pak subandiOleh: Bambang Subandi*

Kebesaran Pesantren Tebuireng tidak terlepas dari kemasyhuran pendirinya, Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Hadratusyaikh hidup di paruh abad 18 dan awal abad 19. Di masa ini, umat Islam mengalami tekanan dari penjajah Belanda akibat berbagai pemberontakan yang dilancarkan oleh kaum santri. Serangan kaum santri yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro membuat keuangan Belanda tergerus. Begitu pula, perang Padri di Minangkabau, perang Banten oleh kaum tarekat, perang Aceh, serta beberapa peperangan di daerah yang lain membuat pemerintah Hindia Belanda lebih waspada terhadap kaum santri. Pondok pesantren pun diawasi dan diarahkan pada mistisisme. Pengajian fikih ditekankan pada aspek peribadatan dengan meninggalkan aspek ekonomi, hukum, dan politik. Pengajian tafsir dan hadits dilaksanakan secara eksklusif, mengingat kandungan al-Qur’an dan Hadits Nabi lebih komprehensif (kaffah). Penulisan dan korespondensi di antara kaum santri banyak menggunakan Bahasa Arab, setidaknya Arab Pego, agar tidak terbaca oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pesantren Tebuireng didirikan di tengah situasi represif Belanda terhadap kaum santri. Sebaliknya, Belanda memberikan dukungan penuh kepada kaum abangan, meminjam polarisasi Clifford Gertz. Dalam hal ini, teori receptie yang mengunggulkan hukum adat atas hukum Islam menjadi kebijakan Belanda. Kemaksiatan yang mewarnai tradisi pun telah merata. Pertunjukan wayang sebagai media kearifan berubah menjadi sarana kemaksiatan. Tidak jarang pula, tradisi keagamaan disusupi oleh aneka kemunkaran. Atas fenomena ini, pemikiran strategis para ulama terbagi dalam dua arus besar, yaitu pemberantasan dan perbaikan. Ulama modernis memilih pendekatan pemberantasan tradisi yang tidak sesuai dengan Syariah Islam (purifikasi). Sedangkan ulama tradisionalis melakukan pendekatan perbaikan dengan mempertahankan tradisi yang masih baik serta mengambil kreasi yang lebih baik (al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah). Hadratusyaikh termasuk kelompok ulama tradisionalis, bahkan sebagai figur sentralnya.

Hadratusyaikh memilih pengajian Hadits di Pesantren Tebuireng. Pengajian ini dinilai langka, karena amat jarang pesantren yang berani memberikan pengajian hadits. Karena itu, tidak sedikit para kyai yang mengikuti pengajian Hadratusyaikh yang memiliki sanad hadits hingga penulis kitabnya (al-mukharrij). Pada umumnya, para kyai menjadikan Pesantren Tebuireng tempat menimba ilmu yang terakhir. Dalam khazanah keilmuan Islam, ulama Hadits memiliki kewibawaan tertinggi dibanding ulama yang lain, karena ia terikat oleh persyaratan perawi hadits shahih. Dengan variabel ini, Hadratusyaikh menjadi sosok yang terpandang dan Pesantren Tebuireng pun menjadi kiblat banyak pesantren di wilayah Jawa dan Madura. Ketokohan Hadratusyaikh ini memberikan pengaruh yang signifikan dalam perintisan dan pertahanan kemerdekaan Republik Indonesia.

 Deskripsi singkat tentang Hadratusyaikh di atas bisa dijadikan rujukan dalam menentukan identitas Pesantren Tebuireng. Pertama, perjuangan senantiasa ditanamkan oleh pendiri dan para pengasuh Pesantren Tebuireng. Mula-mula, santri didaulat sebagai calon pemimpin bagi masyarakatnya. Seluruh kegiatan di lingkungan Pesantren Tebuireng merupakan bentuk kaderisasi kepemimpinan. Kedua, strategi perjuangan berpola evolusi-kultural. Inklusivitas Pesantren Tebuireng memberikan pesan, bahwa kaum santri tidak boleh jauh dari masyarakatnya. Santri harus memahami masyarakatnya sebelum melakukan perubahan sosial. Ketiga, pemikiran Hadratusyaikh menjadi materi perjuangan. Sketsa pemikiran Hadratusyaikh yang telah dihimpun oleh KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq menjadi identitas keilmuan Pesantren Tebuireng. Beberapa karya tulis Hadratusyaikh harus menjadi mata pelajaran wajib bagi seluruh santri Pesantren Tebuireng.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saat ini, Pesantren Tebuireng mengalami perubahan yang pesat sesuai dengan tuntutan zaman. Kepemimpinan KH. Salahuddin Wahid mewarnai perubahan Pesantren Tebuireng dari sisi infrastruktur, manajerial, hingga pola budaya. Pesantren Tebuireng juga menawarkan aneka menu lembaga pendidikan yang lengkap. Pesantren Tebuireng menghidupkan kajian salafiyah di Madrasah Muallimin dan Ma’had ‘Ali; mengikuti kurikulum nasional madrasah tingkat MTs dan MA; mengikuti kurikulum sekolah nasional tingkat SMP dan SMA; mengikuti perkembangan Sains Islam dengan SMA Trensains; bahkan Universitas Hasyim Asy’ari tidak memadukan jurusan agama dalam satu fakultas sebagaimana perguruan tinggi lainnya. Apapun bentuk perubahan Pesantren Tebuireng dan aneka menu pendidikan yang ditawarkannya, ketiga identitas di atas tidak boleh lenyap dalam benak para santri Pesantren Tebuireng.

Pembukaan cabang tidak terelakkan dalam pengembangan Pesantren Tebuireng. Perubahan Pesantren Tebuireng yang amat drastis menarik minat masyarakat untuk mewakafkan tanah ke Pesantren Tebuireng. Tentu saja, pengembangan cabang tidak boleh berbeda dengan pengembangan induknya. Untuk itu, identitas Pesantren Tebuireng menjadi keniscayaan. Sebagai perbandingan, Pondok Modern Gontor telah mengembangkan pesantren cabang dengan identitas yang telah mapan, antara lain: percakapan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, kedisiplinan, dan kemandirian. Kurikulum pun disusun sama sebagaimana induknya, yakni pendidikan Muallimin 6 tahun.

Pesantren Tebuireng memiliki keuntungan dengan dokumentasi karya tulis pendirinya, Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beberapa karya tulis ini terbagi dalam beberapa disiplin ilmu, sehingga memudahkannya sebagai kitab utama suatu pelajaran. Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menjadi kitab utama pelajaran Akhlak; kitab al-Nur al-Mubin untuk pelajaran Sejarah Islam; kitab Risalah Ahl al-Sunnah untuk pelajaran Tauhid; Hadits Arba’in himpunan Hadratusyaikh untuk pelajaran Hadits; serta kitab-kitab lainnya untuk pelajaran di tingkat lanjut, seperti Ziyadah al-Ta’liqat, al-Tanbihat, dan Dlou’ al-Mishbah. Dalam pengajarannya, para guru bisa membandingkannya dengan kitab lain, seperti kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim yang dibandingkan dengan kitab Ta’lim al-Muta’allim.

Pesantren Tebuireng juga memiliki beberapa karya tulis para kyai yang mengajar di Pesantren Tebuireng, antara lain: al-Amtsilah al-Tashrifiyyah dan al-Dursul Falakiyyah karya KH Ma’shum Ali, Kitab Ushul Fikih karya KH. Syansuri Badawi, Syarah Alfiyah Ibnu Malik dan Ilmu Faroidl karya KH Syaerozi. Konon, beberapa kyai juga memiliki karya tulis yang belum terlacak, seperti KH. M. Shobari yang menulis Ilmu Hadits. Selain karya tulis kitab, pemikiran para kyai Pesantren Tebuireng di bidang sosial, ekonomi, politik, hukum, HAM, serta masalah kemasyarakatan lainnya perlu didokumentasi dan dipublikasikan. Setelah itu, pemikiran ini harus menjadi tema diskusi para santri, sehingga identitas pemikiran Pesantren Tebuireng tertanam di benak para santri. Pemikiran ini juga dikembangkan melalui perjuangan para santri di masyarakatnya.

*Alumnus Pesantren Tebuireng (1987-1997), Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.