Foto: Kopi Ireng

Oleh: KH. Salahuddin Wahid

Ketika calon presiden Joko Widodo berkunjung ke Pesantren Tebuireng pada Mei 2014 dalam kaitan kampanye, saya sampaikan bahwa masalah kita banyak, tetapi masalah utama kita ialah penegakan hukum, reformasi birokrasi, peningkatan pertumbuhan dengan pemerataan hasil pembangunan, dan penyediaan layanan pendidikan yang bermutu dan tersebar ke semua wilayah. Kalau keempat masalah itu bisa diselesaikan dalam 10 tahun, kita akan lari membalap negara lain. Dari keempat hal itu, hanya pemerataan pembangunan wilayah yang bisa dijalankan dengan cukup baik, tetapi pertumbuhannya kurang. Sebetulnya pendidikan adalah yang paling penting bagi masa bepan Indonesia, tetapi itu hanya bisa diwujudkan dengan mewujudkan terlebih dahulu yang lain.

Kita memberikan penghargaan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang telah melakukan otokritik terhadap kinerja pemerintah, dengan mengatakan bahwa mutu pendidikan Indonesia di dunia internasional termasuk yang rendah. Bahkan dilingkungan ASEAN, Indonesia berada di papan tengah, kini sudah di bawah Vietnam yang dulu berada di belakang kita. Padahal, anggaran pendidikan kita sejak 2010 sudah naik tajam dan kini sudah mencapai Rp 400 triliun. Sebenarnya kita mengalami kemajuan, tetapi negara lain, seperti Vietnam jauh lebih maju.

Masa Lalu

Dengan kondisi seperti itu, seorang jurnalis di London bernama Elizabeth Pisani membuat tulisan berjudul “Indonesia Kids Don’t Know How Stupid They Are”. Kondisi seperti itu sudah berlangsung lama sekali, sudah berganti menteri berkali-kali, tetapi tidak banyak terjadi perbaikan. Penyakitnya sudah diketahui, tetapi belum ada perbaikan memadai. Kalau dibandingkan soal ujian pada masa 40-50 tahun lalu dengan soal ujian masa lalu lebih berat. Juga kalau dibandingkan soal ujian masa kini di Indonesia dengan Singapura, Thailand, Malaysia, kita lebih mudah. Namun, kita tahu bahwa hasil ujian nasional kita untuk matematika secara nasional rata-rata tidak memuaskan, angkanya dibawah 50. Kemungkinan besar untuk mata pelajaran IPA juga seperti itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beberapa bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membuat tulisan bersama di majalah Tempo yang mengungkap, keberhasilan mereka amat dibantu oleh kehebatan SMA di mana mereka belajar. Generasi saya (20 tahun lebih tua daripada kedua menteri hebat itu) punya kesan yang sama. Artinya, guru-guru kami saat itu secara nasional rata-rata bagus.

Saya mempunyai seorang sahabat, Ir Abdul Kadir Baraja. Sempat SMP pada 1963 dia mendaftar masuk SGA karena ingin menjadi guru. Ternyata dia tidak lulus ujian masuk. Dia bisa masuk tanpa tes ke salah satu SMA terbaik di Surabaya, lalu masuk ke ITS. Setelah menjadi insinyur, dia menjadi pengusaha yang berhasil dan mendirikan sekolah yang menjadi salah satu sekolah terbaik di Surabaya. Artinya, pada saat itu untuk menjadi guru diperlukan syarat yang tidak ringan. Tidak sembarang orang boleh dan bisa menjadi guru.

Di sejumlah negara, hanya peringkat 1-10 yang bisa menjadi guru. Saya teringat sebuah tulisan Prof. Dr. Slamet Imam Santoso sekian puluh tahun lalu tentang kehebatan guru-guru beliau yang orang Belanda. Guru-guru itu mampu membangkitkan rasa ingin tahu yang kuat di dalam diri para murid sehingga mau belajar tanpa disuruh. Ini membuat siswa akan belajar seumur hidup. Guru-guru Belanda itu mampu memanamkan rasa tanggung jawab dan percaya diri di dalam diri murid, tetapi tahu batas kemampuan. Satu-satunya kekurangan Belanda ialah terlalu sedikit mencetak guru-guru yang hebat itu, hanya orang berbakat dan punya kemampuan hebat yang bisa menjadi guru.

Masa Kini

Data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada Desember 2016 mengungkap jumlah  keseluruhan guru mencapai 2.922.826 orang, terdiri dari 1,43 juta (51 persen) guru swasta. Dari guru non-PNS, 812.000 (54,5 persen) adalah guru honorer, yang sistem perekrutan dan juga pengelolaannya belum jelas. Kurun 2016-2020 diperkirakan ada 317.000 guru akan pensiun. Di samping itu, ada informasi yang menyebutkan, pada 2016 dan tahun-tahun selanjutnya akan terdapat lebih dari 250.000 sarjana pendidikan yang akan lulus. Selain 24  Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) eks IKIP serta 24 fakultas keguruan dan ilmu pendidikan yang menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), juga terdapat LPTK swasta sebanyak 410 lembaga. Terdapat 5.579 program studi pendidikan di lembaga negeri swasta dengan jumlah mahasiswa sekitar 1,18 juta dan lebih dari 100.000 lulusan pertahun.

Ketua Asosiasi Rektor LPTK Negeri Se-Indonesia, Syawal Gulton menyatakan, lulusan LPTK kurang kompetensinya untuk menjadi guru. Sejumlah besar guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG). Dengan nilai kelulusan 80, terdapat sekitar 41.000 guru yang tidak lulus terpaksa dilakukan UKG ulang dengan nilai kelulusan diturunkan menjadi 65. Guru yang lulus UKG ulang mendapatkan sertifikat profesi guru. Yang belum lulus, menjalani program belajar mandiri untuk ikut UKG ulang berikutnya. Materi UKG terkait dengan kemampuan pedagogik (kependidikan) dan profesional (keilmuan sesuai mata pelajaran yang dipegang).

Abdul Kadir Baraja yang mendapat doktor honoris causa dari Universitas Negeri Surabaya memahami betul masalah utama kita ialah kurangnya jumlah guru yang baik. Maka, dia berjuang mewujudkan niat mulia untuk menghasilkan guru yang baik. Dia mendirikan STKIP berasrama untuk mewujudkan cita-citanya itu. Dia mencari calon guru yang bisa lulus ujian masuk ke ITB, Universitas Indonesia, dan lain-lain.

Mereka tidak usah membayar biaya apa pun. Ternyata tidak mudah mencari calon seperti itu. Dari kebutuhan 50 orang, hanya diperoleh tidak sampai 30. Masalah lain yang akan timbul ialah bagaimana memberikan kesejahteraan yang memadai bagi guru-guru yang baik itu seperti negara-negara lain menghargai guru-guru mereka.

Dugaan saya, sekitar sepertiga jumlah guru memenuhi syarat, sekitar sepertiga jumlah guru tidak memenuhi syarat tetapi bisa dilakukan pembinaan untuk bisa memenuhi syarat, dan sekitar sepertiganya amat sulit untuk bisa diperbaiki. Kalau mau lebih ketat, yang amat sulit untuk diperbaiki bisa mencapai sekitar separuh.

Pertanyaannya, bagaimana cara kita membina mereka yang masih mungkin dibina. Lalu bagaimana nasib mereka yang tak memenuhi syarat dan bagaimana mencari pengganti mereka yang harus diganti dan tak bisa dibina, karena jumlahnya amat banyak.

Jadi, kita akan menghadapi masalah yang sama seperti yang dihadapi oleh sejumlah profesi. Setiap tahun, pasokan tenaga cukup banyak dan kebutuhannya juga cukup banyak. Namun, kebutuhan itu tidak terpenuhi, karena dari sekian banyak pasokan itu, hanya sedikit yang memenuhi standar internasional. Ketidakmampuan kita memenuhi kebutuhan akan guru yang baik, akan berdampak pada masa depan bangsa. Bonus demografi tidak akan banyak manfaatnya.


*Dimuat di Harian Kompas pada Jumat (16/03/2018), dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan