Oleh: Bambang Subandi*

Pernikahan adalah pilihan dan keberanian. Untuk menuju pernikahan, tidak cukup dengan pengetahuan tentang pernikahan, melainkan pula keberanian mengambil sikap. Keberanian ini tidak dimiliki oleh santri yang terbiasa dengan budaya paternalistik di pesantren. Santri demikian ini menggantungkan hidupnya melalui keputusan kiai. Pengabdian santri yang tinggi tidak memikirkan kepentingan dirinya. Dalam pemikirannya, pengabdian akan mempermudah urusan duniawinya, termasuk urusan pernikahan. Doktrin ini ditanamkan kepada santri sejak ia masuk pesantren.

Ketekunan dalam urusan ukhrawi akan menarik kemudahan pada urusan duniawi. Penguasaan dalam ilmu agama akan memudahkan penguasaan dalam ilmu non-agama. Lebih dari itu, urusan duniawi akan mengikuti agama. “man taraka ad dunya, fa ad dunya thalabathu. Wa man thalabat ad dunya, fa ad dunya tarakatathu” (barang siapa yang meninggalkan urusan duniawi, maka kenikmatan dunia yang mencarinya. Barang siapa yang menuntut kenikmatan dunia, maka kenikmatan dunia akan meninggalkannya), demikian keterangan dalam kitab ad Da’wah at Tammah karya Syaikh Abdullah bin ‘Alawi al Haddad.

Doktrin prioritas ukhrzwi atas duniawi di atas berdampak pada cita-cita yang dibangun oleh santri. Larangan besar dalam proses belajar-mengajar di pesantren adalah pertukaran ilmu dengan kenikmatan duniawi. Cita-cita santri dalam belajar harus terkait ukhrawi. Begitu pula, keikhlasan guru harus lebih besar dari motivasi apapun dalam pengajaran ilmu. Doktrin ukhrowi mempengaruhi pola pikir santri. Kesucian hati dan kebaikan amal menjadi pertimbangan dalam segala hal. Karena itu, banyak santri yang mengabaikan penampilannya. Demikian juga, finansial tidak menjadi motivasi dalam pengabdiannya.

Hadis: “inna Allah la yanzhuru ila shuwarikum wa amwalikum walakin yanzhuru ila a’malikum wa qulubikum” (sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk penampilan maupun harta kalian, tetapi Allah memandang amal dan hati kalian) selalu dijadikan hujjah atas perilaku santri. Dengan cara pandang demikian ini, citra diri santri dikesankan orang lain sebagai sosok yang kurang memikat, etos kerja rendah, dan penuh sahaja.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Citra diri santri di atas mempengaruhi persepsi dari orang lain sekaligus memperkuat persepsi dari santri sendiri. Banyak santri yang tidak merasa risau atas persepsi negatif dari orang lain. Para santri justru melihatnya sebagai keutamaan. Tentu saja, pandangan ini mendapatkan dasar dari agama yang dipahaminya. Dalam pernikahan, hal pertama yang dipandang adalah penampilan. Setelah itu, citra diri dilacak melalui pergaulan. Perbedaan cara pandang mengenai citra diri santri antara santri sendiri dan orang lain berpengaruh pada penerimaan santri dalam pernikahan. Akhirnya, tidak sedikit santri yang berstatus jomblo abadi selama ia tidak merubah citra dirinya menjadi positif di mata orang lain.

Variabel lain yang membuat jomblo bagi santri adalah persepsinya tentang wanita salihah. Ada gap yang lebar antara harapan santri dan kenyataan di realitas. Mula-mula, definisi tentang kesalehan masih belum ditemukan wujud konkretnya. Anjuran Nabi untuk memilih faktor agama masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Demikian pula, identitas qonitah dan hafizhah dalam Al Quran surat an Nisa’ ayat 35 belum juga ditemukan gambaran idealnya. Pemahaman tentang hal ini bisa diperoleh setelah adanya perkenalan dan pendalaman mengenai pribadi seseorang. Tentu saja, santri masih tabu dengan perkenalan dan pendalaman tersebut.

Di sisi lain, definisi tentang kecantikan juga merisaukan pikiran santri. Penilaian mengenai kecantikan ditentukan oleh faktor budaya. Masing-masing orang memiliki penilaian atas kecantikan maupun ketampanan. Namun, penilaian seorang santri seringkali dimentahkan kawannya, sehingga keraguan mulai muncul dalam benaknya. Dalam pesantren, uji ketahanan pemikiran telah terbiasa, namun uji ketahanan perasaan merupakan hal yang luar biasa.

Ketika santri dihadapkan pada berita negatif mengenai pergaulan di lapangan, seketika itu idealismenya beranjak ke puncak. Ia mencoba untuk membuat pilihan dengan parameter dirinya; bisa baca kitab seperti dirinya, belum pernah pacaran seperti dirinya, dan sebagainya. Akibatnya, santri sering menolak segala penawaran yang diajukan kepadanya. Penting dicatat, bahwa semakin usia bertambah, pertimbangannya juga semakin tinggi. Ia hanya diuntungkan sebagai kelompok generasi muda yang salih, sehingga permintaannya masih tinggi.

Santri jomblo akan tetap jomblo sepanjang tidak ada bantuan perhatian dari senioritas. Ia patut dikasihani. Ia melajang karena sistem pesantren yang membentuk karakteristik unik. Tidak ada yang salah dalam sistem tersebut, namun ia kurang lengkap tanpa pendampingan. Dalam hal ini, pengasuh atau santri senior memberikan pendampingan hingga santri mampu menggapai rumah tangga bahagia. Jadi, pesantren itu mendidik sekaligus mendampingi para santri.

Ada santri senior mendiskusikan alasan seorang santri juniornya untuk melajang. Setelah mengerti maksudnya, santri senior mengundang santri yuniornya untuk datang ke pesantren ayahnya. Sebenarnya, santri senior telah membuat skenario dengan meminta seorang santriwati sesuai harapan yuniornya untuk menyuguhkan minuman. Tentu saja, santri yunior memandangnya meski sekilas. Setelah santriwati masuk kembali, santri senior meyakinkan dan menjaminkan dirinya untuk menikahkan yuniornya dengan santriwati tersebut. Santri yunior pun mengikuti saran seniornya. Lalu, jomblo pun berakhir.

Ada juga seorang kiai dimintakan untuk menjodohkan santriwati dengan santriwan. Diam-diam, kiai mendiskusikan mengenai pemuda harapan santriwati. Setelah itu, kiai menghubungi para kiai yang mengetahui adanya pemuda harapan tersebut. Akhirnya, ada kiai yang menawarkan santrinya. Santriwan jomblo ini diajak kiai untuk berkunjung ke rekannya. Dalam perjalanan, kiai mengutarakan maksudnya dan meminta santriwan untuk melihat sosok dan rupa santriwati yang akan dipertemukannya. Jika santriwan cocok dengan sosok dan rupanya, maka rekannya akan mengutarakan pribadi santriwati tersebut.

Jika santriwan kurang tertarik, maka karakter pribadinya tidak perlu diutarakan. Santriwan pun tidak memiliki beban perasaan, karena santriwati yang dilihatnya juga belum diberitahukan. Ternyata, santriwan ini tertarik dengan sosok dan rupa santriwati tersebut. Akhirnya, rekan kiai memberitahukan karakter pribadi dan keluarga santriwati. Ternyata, santriwan semakin tertarik. Namun, rekan kiai perlu mendiskusikan kepada santriwati. Mula-mula, santriwati ditanya mengenai fisik santriwan yang telah mengunjunginya. Ternyata, santriwati juga tertarik. Ketika kepribadian dan keluarga santriwan dikemukakan, santriwati juga menerimanya. Setelah santriwan dan santriwati saling tertarik dan saling menerima, kedua kiai ini pun menghubungi pihak keluarga untuk segera menikahkan keduanya.

Dua contoh di atas merupakan salah satu upaya pesantren untuk memberikan perhatian dalam perjodohan para santri. Dalam konsep kehidupan, kelahiran seseorang menentukan pernikahannya. Sementara itu, pernikahan menentukan kematiannya. Pendamping hidup akan mempengaruhi iman seseorang. Lebih dari itu, pendidikan agama yang diajarkan pesantren akan ditinggalkan santrinya yang salah dalam memilih jodohnya.


*Alumnus Pesantren Tebuireng (1987-1997), Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.