Sumber foto: gettyimage

Oleh: Wan Nurlaila*

Dalam dekapnya malam yang sunyi, terlihat seorang santri putri tengah duduk memegang Al Quran. Dia duduk sambil melafalkan tiap ayat yang telah dihafalnya. Namanya Royya, ia adalah santri baru yang datang dari pulau Sumatera. Berasal dari keluarga yang awam agama, ia menjadi salah satu kebanggan bagi keluarganya. Ayah dan ibunya orang tua yang tidak terlalu mengajarkan agama kepada dirinya, sehingga mereka bersyukur putrinya ditakdirkan untuk hidup menimba ilmu agama di sebuah pesantren.

Di setiap waktu, dalam setiap sujud Royya menangis, mendoakan kedua orang tuanya dan kedua adiknya. Adik yang kelak diharapkan akan mengikuti jejak baiknya. Meskipun takdir kehidupan Royya tidak seindah teman-teman seperjuangannya, ia selalu meminta dan berdoa agar kehidupan dirinya dan keluarganya lebih berkah dan bahagia.

Kini Royya menjadi seorang santri, santri yang tinggal di pondok pesantren dalam naungan dan bimbingan kiai dan bu nyainya yang menjadi saksi tangis tawa dan bahagianya. Dalam doa, Royya selalu meminta didekatkan dengan orang baik yang menjaga dan melindungi dirinya. Meski kedua orang tuanya tidak seagamis orang tua teman-temanya, ia tetap bersyukur dan tidak pernah insecure tentang hal ini.

(Kring…kring…kriiiiing…)
Royya terdiam, terdengar bunyi jam dari arah masjid pondoknya menandakan jam 12:00 malam. Akhirnya Royya bergegas kembali ke kamar dan beristirahat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Dari mana ya, baru balik.” ucap Vina melihat Royya memasuki pintu kamar.
“Iya ngaji di pendopo, kok tumben belum tidur Vin? Royya balik bertanya.
“Gak bisa tidur, aku pusing banget, mikirin ujian pendapatan, mana gak lancar semua lagi.” Curhat Vina sambil beberapa kali memperbaiki bantalnya.
“Sama Vin, aku juga bingung mau nderes apa, rasanya pengen nangis banget nggak ada yang lancar. Padahal tiap hari aku nderes loh.” Royal dan Vina akhirnya membahas soal setoran hafalan. Mereka merapatkan duduknya. Sehingga tak terasa jarum jam terus bergeser ke kanan.
“Nanti pas ujian aku mau 3M aja lah ya.” Dengan raut muka santai Vina sedikit memberi senyum.
“3M, istilah dan konsep apa itu, kok aku baru tahu?” Tanya Royya penasaran.
“Kamu itu mondok udah berapa tahun sih masak gak ngerti 3M, 3M itu maju, mesem, mundur. Jadi yaa aku maju terus kalau udah dikasih pertanyaan aku mesem aja soalnya gak ngerti, terus pasti aku disuruh mundur soalnya nggak bisa jawab.” Jawabnya cengengesan. Keduanya tertawa, dan berhenti saat mendengar seruan dari teman-teman lain yang terbangun.

***

Hari Rabu, Jam menunjukan pukul 02.30 Wib. Royya terbangun dan melihat alarm yang sudah setia menemaninya selama 5 tahun di pesantren ini. Ia bergegas melangkah ke arah kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan sholat tahajud.

Setelah selesai, Royya pun kembali ke kamar dan saat manaiki tangga untuk menuju kamarnya, langkah Royya terhenti saat melihat selembar kertas bertulis pengumuman tentang dilaksanakan ujian pendapatan.
Tanggal 20 November 2022 akan dilaksanakan ujian pendapatan hafalan yang Royya hafalkan. Royya terdiam dan berdoa semoga mendapatkan penguji yang baik. Kemudian ia pun kembali melangkah menuju kamarnya dilantai 4.

“Kok kamu udah bangun vin, bukanya tadi aku sama Salma yang bangun?” Tanya Royya saat memasuki kamar dan melihat Vina sudah duduk dengan Al Qurannya.
“Iya aku dibangunin Salma, dan ke kamar mandi sebelah.” Mereka saling mengangguk dan kembali menatap mushaf dengan penuh khusyuk. Setelah beberapa menit, mereka menuju masjid pondok untuk jamaah Subuh.


***

Pagi itu, asrama pondok masih sepi. Hanya terlihat beberapa santri yang menyapu halaman, beberapa lainnya menjemur pakaian, dan yang lain sepertinya masih di dalam kamar masing-masing. Biasa, kalau Ramadan begini santri punya waktu tidur meski sebentar, sebelum melanjutkan aktivitas ngaji Ramadan di musala yang akan berlangsung hingga menjelang Dzuhur.

“Eh, Vin kamu liat pengumuman nggak, tanggal 20 kita ujian, asli aku gak siap, mau jawab apa aku ini. Takut tahu!” Royya menyenggol lengan Vina yang sedang menjemur pakaian di samping kamar mandi asrama Khodijah.
“Halah kamu loh lancar yaa, sok-sokan bilang gak lancar. Yaah kalau pun emang gak lancar yang penting kita usaha dulu. Seoptimal dan semaksimal mungkin usahanya. Sisanya berdoa sama Allah.” Jawab Vina dan melanjutkan cuciannya yang masih tersisa separuh ember.
“Iya. Yaudah rek, jangan semakin takut. Pokoknya kita murajaah, taat aturan pondok, minta doa ke ortu dan para guru. Bismillah lancar. Udah jangan khawatir terus, nanti bisa-bisa gak bisa karena kita terlalu khawatir.” Sahut Salma dari sebelah.
“Effortku sekarang harus lebih ekstra lagi. Apalagi saat diklat beberap bulan kemarin benar-benar membuat aku kehilangan waktu murajaah. Jadi benar-benar seperti memulai dari nol.” Mereka menyelesaikan kerjaannya, dan sebentar lagi bel pondok akan berbunyi tanda pengajian Ramadan akan dimulai.

***

Pagi, 20 November 2022 akhirnya tiba. Hari ujian Quran bagi Royya dan teman-temannya. Royya, Salma dan Vina kebetulan mendapatkan penguji yang sama. Mama mereka duduk di ruang yang sama. Hanya waktunya saja harus bergantian.

Dalam ruangan itu, mereka diam. Hanya mulut yang berkomat-kamit. Dan tiba-tiba mata mereka terbelalak, saat melihat pengujinya datang, dan dia adalah ustadzah Safina Raffa El Hanum. Ustadzah yang dikenal dengan nilai sangat pelit dan lumayan membuat santri sungkan minta ampun. Mereka bertiga apalagi. Kali ini mulut mereka melongo, berhenti komat-kamit.

Nama Vina dipanggil, menjadi peserta pertama. Ujiannya lancar, semua pertanyaan mampu ia jawab dengan cukup baik. Lalu disusul nama-nama santri yang lain termasuk Salma. Semua sudah selesai. Tersisa Royya. Perempuan yang masih di pojok itu terlihat sangat khawatir pada dirinya sendiri. Sesekali ia membuka Al Qurannya.

Di saat ustadzah menyodorkan beberapa soal pada Royya, Royya hanya terdiam. Entah apakah dia benar-benar tidak bisa menjawab atau karena ketakutan dan akhirnya lupa pada apa yang sudah ia hafalkan.

“Gimana? apa yang ada dalam ingataan kamu selama ini kok semuanya gak bisa dijawab?” Ustadzah Safina mulai terlihat kecewa. Royya benar-benar tidak bisa menjawab satu soal pun. Untungnya santri yang lai  sudah di luar ruangan. Namun Salma dan Vina masih tampak mencuri pendengaran di luar pintu ruang ujian.
“Ngapunten ustadzah salah saya memang tidak nderes selama ini.” Royya menjawab dengan nada gemetar.
“Bagaimana sudah merasakan murojaah rasa ziyadah, murojaah yang harusnya mengulang hafalan malah seperti kembali menghafal seperti semula?” Ustadzah Safina tak diam hanya karena melihat tetesan air mata di pipi Royya.

Royya terdiam dan kembali menangis. Kemudian ustadzah safina pun berbicara, “buat diingat, kalau kita merawat Al Quran dengan tetap menjaganya seperti membaca ulang dan tetap nderes Al Quran akan nempel dan bersama kita, tapi kalau kita cuekin, maka Al Quran akan jauh dari kita. Sia-sia jadinya kita mondok lama tapi tidak ada hafalan sama sekali. Al Quran itu ibarat memegang belut dipegang depan belakang sama tengah goyang, kalau di pegang tengah depan belakang goyang, kalau dipegang belakang depan sama tengah goyang, jadi harus tetep dipegang depan tengah dan belakang apapun itu keadaanya.” Nasihat ustadzah Safina membuat air mata Royya semakin deras. Ia benar-benar merasa tak berhasil bertahun-tahun namun ternyata tak bisa menjawab satu soal pun dari ujian itu.

“Belajar lagi. Murajaah lagi. Jangan banyak bicara yang tidak penting. Jangan banyak guyon. Perbanyak dzikir dan murajaah terus sampai paham pada Al Quran.” Setelah itu, ustadzah Safina berpamitan. Royya mencium tangannya. Ruangan sepi, tersisa Royya, yang kemudian disusul oleh kedatangan Vina dan Salma. Mereka berpelukan.

“Saya harus lebih banyak punya waktu untuk Al Quran. Saya harus lebih serius menjaganya. Saya harus lebih mencintai Al Quran. Bukan hanya karena perbanyak hafalan, tapi memperdalam pemahaman.” Ucap Royya dalam pelukan erat sahabat-sahabatnya itu. Mereka bertiga menangis dalam pelukan yang mungkin lebih menenangkan itu.

*Santri Walisongo Cukir Jombang.