Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr.(Hc). Ir. KH. Salahuddin Wahid. (Foto: Abror Rosyidin)

Oleh: Dr (Hc). Ir. KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Setiap tahun, lebih dari 200.000 warga negara Indonesia menunaikan ibadah haji ke Mekkah, Arafah, dan Madinah. Kuota jemaah haji Indonesia sebanyak 1-10% jumlah penduduk selalu habis tak tersisa. Setiap kali dibuka pendaftaran baru, selalu langsung habis, hingga kemudian harus menunggu beberapa tahun.

Banyak jemaah yang pergi berhaji berkali-kali. Itu menunjukkan bahwa kemauan untuk beribadah di dalam diri umat Islam Indonesia amat kuat. Kesan tersebut diperkuat oleh fakta bahwa setiap tahun ribuan umat Islam pergi melakukan ibadah umroh— notabene bersifat sunnah— khususnya pada bulan Ramadan. Tidak sedikit orang yang pergi melaksanakan umroh ini berkali-kali. Nah, mereka yang berumroh — apalagi sampai berkali-kali — jelas adalah orang yang religius dan tertarik terhadap masalah spiritual.

Umat Islam yang pada saat Idul Adha berkurban kambing atau sapi jumlahnya cukup banyak, meski tidak diketahui berapa persisnya. Pada waktu shalat Jumat, semua masjid penuh-sesak —bahkan sampai meluber ke halaman mesjid atau ke jalan-jalan. Pada siang hari di bulan Ramadan, hampir semua umat Islam berpuasa. Malam harinya masjid juga selalu sarat dikunjungi umat Islam yang melakukan shalat sunnah tarawih. Tidak jarang, di luar Ramadan, kita temui umat Muslim berpuasa Senin-Kamis. Itu memperkuat lagi kesan religius bangsa kita, khususnya kaum Muslim.

Tetapi mari kita lihat kesan sebaliknya dalam kenyataan hidup masyarakat kita sehari-hari. Pertama, korupsi masih merajalela di banyak tempat di negeri kita ini. Laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai masalah korupsi ini hampir mencapai 10.000 kasus. Itu menunjukkan bahwa kejujuran adalah barang langka di dalam masyarakat kita. Padahal puasa yang kita jalani setiap tahun bertujuan, antara lain, mendidik umat Islam supaya jujur terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kedua, warga negara yang mengurus perkara dan mencari keadilan melalui lembaga penegak hukum ternyata tidak memeroleh hak mereka sesuai hukum yang berlaku. Yang menang perkara bukan pihak yang benar, melainkan mereka yang mampu membayar aparat penegak hukum. Padahal hadis Nabi Muhammad menjanjikan pahala amat besar bagi para penegak hukum yang dapat memberikan keadilan. “Berlakulah adil. Sesungguhnya keadilan mendekatkan diri kepada ketakwaan.”

Jadi, adil disejajarkan dengan takwa— derajat tertinggi di hadapan Allah SWT. Jual-beli perkara jelas menjauhkan ketakwaan dan merupakan perbuatan keji. Padahal para penegak hukum itu melaksanakan shalat, praktik ibadah yang bertujuan mencegah pelaku terlibat perbuatan keji dan munkar.

Ketiga, di banyak tempat kita melihat banyak saudara kita yang menderita kelaparan, tidak bisa membayar biaya rumah sakit, atau tidak bisa membayar biaya pendidikan. Sementara di pihak lain, banyak warga yang diberi rezeki jauh lebih banyak di atas rata-rata. Tapi di antara mereka yang diberi rezeki berlebih itu tidak peduli terhadap sesama yang tidak mampu. Kalaupun ada yang peduli dan tergerak untuk memberi bantuan— meski relatif sedikit—, mereka tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya.

Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan: nanti pada hari kiamat, Allah menyeru: “Wahai hamba-Ku, dahulu Aku lapar dan kalian tidak memberi-Ku makanan. Dahulu Aku sakit dan kalian tidak memberi-Ku obat.” Kemudian, hamba yang diseru Allah itu bertanya: “Ya Allah, bagaimana mungkin kami memberi-Mu makanan, pakaian dan obat? Bukankah Engkau Rabbul ‘Alamin?” Allah lalu berfirman: “Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, telanjang, dan sakit. Sekiranya kalian mendatangi mereka, niscaya kalian mendapati Aku di sana.”

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa kesan religius di dalam masyarakat kita, yang ditunjukkan oleh ibadah ritual, ternyata berlawanan dengan kesan yang ditunjukkan oleh perilaku di dalam kehidupan sehari-hari. Tampaknya kita tengah menghadapi fenomena: religio tanpa religiositas, spiritual tanpa spiritualitas.

Ibadah yang kita lakukan mungkin sekadar menyentuh tataran simbolik, melupakan substansinya. Lalu kita hanya berusaha memenuhi ketentuan syari’at suatu ritual, tetapi mengabaikan ruh yang terkandung di dalamnya, ibadah yang demikian niscaya tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah.

Ingatkah kita terhadap kisah seorang hamba saleh yang ibadah hajinya diterima oleh Allah SWT, padahal ia tidak jadi pergi berhaji. Ternyata ia membatalkan rencana berhaji karena menyerahkan uang biaya berhajinya kepada seorang janda miskin yang amat membutuhkan bantuan untuk bisa makan dan membiayai keluarganya.

Ternyata ibadah ritual haji yang personal— yang belum tentu diterima oleh Allah SWT— tidak menjadi batal atau hilang nilai spiritualitasnya ketika diganti dengan ibadah sosial. Bahkan dijamin bahwa ibadah itu diterima Allah. Orang yang tidak kuat puasa (melakukan ritual personal) juga bisa mengganti ibadah tersebut dengan ibadah sosial, yaitu membayar fidyah (memberi makan fakir miskin). Tetapi ibadah sosial tidak bisa diganti dengan ibadah personal. Tidak ada ketentuan bahwa zakat dapat diganti dengan shalat atau puasa.

Sungguh luar biasa jika umat Islam Indonesia yang biasa berumroh mengganti ibadah personal dengan ibadah sosial, menyerahkan biaya umroh untuk membantu warga yang kekurangan. Lebih hebat lagi jika orang yang berniat pergi berhaji untuk kedua kali atau lebih itu membatalkan niatnya untuk kemudian menyerahkan biaya hajinya kepada fakir miskin yang membutuhkan. Ibadah umroh atau ibadah haji yang dibatalkan itu niscaya diterima oleh Allah SWT, seperti kisah hamba yang saleh di atas.


*Pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 44 Mei-Juni 2016, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan