
Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Adha dengan gema takbir yang menggema dari masjid-masjid, aroma daging kurban yang menggoda di dapur, dan tangan-tangan yang sibuk membungkus daging untuk dibagikan. Tapi di balik semua itu, Idul Adha lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan. Ia adalah cermin yang memantulkan kembali pertanyaan besar pada diri kita, yaitu sejauh mana kita bersedia berkorban demi sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri?
Idul Adha, yang dikenal juga sebagai Hari Raya Kurban, merujuk pada kisah Nabi Ibrahim a.s., yang mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, Ismail a.s. Kisah ini bukanlah tentang kekejaman atau kepatuhan buta, tetapi tentang keikhlasan, kepercayaan mutlak kepada Tuhan, dan kesiapan untuk melepaskan apa yang paling kita cintai demi kebaikan yang lebih tinggi. Dan dari sini, kurban bukan lagi soal kambing, sapi, atau domba. Kurban adalah simbol, dan lebih dalam lagi, ia adalah ajakan spiritual yang sangat personal.
Hari ini, kita hidup dalam zaman yang sangat konsumtif. Segala sesuatu dinilai dari seberapa banyak yang kita miliki, bukan seberapa besar yang kita relakan. Bahkan kadang ibadah pun terjebak dalam estetika pamer: daging kurban difoto, dibagikan, dihias caption penuh syukur tapi tanpa menyentuh inti dari keikhlasan itu sendiri. Idul Adha seharusnya menjadi tamparan lembut yang menyadarkan kita: apakah kita benar-benar sedang berkurban, atau sekadar menyembelih hewan?
Baca Juga: Memilih Hewan yang Baik untuk Kurban
Kurban yang sejati bukan hanya melepaskan daging untuk dibagi, tapi melepaskan ego untuk dibenahi. Kurban adalah saat kita harus bercermin, bertanya: “Apa yang bisa aku lepaskan tahun ini agar bisa lebih dekat dengan Tuhan? Dengan sesama? Dengan nuraniku sendiri?”
Barangkali kurban kita tahun ini bukan kambing, melainkan waktu. Melepaskan kesibukan untuk menemui orang tua, menyambung silaturahmi, atau mendekatkan diri pada anak-anak yang selama ini hanya kita temui di sela-sela jadwal kerja. Atau mungkin kurban kita adalah gengsi: meminta maaf pada teman lama, mengakui kesalahan, atau memberi kesempatan kedua pada seseorang yang pernah mengecewakan kita. Kurban bisa bermacam bentuknya, asalkan disertai niat untuk menjadi lebih baik.
Salah satu dimensi paling penting dari Idul Adha adalah solidaritas. Dalam Islam, daging kurban bukan untuk dinikmati sendiri. Bahkan, anjuran pembagiannya menekankan agar sebagian besar justru diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Inilah kekuatan spiritual yang menjelma menjadi gerakan sosial.
Bayangkan jika semangat Idul Adha dihidupkan lebih dari sekadar tiga hari perayaan. Jika kita bisa berbagi secara rutin, menempatkan empati di atas ego, dan mengakui bahwa hak orang miskin ada dalam harta kita barangkali kesenjangan sosial tidak akan separah sekarang.
Tapi kita juga harus jujur: ada saat ketika semangat berbagi itu berubah menjadi formalitas. Pembagian daging dilakukan asal-asalan, tanpa memperhatikan siapa yang benar-benar membutuhkan. Ada yang mengantre panjang, tapi pulang dengan tangan hampa. Ada pula yang menerima, tapi karena “kenalan” atau “sudah biasa dapat”. Maka, penting bagi kita untuk mengevaluasi: apakah kurban ini masih tentang ketulusan, atau sudah dikendalikan oleh sistem yang tumpul?
Di tengah riuhnya perayaan, sebaiknya kita menyisihkan waktu untuk duduk sejenak dan merenung. Karena sejatinya, Idul Adha juga adalah momen tafakur. Ia adalah waktu yang tepat untuk bertanya pada diri sendiri: “Apa yang telah aku korbankan selama ini? Untuk apa aku hidup? Apakah aku hidup untuk diri sendiri, atau untuk sesuatu yang lebih bermakna?”
Baca Juga: Meningkatkan Kualitas Iman dari Keikhlasan Berkurban
Kisah Ibrahim dan Ismail mengajarkan bahwa hidup tak selalu tentang memiliki, tetapi juga tentang melepaskan. Melepaskan keinginan, melepaskan ketakutan, bahkan melepaskan hal yang paling kita cintai jika itu menjadi penghalang menuju kebaikan. Ini adalah pesan yang sangat relevan, terutama di era di mana kita diajarkan untuk selalu mengejar, tetapi jarang diajarkan untuk merelakan.
Jika setiap Idul Adha hanya berakhir pada pembagian daging, maka yang berubah hanyalah isi kulkas. Tapi jika Idul Adha kita hayati sebagai revolusi jiwa, maka yang berubah adalah cara kita memandang hidup. Kita akan lebih mudah bersyukur, lebih ringan memaafkan, dan lebih berani melepaskan.
Bayangkan jika setiap orang menjalani Idul Adha dengan pemahaman seperti ini. Akan lahir manusia-manusia yang lebih peduli, masyarakat yang lebih solid, dan dunia yang lebih adil. Kurban bukan hanya mempererat hubungan kita dengan Allah, tetapi juga memperkuat simpul-simpul kemanusiaan yang hari ini mulai longgar.
Tantangan zaman ini bukan hanya soal ekonomi, politik, atau teknologi, tetapi juga tentang kehilangan makna. Kita butuh lebih dari sekadar selebrasi. Kita butuh spiritualitas yang menyentuh, menyadarkan, dan menggerakkan. Idul Adha memberi kita semua itu, jika kita mau berhenti sejenak, dan benar-benar mendengarkan pesan yang dibawa oleh kisah Ibrahim dan Ismail.
Baca Juga: Bolehkah Berkurban Tanpa Hewan?
Tahun ini, mari kita jalani Idul Adha bukan hanya dengan pisau yang tajam untuk menyembelih, tetapi juga dengan hati yang tajam untuk memahami. Karena pada akhirnya, kurban bukan tentang hewan, tapi tentang hati. Bukan tentang darah, tapi tentang cinta. Bukan tentang daging, tapi tentang kepedulian. Jika semua itu bisa kita wujudkan, maka kita bukan hanya telah merayakan Idul Adha, tapi juga telah mengalami Idul Adha dalam makna yang paling dalam.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary