Oleh: Almara Sukma Prasintia*

Mahram (Arab: محرم) adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Imam Ibnu Qudamah menyatakan, mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan.[1]

Adapun nash yang menjadi dasar bagi mahram, yaitu firman Allah SWT di dalam surat al-Nisa’ berikut ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَ خَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَ خِ وَبَنٰتُ الْاُ خْتِ وَاُ مَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْۤ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَ خَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَا عَةِ وَ اُمَّهٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَآئِكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ  ۖ فَاِ نْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ  ۖ وَحَلَآئِلُ اَبْنَآئِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَا بِكُمْ  ۙ وَاَ نْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُ خْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ  ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا  ۙ 

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”[2]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mahram terbagi menjadi dua macam yaitu: Mahram muabbad adalah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi selamanya, dan Mahram muaqqot adalah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal.

Dari surat An-Nisa di atas ada tiga kelompok mahram mu’abbad menurut fikih, yaitu karena adanya hubungan nasab/kekerabatan, adanya hubungan pernikahan dan hubungan persusuan.

Mahram karena adanya hubungan nasab/kekerabatan.

Berikut ini orang-orang yang tidak boleh dinikahi seorang laki-laki karena ada hubungan kekerabatan :

  • Ibu
  • Anak perempuan
  • Saudara perempuan
  • Saudara perempuan ibu
  • Anak perempuan dari saudara laki-laki
  • Anak perempuan dari saudara perempuan

Mahram karena hubungan pernikahan

Perempuan-perempuan yang menjadi mahram bagi laki-laki untuk selamanya sebab ada hubungan pernikahan antara lain adalah :

  • Ibu tiri, atau perempuan yang telah dinikahi oleh ayah
  • Menantu
  • Mertua
  • Anak dari istri yang telah digauli

Mahram Karena Hubungan Sepersusuan

Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu yang diminumnya akan menjadi daging dan darah dalam tubuhnya sehingga perempuan tersebut sudah seperti ibunya sendiri. Perempuan itu sendiri dapat menyusui karena kehamilan dari hubungannya dengan suaminya, maka anak yang menyusu kepadanya juga terhubung dengan suaminya layaknya seorang anak terhubung kepada ayah kandungnya. Selanjutnya keharaman-keharaman melakukan perkawinan berlaku sebagaimana hubungan nasab. Selanjutnya keharaman-keharaman melakukan perkawinan berlaku sebagaimana hubungan nasab.[3]

Mahram Ghairu Mu’abbad (mahram tidak selamanya) Beberapa sebab yang menimbulkan hubungan mahram ghairu mu’abbad antara lain adalah :

  • Larangan menikahi dua orang saudara dalam satu masa. Hadis yang menjelaskan tentang wanita yang haram dinikahi karena ada hubungan saudara, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 23 di atas.
  • Larangan poligami di luar batas. Batasan poligami ini terdapat pada al-Quran surat an- Nisa’ ayat 3.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَا نْكِحُوْا مَا طَا بَ لَـكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ  ۚ فَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا تَعْدِلُوْا فَوَا حِدَةً اَوْ مَا مَلَـكَتْ اَيْمَا نُكُمْ  ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰۤى اَلَّا تَعُوْلُوْا 

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”[4]

  • Larangan karena adanya ikatan perkawinan

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَّا لْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَآءِ اِلَّا مَا مَلَـكَتْ اَيْمَا نُكُمْ  ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ  ۚ وَاُ حِلَّ لَـكُمْ مَّا وَرَآءَ ذٰ لِكُمْ اَنْ تَبْتَـغُوْا بِاَ مْوَا لِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَا فِحِيْنَ  ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰ تُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً  ۗ وَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرٰضَيْـتُمْ بِه مِنْۢ بَعْدِ الْـفَرِيْضَةِ  ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya, bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” [5]

  • Larangan karena sedang dalam masa ‘iddah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 234,

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَا لَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَا جًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَ نْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا  ۚ فَاِ ذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْۤ اَنْفُسِهِنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ  ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

  • Larangan karena talak tiga

Hal ini berdasarkan pada al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 230. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ  ۗ فَاِ نْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَاۤ اَنْ يَّتَرَا جَعَاۤ اِنْ ظَنَّاۤ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ  ۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.”

  • Larangan karena beda agama

Semua ulama mazhab sepakat mengenai keharaman seorang perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim. Berdasarkan al-Quran surat al- Maidah ayat 5, empat mazhab Sunni sepakat bahwa perempuan ahli kitab dari golongan Nasrani dan Yahudi halal bagi laki-laki muslim.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suami istri itu ajnabiyah bukan mahram.


[1] Imam Ibnu Qudamah, al Mughniy, (Beirut: Dar al Kitab al Arabiy, Juz VII, tt). hlm.470

[2] QS. An-Nisa’ 4: Ayat 23

[3] Amir Syarifudin, Op.Cit., hlm. 115-116. Keterangan yang sama juga terdapat pada Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz IV, (Beirut- Libanon:Dar al-Kutub al-Ilmiyah), tt., hlm. 61)

[4] QS. An-Nisa ayat 3

[5]  QS. An-Nisa ayat 24