Oleh: Muh Sutan

Tiap individu tidak akan terlepas dari harapan dan rasa khawatir dalam hidup. Harapan itu berhubungan dengan hal-hal yang baik, seperti harapan hari ini baik-baik saja, harapan diterima kerja, harapan lulus dengan nilai memuaskan, harapan bisa bertemu pasangan hidup, dan harapan lainnya. Begitu pula rasa khawatir, cemas, gundah, gelisah, tidak tenang, dan sejenisnya, itu merujuk pada hal yang tidak diinginkan untuk terjadi.

Ketika melakukan hal positif semisal olahraga rutin, makan makanan sehat, bersedekah, menyambung silaturahmi, belajar dengan tekun, bekerja keras, maka akan timbul suatu harapan. Harapan timbal balik yang positif pula dari Allah atau makhluk. Jika melakukan hal yang berlawanan atau negatif, meskipun ketika melakukan hal negatif ia mendapat kesenangan maka berbanding lurus dengan kemunculan rasa khawatir atau takut akan dampaknya. Maka bagaimana menyikapi dua hal ini?

Disebutkan dalam kitab Hilyatu al-Awliya’ juz 3 hlm 65, bahwa dalam sebuah atsar dari tabi’in;

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ أَبِي ثَابِتَ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيْبِ قَالَ: يَمُوْتُ الْمُسْلِمُ بَيْنَ حَسَنَتَيْنِ، حَسَنَةٍ قَدْ قَضَاهَا وَحَسَنَةٍ يَنْتَظِرُهَا – يَعْنِي الصَّلَاةَ-

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Dari Habib ibn Abi Tsabit, dari Thalq ibn Habib berkata: Seorang muslim meninggal di antara dua kebaikan, kebaikan yang telah ia laksanakan dan kebaikan yang ia tunggu (akan dilaksanakan) – yaitu shalat.”

Dalam redaksi yang lain, disebutkan dalam al-Zuhdu karya Imam Ahmad, hal 148 dalam akhbar Muadz ibn Jabal rahimahullah;

قَالَ مُعَاذَ لِاِبْنِهِ: يَابُنَيَّ إِذَا صَلَّيْتَ صَلَاةً فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدَّعٍ لَاتَظُنُّ أَنَّكَ تَعُوْدُ إِلَيْهَا أَبَدًا، وَاعْلَمْ يَا بُنَيَّ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَمُوْتُ بَيْنَ حَسَنَتَيْنِ حَسَنَةٍ قَدَّمَهَا وَحَسَنَةٍ أَخَّرَهَا

“Muadz berkata kepada anaknya: Wahai anakku, ketika kamu shalat maka shalatlah ‘shalat perpisahan’ kamu tidak berprasangka akan mengulanginya selamanya. Dan ketahuilah wahai anakku, sesungguhnya seorang mukmin itu mati di antara dua kebaikan, kebaikan yang telah ia lakukan dan kebaikan yang ia akhirkan (akan dilaksanakan).”

Maka kondisi ideal psikis seorang muslim adalah mempunyai harapan untuk melakukan kebaikan yang berlanjut. Maka bekerja di pagi hari untuk menunggu shalat di waktu zuhur, dari siang menunggu waktu ashar, dari sore menunggu magrib dan isya, dan dari malam menunggu subuh. Minimal dicontohkan oleh nasehat di atas adalah shalat. Apalagi kebaikan yang lain, bisa dilakukan di sela-sela menunggu waktu shalat tersebut. Nasehat bersifat majaz, tapi sangat bermakna, bagaimanakah seharusnya sikap kita dalam keseharian dan memberi niat dalam setiap kegiatan positif kita. Estafet kebaikan harus bisa tetap kita jaga.

Seorang petani menaman benih padi, dirawat dan dibesarkan dengan harapan agar panen sukses dan jauh dari hama. Harapan pula yang menjadi salah satu faktor keberhasilan. Tapi ada hal yang harus digarisbawahi, harapan tidak muncul dalam angan saja. Kalau mau lulus ujian maka belajar, dengan harapan mendapat nilai bagus. Jadi harapan adalah imbas dari suatu pekerjaan yang kita lakukan. Dan seoarng muslim punya prioritas harapan dalam melakukan kebaikan yang terus berlanjut.

Dalam kajian tasawuf kita mengenal raja’ (harapan) dan khauf (takut) kepada Allah. Manusia berharap kepada Tuhan itu wajar. Seorang berdoa berharap akan dikabulkan. Seorang berbuat baik berharap akan mendapat efek baik pula. Harapan ini pula harus proporsional, tidak berlebihan atau sampai fatal. Maka disini ada istilah khauf.

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali dalam al-dawa’ alladzi yastajlibu hala al-khauf juz 4 hal 170 disebutkan sabda Nabi Saw;

الَعَبْدُ الْمُؤْمِنُ بَيْنَ مَخَافَتَيْنِ، بَيْنَ أَجَلٍ قَدْ مَضَى لَايَدْرِيْ مَا اللهُ صَانِعٌ فِيْهِ وَبَيْنَ أَجَلٍ قَدْ بَقِيَ لاَ يَدْرِيْ مَا اللهُ قَاضٍ فِيْهِ

“Seorang hamba mukmin berada dalam dua kekhawatiran; antara waktu yang telah lalu, yang tidak diketahui apa yang Allah jadikan di dalamnya. Dan antara waktu yang tersisa, yang tidak diketahui apa yang Allah adili di dalamnya.”

Sebagian orang arif berkata kepada yang lain, “Saya takut akan tertimpa sifat munafik”. Maka yang lain menjawab, “Jika anda sudah menjadi munafik (dari sebelumnya), maka anda tidak takut sifat munafik?” Maka, seorang yang arif itu akan senantiasa berada di antara dua perhatian; terhadap masa lalu dan masa depan yang sama-sama ia khawatirkan.

Maka bisa disimpulkan bahwa seseorang tidak akan terlepas dari harapan dan rasa khawatir. Menggunakan harapan dan khawatir secara proporsional. Tidak timpang sebelah atau berlebihan. Karena harapan itu baik, terlalu berharap juga tidak baik. Karena khawatir itu baik, tapi terlalu khawatir juga tidak baik. Maka harus seimbang dalam menyikapi suatu hal, beramal dan bekerja semaksimal mungkin dan Allah yang akan menilai.

Wallahu a’lam.