
Pagi itu, seperti biasa, Nabila bangun lebih awal dari kakeknya. Dengan hati-hati, ia menyiapkan sarapan sederhana untuk mereka berdua yaitu nasi dengan lauk ikan asin yang sudah dipersiapkan semalam. Kakek Tono yang sudah tua itu keluar dari kamarnya, diikuti langkahnya yang pelan menuju meja makan.
“Selamat pagi, Kek. Semoga hari ini cuacanya bagus,” ucap Nabila sambil menata piring.
“Pagi, Nak. Iya, semoga ladang kita bisa memberikan hasil yang baik hari ini,” jawab Pak Tono sambil duduk di kursi. Wajahnya yang keriput penuh dengan bekas perjuangan hidup, namun mata tuanya masih penuh semangat.
Setelah makan, mereka berdua berjalan ke ladang kecil yang mereka kelola. Meskipun lahan itu tak terlalu luas, Nabila dan kakek bekerja keras agar dapat menghidupi diri. Pak Tono mengajarkan Nabila cara bercocok tanam yang benar, meski kini tubuhnya sudah tak sekuat dulu. Setiap hari, mereka membersihkan tanaman dari hama dan memberi pupuk agar hasil panen mereka bisa maksimal.
Namun, hidup di desa kecil tak selalu mudah. Nabila ingin lebih dari sekadar bertani. Ia ingin melanjutkan pendidikannya ke kota agar bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan membantu kakeknya hidup lebih nyaman. Namun, masalah biaya selalu menjadi halangan. Keinginan Nabila untuk bersekolah lebih tinggi terkendala karena mereka harus mengatur setiap rupiah untuk kebutuhan sehari-hari.
Suatu malam, setelah kakek tertidur di kursinya, Nabila duduk di meja belajar kecil di sudut kamar. Ia membuka buku pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Di luar, bintang-bintang bersinar terang di langit desa. Angin malam yang sejuk membuatnya teringat akan mimpi-mimpinya. “Suatu hari, aku ingin mengubah nasib kami, Kek. Aku ingin melihat dunia lebih luas,” gumamnya dengan tekad.
Keesokan harinya, Nabila menemukan sebuah pengumuman di sekolahnya. Ternyata ada beasiswa pendidikan yang dibuka oleh sebuah yayasan di kota besar. Beasiswa itu memberikan kesempatan kepada pelajar dari desa untuk melanjutkan pendidikan hingga tingkat universitas, dengan syarat mereka memiliki nilai akademik yang baik dan tekad yang kuat.
Tanpa berpikir panjang, Nabila memutuskan untuk mendaftar. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu: biaya untuk tes dan persyaratannya. Ia tahu, untuk mengumpulkan uang tersebut, dia harus bekerja ekstra keras. Tetapi dia tidak mau menyerah. Ia bertekad untuk mewujudkan mimpinya.
Selama beberapa minggu berikutnya, Nabila dan kakeknya bekerja lebih giat. Selain bertani, Nabila juga membantu beberapa tetangga untuk menjual hasil kebun mereka ke pasar. Setiap keringat yang jatuh terasa manis, karena Nabila tahu, usaha mereka akan membuahkan hasil. Pada malam hari, Nabila tetap belajar meskipun lelah, sementara kakek selalu menyemangatinya.
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Nabila berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk biaya pendaftaran dan ujian beasiswa. Dengan rasa harap-harap cemas, ia mengikuti tes tersebut. Hari-hari berlalu, dan Nabila tak bisa tidur nyenyak memikirkan hasilnya.
Suatu pagi, surat berwarna biru tiba di rumah mereka. Nabila membuka amplop dengan gemetar. Ketika matanya melihat kata-kata yang tertera di surat itu, hatinya berdegup kencang.
“Selamat! Anda diterima untuk mendapatkan beasiswa pendidikan dari Yayasan Harapan Bangsa.”
Tangis haru mengalir di wajah Nabila. Ia berlari memeluk kakeknya, yang juga tersenyum bahagia. “Kek, aku diterima! Aku bisa melanjutkan sekolah!”
Kakek Tono, dengan air mata menggenang di matanya, memeluk cucunya erat. “Kau anak yang luar biasa, Nak. Kakek bangga padamu.”
Nabila melanjutkan pendidikan ke kota dan, meskipun jauh dari kakeknya, ia selalu kembali ke desa setiap liburan untuk membantu di ladang. Tak lama kemudian, berkat ilmu yang didapat di kota, Nabila berhasil mengembangkan usaha pertanian mereka. Ia mengenalkan teknik bercocok tanam modern dan mengelola hasil pertanian dengan lebih efisien. Desa mereka perlahan berkembang, dan kehidupan mereka pun semakin baik.
Penulis: Albii