Di sebuah sekolah menengah di pinggiran kota, ada seorang anak bernama Dika. Dia pendiam, suka menggambar, dan selalu duduk di barisan belakang kelas. Meskipun dia anak yang baik, Dika sering menjadi sasaran olokan dan bully dari teman-temannya. Setiap hari, sekelompok siswa yang lebih populer, dipimpin oleh Rendy, selalu mencari-cari kesalahan Dika.
Mereka mengejek penampilannya, menyebutnya dengan julukan-julukan kejam seperti “Si Jangkung Kurus” dan “Kutubuku Gagal”. Dika, yang merasa tak berdaya, hanya bisa diam dan menunduk. Tak jarang, Rendy dan teman-temannya menyembunyikan buku atau peralatan sekolah Dika, membuatnya semakin merasa terasing.
Suatu hari, Dika sedang berjalan pulang sendirian, matanya menatap tanah. Rendy dan kelompoknya, yang baru keluar dari lapangan sepak bola, melihat Dika dan memutuskan untuk mendekatinya. “Hei, Dika! Lari deh, biar cepat kurus lagi!” Rendy tertawa keras, diikuti oleh teman-temannya.
Dika menahan napas, mempercepat langkahnya, namun tiba-tiba kakinya tersandung. Semua buku yang dia bawa jatuh berantakan ke tanah. Rendy tertawa lebih keras lagi. “Lihat tuh! Bahkan jalan aja dia nggak bisa!” teriaknya.
Dika berjongkok untuk mengambil bukunya sambil menahan air mata yang hampir tumpah. Tiba-tiba, sebuah tangan kecil terulur membantunya mengumpulkan buku-bukunya. Itu Karin, seorang anak baru di kelas yang selalu tersenyum dan baik hati.
“Kamu nggak apa-apa, Dika?” tanya Karin lembut.
Dika mengangguk pelan, terkejut sekaligus terharu karena ada seseorang yang peduli padanya. “Terima kasih,” bisiknya, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
Karin berdiri dan menatap Rendy dengan pandangan tajam. “Apa kamu nggak capek mengejek orang lain terus?” tanyanya tanpa rasa takut. Rendy tersentak, tidak menyangka seorang anak baru berani melawannya.
“Apaan sih lo? Mau jadi pahlawan?” ejek Rendy sambil memutar matanya.
“Tidak, aku cuma mau bilang kalau yang kamu lakukan itu salah. Kita semua punya kelebihan masing-masing. Nggak ada yang sempurna, Rendy. Dan, yang kamu lakukan cuma bikin Dika merasa lebih buruk. Itu bukan kekuatan, itu kelemahan,” jawab Karin tegas.
Rendy terdiam sesaat, tapi kemudian hanya menggelengkan kepala. “Yah, terserah. Kamu terlalu baik buat orang seperti dia,” katanya sambil pergi bersama teman-temannya.
Setelah mereka pergi, Karin menatap Dika dan tersenyum hangat. “Jangan pedulikan mereka. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan.”
Dika tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Karin. Tapi, mereka selalu seperti itu… setiap hari.”
Karin menepuk bahunya. “Aku tahu, Dika. Tapi ingat, setiap orang punya sinarnya sendiri. Jangan biarkan awan-awan gelap itu menutupi sinarmu. Kamu punya bakat luar biasa dalam menggambar, dan itu adalah sinar kamu. Jangan biarkan mereka memadamkannya.”
Dika merenung. Kata-kata Karin seakan memberikan kekuatan baru. Selama ini, dia membiarkan rasa takut dan ejekan orang lain meredam kemampuannya. Namun, kata-kata Karin membuatnya melihat bahwa dia bisa lebih dari sekadar “anak yang dibully”. Dia memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya.
Hari-hari berikutnya, meskipun ejekan masih datang, Dika mulai berubah. Dia lebih banyak tersenyum dan mulai memperlihatkan bakatnya dalam menggambar kepada teman-teman lain. Beberapa dari mereka mulai tertarik dan kagum dengan hasil karyanya. Lambat laun, mereka yang dulu mengejeknya mulai menyadari bahwa Dika bukan anak lemah. Dia adalah anak yang kuat dengan bakat yang luar biasa.
Rendy, yang semakin lama merasa tidak nyaman dengan perubahan ini, akhirnya mendekati Dika suatu hari di kelas seni. “Hei, Dika… gambarmu keren juga,” katanya sambil menggaruk kepala. “Maaf ya, tentang yang dulu. Aku cuma… ya, aku cuma iseng.”
Dika menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Ren. Setiap orang bisa berubah.”
Rendy mengangguk, merasa sedikit lega. Karin, yang melihat kejadian itu dari jauh, tersenyum bangga. Dia tahu bahwa dengan sedikit kebaikan dan keberanian, dia telah membantu Dika menemukan sinarnya.
Di dunia ini, setiap orang memiliki awan gelap yang menutupi cahayanya sesekali. Namun, seperti Dika, setiap orang memiliki kekuatan untuk menemukan sinar mereka sendiri dan bersinar terang, bahkan di tengah badai.
Penulis: Ayu Amalia