Masalah pengganti pemimpin (khalifah) sesudah Rasul wafat merupakan fokus perselisihan di antara tiga golongan besar, yaitu golongan Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Golongan Anshar setelah Nabi Muhammad wafat tahun 632 M berusaha untuk mengangkat pemimpin dari golongan mereka, tetapi ditentang oleh kaum Muhajirin.
Namun, kaum Muhajirin memberikan pendapat yang dapat diterima pula oleh golongan Anshar, bahwa khalifah hendaklah berasal dari suku Quraisy (orang Mekkah) sebab mereka yang mula-mula menerima Islam, dekat dengan Muhammad, loyal terhadap Islam, dan dihormati oleh para sahabat nabi. Dengan pertimbangan ini, muncullah dua calon yang sesuai yaitu Abu Bakar as Siddik (mertua Muhammad), dan Ali bin Abu Thalib (sepupu sekaligus menantu Muhammad).
Abu Bakar pun terpilih menjadi khalifah yang pertama (632-634 M). Setelah dia meninggal, Ali tidak serta-merta menjadi khalifah, kerena Abu Bakar telah menunjuk Umar menjadi penggantinya. Umar bin Khattab memerintah dari tahun 634-644M. Sebelum meninggal, dia menunjuk 6 orang memilih khalifah selanjutnya. Maka, terpilihlah Usman bin Affan.
Usman bin Affan adalah seorang yang kaya, tapi terlalu memetingkan keluarganya sendiri. Hal ini menyebabkan pemerintahannya mengalami banyak masalah. Usman memberhentikan para gubernur yang diangkat oleh Khalifah Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru dari keluarganya sendiri. Pengangkatan Marwan bin Hisyam sebagai sekretaris khalifah, Mu’awiyah sebagai gubernur Syria, Abdullah bin Sa’ad bin Surrah sebagai wali di Mesir, dan Walid sebagai Gubernur Kufah oleh Usman membawa kekecewaan dan keresahan umat secara luas, karena mereka adalah penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompoknya, daripada kepentingan dan aspirasi rakyat. Kebencian yang mendalam terhadap Usman akhirnya membuat dia terbunuh.
Setelah kematian Usman bin Affan, maka Ali bin Abu Thalib menjadi calon utama untuk menduduki posisi sebagai khalifah. Pengangkatan Ali ini langsung mendapat tantangan dari dua tokoh sahabat yang berambisi menjadi khalifah, yaitu Talhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari Aisyah. Mereka melancarkan serangan militer terhadap kekhalifahan Ali, sehingga terjadi perang yang dikenal dengan perang Jamal (unta). Tahlah dan Zubair tewas dalam perang ini, sementara Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Pada dasarnya, ada tuntutan Tahlah dan Zubair serta para pendukungnya yaitu bahwa mereka hanya akan taat pada khalifah jika khalifah menghukum semua orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan Usman bin Affan. Tuntutan ini senada dengan tuntutan Mu’awiyah, yaitu agar Ali mengadili Muhammad bin Abu Bakar, anak angkatnya, yang dipandang sebagai biang keladi peristiwa terbunuhnya Usman.
Namun, tuntutan tersebut justru dipolitisasikan oleh Mu’awiyah untuk memojokkan Ali, yang dipandang sebagai saingan utamanya. Mu’awiyah menggantungkan baju Usman yang berlumuran darah serta potongan jari istrinya, yang dibawa lari dari Madinah ke Syria oleh Nu’man bin Basyar, untuk membangkitkan semangat antipati dan permusuhan terhadap khalifah Ali.
Berbagai pergolakan ini akhirnya memicu munculnya perang Siffin, yang pada akhirnya memunculkan golongan Khawarij, musuh Ali yang paling ekstrim. Ali tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid Kufah, oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam. Dari pengikut Ali kemudian lahir aliran Syi’ah dalam Islam. Namun mengenai kapan Syi’ah itu mulai muncul, terdapat banyak pandangan yang berbeda-beda.
Kalau ditinjau dari penerapan doktrin ini, kita mengetahui bahwa lahirnya Syi’ah bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai imam kaum Syi’ah, sementara aktivitas para pendukung dan pengikut setia Ali pada periode sebelumnya, hanyalah merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya benih-benih Syi’ah.
Sunni
Selama kurang lebih 2 hari, jasad Nabi Muhammad belum dikebumikan karena belum juga didapati kesepakatan mengenai siapa pengganti Nabi Muhammad dalam kekhalifahan. Setelah melalui perdebatan yang ruwet, dipilihlah Abu Bakar as-Shiddiq. Kelompok yang memilih Abu Bakar as-Shiddiq inilah yang dikenal dengan aliran/kelompok Sunni, yaitu Islam secara umum.
Adapun doktrin utama sunni adalah bahwa Al-Qur`an bukanlah makhluk dan tidak diciptakan, sehingga doktrin ini sama sekali berbeda dan menentang doktrin Mu`tazilah yang menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk yang diciptakan.
M.N. Rasyid menjelaskan bahwa sampai saat ini, sunni itu sendiri terbagi atas 4 mazhab yaitu mazhab Hanafi, mazhab Syafi’i, mazhab Maliki dan mazhab Hambali.[1] Kata mazhab itu sendiri dipahami sebagai haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi pedoman ibadah umat Islam.
Syi’ah
Syi’ah (etimologi maupun terminologi) adalah sebuah golongan dalam Islam yang secara khusus merupakan pendukung setia Ali dan meyakini ia sebagai khalifah pertama atas dasar nash dan wasiat Nabi Muhammad. Syi’ah menaati pemimpin yang diangkat dari keluarga dan keturunan Ali baik dalam kehidupan keduniaan maupun keagamaan.
Bagi Syi’ah imamah, (khalifah) adalah suatu hal yang sangat penting dan prinsipil, karena merupakan bagian dari akidah dan mempunyai posisi sentral serta perwujudan dari lutf (anugerah) terhadap makhluk-Nya sebagaimana nubuwah (kenabian). Adapun hal-hal prinsip dalam akidah Syi’ah adalah: Tauhid, nubuwah, keadilan ilahi, imamah dan hari kebangkitan.[2]
Dalam perkembangannya kemudian, Syi’ah sendiri terpecah menjadi beberapa aliran, dikarenakan perbedaan pandangan dan pendapat tiap-tiap kelompok, yaitu: Syi’ah Kaisaniyyah, Syi’ah Zaidiyyah, Syi’ah Imamiyyah, dan Syi’ah Ismailiyyah.
Kesimpulan
Sunni dan Syi’ah adalah dua aliran dalam Islam yang dikenal hingga kini. Pecahnya Islam menjadi Sunni dan Syi’ah pada awalnya berlatar belakang masalah politis, dan kemudian mengarah kepada hal-hal teologis. Sunni merupakan Islam yang dikenal pada umumnya. Tidak jarang pula terdapat percekcokan antara kaum Sunni dan Syi’ah. Didalam masing-masing paham ini, terbentuk pula golongan-golongan oleh karena perbedaan prinsip dan pendapat-pendapat dari para pemimpin/pemikir.
Baca Juga: Menelaah Aksi Syi’ah di Tengah Masyarakat
[1] M.N. Rasyid, “Syi’ah dan Sunni,” Respository UINSU.
[2] Ibid.
Ditulis oleh Fajar Gumelar