pak subandiOleh: Bambang Subandi*

Di antara tradisi pesantren yang mendukung pembentukan karakter adalah kebersamaan. Situasi kebersamaan membuang ego pribadi setiap orang yang berada di dalamnya. Latar belakang daerah, etnis, budaya, maupun bahasa nyaris terabaikan dalam lingkungan pesantren. Kebersamaan hidup di pesantren merubah kepemilikan privat menjadi kepemilikan publik. Perubahan ini sering menimbulkan kaget budaya (culture shock).

Tidak sedikit penilaian negatif diarahkan pada tradisi pesantren manakala mendapatkan pengalaman yang kurang menyenangkan saat berada di pesantren. Santri baru pun mula-mula masih sulit menerima tradisi kepemilikan publik. Ia masih menganggap, bahwa barang yang dibawa dari rumahnya adalah miliknya secara privat. Ia pun perlu membiasakan penggunaan fasilitas publik yang sebelumnya terbiasa dengan fasilitas privat.

Pembiasaan pada penggunaan fasilitas publik memberikan pelajaran tentang kemanusiaan. Manusia diukur pada penghormatan kepada sesama manusia. Ada lima pelajaran dari pembiasaan penggunaan fasilitas publik di pesantren. Pertama, penggunaan fasilitas publik mendorong para santri untuk merawat dan membersihkannya secara bersama-sama. Ini menjadi tanggung-jawab bersama yang dikoordinasi secara tertib. Tradisi kerja bakti tiap Jumat pagi (roan) merupakan implementasi perawatan tersebut. Perawatan juga mengikutkan kontrol atas kondisi barang. Kerusakan fasilitas dapat dilaporkan segera setelah diadakan pembersihan bersama-sama.

Kedua, budaya antri selalu berlaku di lingkungan pesantren. Fasilitas yang terbatas dengan pengguna yang melewati batas mendorong adanya budaya antri. Salah satu indikator peradaban manusia modern adalah budaya antri yang tertib. Banyak karakter positif yang ditumbuhkan melalui budaya antri, antara lain: kesabaran, kedisiplinan, partisipasi, kepekaan sosial, dan solidaritas.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketiga, kesederhanaan para santri dipengaruhi oleh penggunaan fasilitas publik. Dalam lingkungan pesantren, barang-barang yang berharga sulit ditemukan. Selain adanya larangan dari aturan pesantren, barang berharga mudah lenyap, karena digunakan secara bergantian. Tentu saja, kerugian akan ditanggung oleh pemiliknya yang tidak menggunakannya secara maksimal. Akhirnya, barang-barang yang dimiliki para santri hampir sama dalam jumlah maupun kualitasnya.

Keempat, solidaritas ditumbuhkan dan diperkuat melalui penggunaan fasilitas yang sama. Hal ini dapat ditunjukkan melalui penggunaan satu barang oleh banyak orang. Perasaan kotor dan jijik dengan bekas orang lain semakin terkikis. Demikian pula, semakin banyak orang yang menggunakan kepemilikan privasinya. Akhirnya, penggunaan barang yang sama dapat dinikmati secara bersama. Kelak, santri mudah menjadi pemimpin teladan, karena ia tidak segan untuk menikmati fasilitas yang sama dengan para pengikutnya.

Kelima, hidup semakin mudah bila terbiasa dalam penggunaan fasilitas publik. Kemudahan hidup ini akan mengantarkan pada kebahagiaan. Tidak ada kecemasan dalam kerusakan maupun kehilangan barang. Selain itu, seseorang yang terbiasa dengan penggunaan fasilitas publik akan mudah beradaptasi dengan lingkungan manapun. Ternyata, semakin maju suatu negara, semakin banyak fasilitas publik tersedia, sekaligus semakin sempit gerak kepemilikan privat.

Dalam sistem ekonomi, kapitalisme memperhatikan kepemilikan privat, karena ia dipercaya akan memacu etos kerja. Persaingan sempurna menjadi kunci untuk mencapai kesejahteraan sosial. Kapitalisme ini tanpa disadari telah berkembang di sekolah-sekolah non pesantren. Setiap siswa dipacu untuk belajar secara kompetitif. Ranking pun diplublikasikan secara berkala. Prestasi individu siswa juga ditampilkan untuk mempengaruhi penilaian publik. Dengan adanya persaingan ini, individualisme siswa semakin menonjol. Fasilitas publik yang disediakan sekolah pun nyaris kurang dimanfaatkan.

Kebalikan dari kapitalisme adalah sosialisme. Dalam sosialisme, kepemilikan privat dipersempit, sehingga penggunaan fasilitas publik diarahkan secara sistemik. Intervensi pemerintah menjadi kunci atas keberhasilan sistem yang diterapkan.  Di dunia pendidikan, tradisi pesantren agaknya sama dengan sistem sosialisme. Di pesantren, kepemilikan privat menjadi kepemilikan publik. Pinjam tanpa izin (ghoshob) telah membudaya di kalangan santri, terutama pada barang-barang yang mudah dipinjam. Tidak ada kompetisi di antara santri. Subjektifitas sang kyai memilih santri terbaiknya. Karena itu, penekanan pendidikan pesantren adalah kesamaan. Santri yang terlebih dahulu memahami pelajaran wajib memberikan pemahaman kepada santri yang lain. Meski demikian, tidak jarang para ustadz menggunakan fasilitas yang sama dengan para santri.

Saat ini, sistem kapitalisme dan sosialisme dicampur sesuai dengan kondisi lingkungan. Tidak ada kapitalisme murni maupun sosialisme murni. Hanya saja, tingkat dominannya yang berbeda. Di lingkungan yang dominan kapitalismenya, apa yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan. Semakin tinggi pembayarannya, semakin mewah fasilitas yang diterimanya. Hal ini tidak berlaku di pesantren yang seluruh fasilitasnya bernilai wakaf. Tidak ada perlakuan istimewa bagi santri yang memberikan pembayaran lebih tinggi. Lebih dari itu, uang saku santri yang kaya dibatasi oleh pesantren, termasuk menghalangi pemberian fasilitas tambahan secara khusus.

Kesulitan adaptasi di pesantren bagi santri baru terletak pada kurang terbiasanya pada penggunaan fasilitas publik. Semakin banyak fasilitas privat yang dimiliki saat sebelum masuk pesantren, semakin sulit melepaskannya, semakin sulit juga memanfaatkan fasilitas publik. Beberapa fasilitas privat yang harus dilepas saat berada dalam pendidikan pesantren adalah alat transportasi, alat komunikasi, media hiburan, dan aneka barang-barang pribadi lainnya. Tidak sedikit orang tua yang memaksakan putra-putrinya masuk pesantren, sementara barang-barang pribadi tidak dikurangi. Akhirnya, santri baru merasakan beban berat saat masuk pendidikan pesantren.

*Alumnus Pesantren Tebuireng (1987-1997), Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.