hukum-melafadzkan-niatOleh Ust. Yusuf Suharto*

Pertanyaan

“Assalamualaikum, Setahu saya niat shalat dilafalkan bersamaan dengan pengerjaannya dalam hal ini adalah takbiratul ihram, muqtarinan bifi’lihi kalau yang saya tahu dari Fathul Qarib. Lah, saya sering mendengar, bahkan saya sendiri terbiasa melafalkan niat sebelum masuk shalat, artinya sebelum takbiratul ihram. Sebenarnya apa sih hukumnya?”

Fatimah, Jombang.

Assalamu’alaikuuum Wr. Wb. Maaf mau tanya, mengapa niat shalat menggunakan ushollii bukan nawaitu seperti niat yg lainnya? Dan mengapa ketika i’tidal membaca sami’allahu liman hamidah bukan Allaaahu Akbar seperti gerakan takbir atau perpindahan gerakan rukuk sujud dan lain sebagainya? Mohon jawabannya. Terima kasih.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Shyut az-Zahra

Jawaban:

Melafalkan Bacaan Niat Sebelum Shalat

Pertama-tama terima kasih untuk Mbak Fatimah dan Mbak az-Zahra atas pertanyaannya. Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.

Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat Shalat Ashar tetapi niatnya Shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (Shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.

Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyariatkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (ragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al-Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.

Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. pada saat melaksanakan ibadah haji.

ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪ ُﻋَﻨْﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠّّﻢَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﻋُﻤْﺮَﺓً ﻭَﺣَﺠًّﺎً

Dari Anas r.a. berkata: ‘Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji” (HR. Muslim). Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat. Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolak ukur tentang diwajibkannya niat.

Menurut ulama fiqh, niat itu diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beriktikaf di masjid dengan orang yang beristirahat di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara Shalat Dzuhur dan Shalat ‘Ashar. Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:

 ﻭَﻳُﻨْﺪَﺏُ ﺍﻟﻨُّﻄْﻖُ ﺑِﺎﻟﻤَﻨْﻮِﻱْ ﻗُﺒَﻴْﻞَ ﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴْﺮِ ﻟِﻴُﺴَﺎﻋِﺪَ ﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥُ ﺍﻟﻘَﻠْﺐَ ﻭَﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺃَﺑْﻌَﺪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟوِﺳْﻮَﺍﺱِ ﻭَﻟِﻠْﺨُﺮُﻭْﺝِ ﻣِﻦْ ﺧِﻼَﻑِ ﻣَﻦْ ﺃَﻭْﺟَﺒَﻪُ

Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437). Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, makajika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.

Kenapa Usholli Bukan Nawaitu?

Kata usholli sudah bermakna “aku akan shalat” sehingga tidak perlu menggunakan kata nawaitu lagi, karena sudah mencukupi rukun niat yaitu qashad (menyengaja) melakukan sesuatu. Kedua kata tersebut sama-sama Bahasa Arab. Kalau usholli artinya “saya niat sholat”, sedang nawaitu artinya “saya niat” saja. Maka jika memakai kata nawaitu harus diikuti dengan kata lanjutannya. Misal “nawaitul wudlu’a” yang memiliki arti “saya niat wudlu”, atau “Nawaitu an ushollia”  yang artinya “saya niat shalat”, padahal kata usholli saja sudah cukup mewakili “saya niat shalat”.

Kenapa Pakai Sami’allahu liman hamidah?

Mengenai bacaan bangkit untuk i’tidal di dalam kitab al-Baijury, memiliki asbabun wurud yaitu seorang sahabat, kalau tidak salah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq terlambat datang ke masjid karena berjalan dengan pelan, menghormati orang tua yang jalannya lamban di hadapan beliau. Akhirnya Allah mengirim malaikat jibril untuk menahan rukuk Nabi agar lebih lama. Kemudian datang lah Saydina Abu Bakar pada saat Nabi Muhammad masih rukuk. Maka spontan Saydina Abu Bakar berkata, “Alhamdulillah”. Lalu Nabi mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah” yang artinya, “Allah mendengar orang yg mengucapkan hamdalah”.

Tentang penggunaan lafal sami’allahu liman hamidah, selain hadis di atas sebagai asbabul wurud, juga ada keterangan di beberapa kitab para ulama, antara lain di Hasyiah al-Bajury, juz satu, hal. 170.

وسبب ذالك أن أبا بكر تأخر يوما فجاء للصلاة فوجد النبي راكعا فقال الحمد لله فنزل جبريل وقال سمع الله لمن حمده وأمر النبى أن يجعلها عند الرفع من الركوع

Artinya: “Sebab pengucapan sami’allah itu bahwa sesungguhnya suatu hari Abu Bakar terlambat, kemudian beliau bergegas untuk shalat. Abu Bakar kemudian menemukan Nabi dalam keadaan masih rukuk. Lantas Abu Bakar mengucapkan “Alhamdulillah”. Kemudian Jibril turun dan mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah”. Dan kemudian Nabi memerintahkan agar menjadikan sami’allah sebagai bacaan ketika bangkit dari rukuk.”

Selain di kitab Hasyiah al-Bajury beberapa kitab lain juga menerangkan tentang sebab dipakainya sami’allah sebagai bacaan ketika bangkit dari rukuk, antara lain terdapat dalam kitab Hasyiah al-Bujairami, Hasyiah al-Jamal dan I’anah at-Thalibin. Dalam kedua kitab tersebut, asbabul wurud yang dituliskan sama, yaitu kisah Abu Bakar yang tertinggal shalat. Berikut Redaksinya:

 حاشية البجيرمي

والأصل في ذلك «أن أبا بكر تأخر ذات يوم عن صلاة العصر خلف النبي فهرول ودخل المسجد فوجده راكعا فقال: الحمد لله وركع خلفه فنزل جبريل وقال يا محمد: سمع الله لمن حمده اجعلوها في صلاتكم» برماوي وكان قبل ذلك يرفع بالتكبير. اهـ.

حاشية الجمل:

(قوله سمع الله لمن حمده) هذا ذكر الانتقال للاعتدال لا ذكر الاعتدال فلا يقال أنه متقدم على الاعتدال وكذا جميع التكبيرات غير التحرم للانتقال من بعض الأركان إلى بعض لا لها اهـ شيخنا وحكمة هذا «أن أبا بكر – رضي الله عنه – كان لا تفوته الصلاة مع النبي – صلى الله عليه وسلم – فتأخر يوما فجاء وأدرك النبي – صلى الله عليه وسلم – في الركوع فقال الحمد لله فنزل جبريل على النبي – صلى الله عليه وسلم – وقال: سمع الله لمن حمده اجعلوها في صلاتكم» اهـ برماوي.

وفي اعانة الطالبين:

قوله: )قائلا سمع الله لمن حمده) أي حال كونه قائلا ذلك، ويكون عند ابتداء الرفع من الركوع.
وأما عند انتصابه فيسن ربنا لك الحمد.

والسبب في سن سمع الله لمن حمده: أن الصديق رضي الله عنه ما فاتته صلاة خلف رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قط، فجاء يوما وقت صلاة العصر فظن أنه فاتته مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، فاغتم بذلك وهرول ودخل المسجد فوجده – صلى الله عليه وسلم – مكبرا في الركوع، فقال:الحمد لله .وكبر خلفه – صلى الله عليه وسلم -.فنزل جبريل والنبي – صلى الله عليه وسلم – في الركوع، فقال يا محمد، سمع الله لمن حمده. وفي رواية: اجعلوها في صلاتكم. فقال: عند الرفع من الركوع، – وكان قبل ذلك يركع بالتكبير ويرفع به – فصارت سنة من ذلك الوقت ببركة الصديق رضي الله عنه

*Ketua Aswaja NU Center Jombang dan Staf Ahli Tebuireng Online