Sebelum kita memilih berguyon, sebaiknya pahami terlebih dahulu makna guyon itu. Apasih guyon itu? Apakah guyon itu juga ada caranya? Ada batasannya? jika guyon itu suatu seni untuk menghibur, sudah bisa dipastikan tidak ada orang yang merasakan sakit di dalamnya (ketika guyon bareng). Beberapa hari lalu tengah viral tanggapan orang-orang mengenai guyonan dari seorang guru, eits guru disini bisa bermakna ustadz, yai, pengajar, gus, dan lain sebagainya.
Ada yang memberikan tanggapan positif dan ada yang negatif, meski banyak yang akhirnya mengkritik, tapi tidak sedikit pula yang menormalisasikan guyonan tersebut. Kembali kepokok masalah, apakah sebenarnya guyonan itu bisa menyakiti hati orang? Jawabannya “iya”, terlebih lagi guyonan orang kaya yang bisa dengan mudah mengolok-olok orang miskin dengan dalih “itu cuman guyon, jangan diambil hati”.
Sering bukan hal tersebut terjadi, sebenarnya guyon itu bukan dengan menertawakan kekurangan orang lain lantas itu bisa dikatakan guyon, sekarang orang-orang sudah salah kaprah sekali mengartikan guyonan. Padahal di internet sudah banyak sekali makna yang bisa dipelajari mengenai guyon itu sendiri, banyak contoh guyon yang tidak menyakiti hati itu seperti apa. Tapi apa, tetap saja banyak orang yang buta akan pelajaran tersebut tidak terkecuali seorang ahli agama.
Baca Juga: Label Goblok dan Kecerdasan Beragama
Melihat kasus yang sekarang sedang trending di mana-mana, kita sebagai masyarakat awam harusnya bisa pintar melihat makna sebenarnya, mungkin benar dengan kejadian itu korban jadi banyak yang simpati dan membantu, tapi juga tidak bisa membenarkan perkataan yang dilontarkan kepada korban, jangan karna pelaku itu tokoh agama lantas banyak yang membela, malah karna beliau tokoh agama harusnya menjadi contoh yang baik untuk para jama’ahnya.
Tapi sayang, masyarakat Indonesia masih buta akan hal itu, mereka masih beranggapan bahwa ucapan dari tokoh agama itu pembawa berkah, “Jika kemarin tidak dikatai begitu pasti nggk bisa dapet rejeki kayak sekarang, jadi berterimakasih lah pada beliau”. Kalian nyadar nggk sih, kenapa jika masyarakat kelas bawah dibully/dicaci dianggap sebagai guyonan, sedangkan jika itu terjadi pada kaum menengah ke atas dianggap sebagai pelecehan, bahkan bisa dengan mudah melaporkan dan menjebloskan ke penjara.
Sebenarnya boleh tidak tokoh agama berkata sedemikian rupa? Bukanya Rasulullah selalu mencontohkan dakwah yang halus, dengan perkataan yang lembut? Bukankah jika sudah menjadi tokoh agama mereka terlebih dahulu belajar? Salah satu dzurriyah dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Gus Variz Muhammad Mirza, turut beragumen mengenai kejadian yang sedang trending, dalam story WAnya yang kemudian ditulis ulang di Majalah Tebuireng, mengatakan, “Teringat dawuhnya guru saya: Punya cita-cita itu mbok ya jadi orang alim. Jangan bercita-cita jadi ‘muballigh’ saja. Memang apa bedanya? Jika hanya berhenti di muballigh, terkadang belajarnya hanya untuk kepentingan ceramah.”
Dari tulisannya, asumsi saya sebagai penulis artikel sederhana ini mengatakan bahwa sudah jelas antara muballigh dan orang alim, banyak bukan sekarang yang mengaku seorang muballigh namun tidak bisa dijamin kealimannya, maka teman-teman juga harus selektif dalam memilih guru, jangan sampai memilih guru hanya karna sedang viral, ganteng, atau cantik.
Memilih seorang guru juga harus tahu sanad keilmuannya, tidak karna guru itu pandai menjawab sebuah pertanyaan lantas teman-teman langsung bisa percaya, zaman sekarang banyak muballigh berkedok konten islami sudah bisa meraup jama’ah dengan gampang, tanpa bisa mempertanggungjawabkan ilmunya.
Untuk menghindari kejadian yang tengah ramai di media sosial terjadi lagi, perlulah kita mawas diri untuk memilih guru yang terbaik, yang tidak gampang melontarkan kata-kata kasar bahkan menyakiti hati orang lain. Seperti dawuh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim wal Muta allim, “hendaknya berbaik hati kepada orang asing yang hadir pada acara tersebut, menyenangkan hati mereka agar hatinya lega, karena pendatang baru masih gelisah.”
Penulis: Munawara