Sumber: https://www.kabarbromoterkini.com

Oleh: Yayan Musthofa*

Dalam sebuah perjalanan jauh, seyogianya seseorang memerhatikan dua syarat fundamental. Pertama, kesehatan kendaraan. Seberapa jauh jarak tempuh kendaraan, roda, mesin, dan keamanannya. Kedua, tempat (peta) yang akan dilalui. Jalannya seberapa hancur, seberapa aman dari begal, dan keterjangkauannya oleh kendaraan yang digunakan. Dua syarat ini yang diajukan oleh Ḥujjah al-Islām al-Ghazāli untuk para sālik (musāfir ilā Allāh).

“Kendaraan” adalah fisik, jasad, atau tubuh yang kita singgahi ini. Sedangkan “tempat/jalur” adalah dunia–“kehidupan kedua” dalam istilah as-Sayyid Abdullah al-Haddad. Dan perjalanan sālik di sini hendak sowan kepada Allah Swt.

Jauh-jauh hari, Sang Gusti–yang hendak di-sowani–sudah memberikan informasi bahwa jalur atau tempat “kehidupan kedua” itu penuh dengan tipu muslihat (matā’ al-ghurūr), begal (innahu [syaithān] lakum ‘aduwwun mubīn), dan tidak kekal. Dengan harapan bahwa sang sālik harus berhati-hati dan waspada jangan sampai di tengah jalan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Menjadi lengah dan mudah dirampok oleh para begal atau tergiur halusinasinya di tempat semu tengah hutan sehingga tidak sampai pada tujuannya.

Selain itu, tindakan penting lainnya yang harus dilakukan oleh sālik adalah mengecek “kendaraan” fisik dengan baik. Menjaga dan merawat kesehatan tubuh menjadi wajib di sini. Allah tidak berharap para tamu sālik ini mengalami kecelakaan di tengah perjalanan, hanya karena ban bocor, mesin terbakar, rantai putus, dan seterusnya yang mengakibatkan kecelakaan. Oleh sebab itu, Sang Gusti memberikan wejangan-wejangan dan aturan-aturan agar tamu sālik bisa sampai pada-Nya dengan selamat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Wejangan dan aturan dalam merawat jasad itu melalui anjuran makan, minum, mengatur pola hidup, kerja, dan seterusnya. Jangan sampai hanya karena makanan, minuman, dan kebutuhan jasad lainnya, lantas tubuh ini rusak (dengan zalim). Begitu pula, jangan sampai karena makanan, lantas para sālik ini saling sikut antara tubuh sālik satu dengan tubuh sālik lainnya (saling bermusuhan). Toh, kalau kendaraan ini disalingtabrakkan, maka keduanya tidak akan sampai pada tujuan yang dimaksud.

Dari situ, meskipun secara fitrah kesadaran manusia menginsafi bahwa berantem (menindas dan saling ingin menguasai) antarsesama adalah perilaku buruk, Allah tetap menguatkan dalam buku panduan-Nya untuk para sālik. Oleh karenanya, kita menjumpai dalam ajaran agama “Islam” tentang hukum hadd, kafārah, qishāsh, jarīmah, bughat, ujrah, dan seterusnya. Itu semua untuk menjaga “kendaraan-kendaraan” sālik agar tidak rusak di tengah jalan.

Rusak memang pasti. Karena semua ciptaan Allah pasti akan hancur, hālikun illā wajhah. Tetapi rusak karena kezaliman bukanlah rusak yang diharapkan. Kalaupun memang rusak karena sunnatullah maka Allah memberikan kompensasi dan diskon. Bahwa untuk menuju Allah ketika raga sudah rusak di jalur yang tidak kekal ini (fanā’) adalah melalui keturunan yang shālih dan langgeng.

Cara ini juga sudah diinformasikan dan diberikan aturan main dalam panduan-Nya melalui bab munākahah, thalaq, dan mawārits. Tentunya hal ini tidak dipahami dengan kaku bahwa keturunan adalah anak biologis semata, atau kebutuhan fisik hanya sekedar makanan anak kecil semata. Lebih dari itu, bahwa para ulama juga mendapatkan warisan dari Kanjeng Rasul, dan yang dibutuhkan fisik manusia (sālik) juga konsumsi spiritual (SQ). Semoga perjalanan (sulūk) kita selamat dan sampai pada tujuan hakiki; dan semoga kita juga akan disambut Tuan Rumah (Sang Gusti) di persimpangan jalan “kehidupan kedua” ini, seperti halnya para kekasih Tuan Rumah. Amin.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng. Kini aktif di Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng.

Artikel disarikan dari Jawāhir Al-Quran