Teman baik yang berproses menjadi santri.

Di sebuah pondok pesantren yang terletak di lereng gunung, seorang santri muda, baru saja menginjakkan kaki di sana. Semangatnya membara, namun di balik wajah penuh harapan itu, ada beban yang sulit diungkapkan. Ayahnya, seorang petani sederhana, telah mengirimnya ke pesantren ini dengan harapan besar.

“Di sini, kamu akan menjadi orang yang lebih baik, Nak,” pesan ayah sebelum Miftah berangkat.

Namun, kenyataan yang dihadapi Miftah di pesantren ternyata jauh dari bayangannya. Hari pertama ia sudah merasa terhimpit oleh rutinitas yang tak mengenal ampun. Bangun dini hari untuk sholat tahajud, belajar menghafal Al-Qur’an, mengikuti kajian-kajian yang kadang terasa sangat panjang dan membosankan, serta tugas-tugas yang datang bertubi-tubi.

“Ini ujian untukmu, Miftah,” kata salah satu teman barunya, Hasan, yang sudah lebih lama di pondok. Hasan melihat Miftah sering termenung dan terlihat bingung, seolah tidak sanggup menanggung beratnya kehidupan pesantren.

Miftah, yang sebelumnya hidup di kampung dengan kebebasan yang relatif, kini merasa terkurung dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Ia mulai meragukan pilihannya. Setiap hari, ia merasakan beban fisik dan mental yang begitu berat. Suara langkah-langkah di jalan setapak menuju ruang makan, guratan aroma nasi dan sayur yang menguar, dan nyanyian burung pagi yang terdengar begitu jauh, semuanya semakin membuatnya merasa kesepian.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Suatu malam, setelah menghafal beberapa halaman Al-Qur’an, Miftah duduk sendiri di sudut kamar, menatap langit yang tampak gelap pekat. Di dalam dadanya, gelisah itu terus menggerogoti.

“Apakah aku benar-benar mampu menjalani ini semua? Apakah aku cukup kuat?” pikirnya.

Hari-hari berlalu, dan Miftah semakin terhimpit oleh banyaknya ujian. Ia sering merasa cemas dan lelah. Di kelas, ia sering kesulitan mengerti pelajaran, sementara teman-temannya tampak begitu mudah memahaminya. Bahkan, saat ujian tahfidz tiba, ia merasa seperti tersesat dalam aliran ayat-ayat yang terus terucap, namun tak kunjung mengena dalam ingatannya.

Ketika malam semakin larut, suara seorang guru agama, Ustadz Hadi, terdengar di ruang pengajian. “Saudaraku, cobaan datang dalam berbagai bentuk. Tetapi ingatlah, bahwa cobaan itu adalah bagian dari jalan menuju kedewasaan spiritual kita. Jangan pernah takut untuk terus berjalan, karena di ujung jalan akan ada cahaya yang menerangi.”

Kata-kata itu mengena di hati Miftah, namun hatinya masih penuh dengan keraguan. “Cahaya? Dari mana cahaya itu akan datang jika aku tidak pernah cukup kuat untuk menahan semuanya?” gumamnya pelan.

Namun, hidup di pesantren bukan hanya tentang tugas dan ujian. Di sana juga ada momen-momen kehangatan yang tak pernah diduga. Seiring waktu, Miftah mulai mengenal teman-teman yang mampu memahami perasaannya. Hasan, yang selalu mendampinginya, kerap mengajaknya berbicara tentang kehidupan di luar pesantren. Mereka berbagi cerita tentang keluarga, tentang mimpi, dan tentang bagaimana mereka berjuang untuk mengerti dan menghafal Al-Qur’an.

*****

Pada suatu pagi yang cerah, Miftah mendapati dirinya duduk bersama beberapa santri lainnya di teras pondok. Pemandangan pegunungan yang indah menyambut pagi itu, namun hatinya masih diliputi kebimbangan. Tiba-tiba, Ustadz Hadi datang menghampiri mereka, membawa senyum yang menenangkan. Ia duduk di samping Miftah.

“Miftah, apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Ustadz Hadi lembut.

Miftah terdiam sejenak. Berat baginya untuk mengungkapkan semua perasaan yang terpendam. “Saya merasa lelah, Ustadz. Terkadang saya berpikir, saya tidak akan mampu menjalani semua ini. Saya sering merasa kecil dan tidak berarti di sini,” jawabnya pelan.

Ustadz Hadi menatapnya dengan penuh perhatian. “Miftah, hidup ini memang penuh dengan ujian. Tapi ujian itu bukan untuk menyakiti kita. Justru, ujian itu untuk membentuk kita menjadi lebih baik. Ingatlah, setiap langkah kecil yang kamu ambil di sini, setiap ayat yang kamu hafal, setiap pelajaran yang kamu terima, itu semua akan menjadi cahaya di dalam hatimu.”

Miftah terdiam. Kata-kata Ustadz Hadi seperti sebuah kilatan terang di tengah kegelapan hatinya. Ia mulai menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada kesulitan, hingga lupa untuk melihat kemajuan yang telah dicapainya. Ia mulai merasakan perubahan dalam dirinya, meski sedikit demi sedikit. Setiap kali ia gagal menghafal satu ayat, ia tidak lagi merasa patah hati. Sebaliknya, ia bangkit lagi, berusaha dengan lebih keras.

Hari demi hari, Miftah mulai menemukan ketenangan dalam setiap langkahnya. Ia tidak lagi takut pada ujian, karena ia mulai memahami bahwa ujian itu adalah bagian dari prosesnya menjadi lebih kuat. Ia belajar menerima kelemahan-kelemahannya, dan lebih dari itu, ia belajar untuk bersyukur atas setiap kesempatan yang diberikan kepadanya.

Suatu hari, ketika ujian tahfidz datang lagi, Miftah sudah tidak merasa cemas seperti dulu. Ia menghafal dengan penuh keyakinan, meskipun tidak selalu mudah. Namun kali ini, ia merasakan kedamaian dalam dirinya. Di ujung ujian itu, Miftah merasakan sebuah cahaya—cahaya yang bukan berasal dari dunia luar, melainkan dari dalam hatinya. Cahaya itu adalah keyakinan bahwa ia sudah tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Dan pada malam itu, ketika Miftah duduk di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang, ia merasa satu hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahwa di balik segala ujian dan cobaan, ada sebuah perjalanan yang membawa dirinya lebih dekat kepada tujuan yang sebenarnya.

“Terima kasih, ya Allah, untuk segala ujian ini,” bisiknya dalam hati, sambil menatap langit yang tak pernah tampak begitu terang.



Penulis: Albii