu-ragu merupakan bantuan bantuan baginya dalam melaksanakan cita-citanya itu. Seluruh pikirannya dan harta bendanya dikorbankannya untuk itu, seluruh keluarganya dan handai tolannya diinsafkan dan dikerahkan untuk melanjutkan usaha Wali Songo, guna kepentingan penyiaran Islam di Tanah Airnya.

Bertahun-tahun Ia menghadapi kesukaran-kesukaran, bertahun-tahun ia berjuang menghadapi pasang surut gelombang pikiran masyarakat, tetapi sesaat pun tidak pernah patah hatinya dalam menghadapi kritik dan celaan, yang dilemparkan kiri kanan kepadanya.  Ia tidak termasuk reformis dalam arti kata radikal, memang kebijaksanaannya menghendaki yang demikian itu, sesuai dengan jiwa yang lemah lembut dan bangsa Jawa. Ia tidak ingin mencaci maki orang karena kesalahannya atau tindakannya yang bertentangan dengan agama Islam.

Ia tidak ingin membuat malu orang dalam rapat-rapat dan pertemuan, karena mereka mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Ia tidak mau membangkitkan kebencian orang, tetapi masih banyak jalan lain untuk mendekati mereka dan menunjukkan jalan yang benar kepadanya, agar orang jahil itu mengetahui, yang bebal itu mengerti akan kesalahannya.

Ia ingin sesuai dengan kehidupannya yang mistik, mendekati mereka itu dengan cinta, memberi penerangan-penerangan dengan cinta, membangkitkan cintanya, karena menurut keyakinan, cintanya itu dapat mengubah sikap dan lakunya ke arah jalan yang benar, dan menurut keyakinannya pengajaran-pengajar an yang diterima oleh umat dengan kecintaan, lebih memberi bekas da lam amal ibadahnya daripada suatu pengajaran yang disampaikan berupa kritik, cercaan, dan caci maki. Ia mempunyai keyakinan, biarlah lambat asal selamat, bukanlah gunung dikejar.

Ia berpedoman kepada kejadian kejadian di masa Nabi, yang lebih mengutamakan wa’az dan irsyad daripada senjata dan kekuatan, lebih mengutamakan dakwah yang bersifat cinta daripada revolusi yang membabi buta. Bagaimanapun nasihat yang disampaikan kepada seseorang, jika ia belum diilhamkan Tuhan menerima nasihat itu, ia tidak akan iman.  Tidak dapat kita paksakan orang yang kita cintai itu kepada kebenaran, yang kita ingini dimilikinya, tetapi Tuhan lah yang memberi hidayah dan mengajari siapa yang dikehendaki-Nya. Kewajiban kita hanya menyampaikan apa yang diperintahkan kepada Rasul, ke pada sahabat tabiin-tabiin, dan kepada alin ulama yang menjadi warisan, menjadi pengganti nabi dan rasul-rasul itu.

Pendirian KH. Hasyim inilah yang dapat menawan beribu-ribu murid dan pengikutnya di Jawa dan di luar Jawa. Tidak banyak mencela tetapi banyak membela, tidak banyak mengkritik dan mencela, tetapi mengajak mereka yang tidak tahu itu belajar dan membaca.

Orang Timur mempunyai sifat yang lemah lembut, mereka lebih suka mendengar pujian daripada cacian.  KH. Hasyim sebagai seorang ahli jiwa dan pendidik mengetahui sungguh-sungguh akan hal ini dan mempergunakannya dalam siasat menghadapi masyarakat Islam di Jawa, la mendidik anak-anaknya dan pengikutnya juga ke arah ini.

Bagi sebagian mereka yang tidak mengenal Kiai Hasyim dari dekat, acap kali membuat kesan yang keliru terhadap dirinya atau pengikut-pengi kutnya yang sepaham dengan dia, seakan-akan suatu golongan pendidik agama yang tidak paham akan kehendak masa yang modern ini.  Tetapi apakah kesan ini benar?

Yang mengetahui sungguh-sungguh akan tujuan KH. Hasyim ini hanyalah pengikut-pengikutnya yang terdekat, yang dalam pergaulannya dengan beliau, dapat memahami siasat dan caranya berpikir.  Ia bukan revolusioner yang mempergunakan kekerasan jika tidak pada tempatnya, tetapi ia seorang revolusioner yang liat dan ulet, yang mempunyai tujuan tertentu di masa depan.

Hal ini baru nyata puluhan tahun kemudian dalam Nahdlatul Ulama, gerakan umat Islam yang didirikannya dalam tahun 1926.  Dan tergambar pula dalam sejarah pembangunan Tebuireng, yang pada mulanya tidak beda dengan pondok-pondok yang lain, tetapi lama-kelamaan menuju kepada perbaikannya, ke arah penyesuaian diri kepada zaman, terdiri dari madrasah-madrasah dengan aturan pengajarannya yang jauh berbeda dengan pondok-pondok lama itu.

*Mahasantri Tebuireng.