Itu cuma warung makan di depan masjid. Warung makan kecil yang tak berpintu. Hanya bermodal meja dan kursi panjang. Lebih mirip dengan kios di pasar. Tapi kau tahu, jika penjualnya bicara, semua pembelinya akan terdiam menghayati kata-kata yang mengalir dari mulutnya.
Bisa dibilang itu adalah warung favorit para santri Pondok Jagalan. Penjualnya adalah wanita yang umurnya melebihi lima puluh, namun tubuhnya sangat energik. Santri-santri menyebutnya Mak Tami. Warung ini juga dekat dengan Kali Gelis yang membelah antara Jombang Barat dan Jombang Timur.
Menu-menu yang disajikan beragam, dan keseluruhannya tradisional. Nasi pecel, nasi lodeh, nasi campur, mendoan, rujak, pisang goreng, dan sejenisnya. Kenapa bisa menjadi langganan para santri?
“Kenyang dan murah,” kata Kang Arip yang telah mondok lima tahun.
Memang mendoan di manapun berada berharga lima ratus perak. Tetapi, mendoan Mak Tami adalah mendoan jumbo yang lebih besar dari umumnya.
Aku juga sering ke warung itu, bersama dengan teman-teman santri akrab berjalan sekitar tiga ratus meter dari Pondok Jagalan. Tak ada yang istimewa selain porsi yang melebihi warung lain. Harganya pun sama.
Hanya saja, dalam menyajikan minuman, Mak Tami tidak terlalu ahli. Setiap kali ia menuangkan teh panas ke dalam gelas, selalu saja ada yang jatuh ke meja, membuat meja tampak becek. Gula-gula yang beralih dari toplesnya pun banyak tercecer seolah ia bukan penyaji minuman yang ahli.
Mak Tami hanya menyerahkan senyumnya pada anak kecil, bisa dibilang cuek, dan mudah marah. Orangnya pendek, lumayan kurus, dan rambutnya yang perlahan memutih terikat dengan gelang karet yang biasanya digunakan sebagai pengikat bungkus nasi.
Lebih tepatnya warung ini berada di depan masjid Kaujon, setelah menyeberang jalan kecil, jalan desa. Mak Tami berjualan hanya pada siang hari. Ia menata dagangannya sekitar jam satu usai dhuhur dan mungkin akan habis sebelum matahari tertelan ufuk barat. Tidak ada warung lain di dekat warung Mak Tami. Kalaupun ada, itu sudah berjarak lebih dari lima puluh meter. Yang ada cuma jasa pemarutan kelapa yang kadang buka, kadang tutup. Dan di sampingnya lagi sebuah bengkel yang terlalu sering sepi karena letaknya yang tidak strategis. Di samping masjid, berjajar pula kios-kios penjual barang mentah, minyak tanah, beras, dan juga bahan-bahan konveksi.
Karena terletak di pinggiran kota, pepohonan tumbuh sangat jarang. Hanya tanaman-tanaman dan bunga-bunga dalam pot. Selebihnya rumput yang tumbuh secara liar dan ganas. Di belakang masjid, tumbuh pohon matoa yang lumayan banyak. Namun aku hanya bisa memandangnya ketika pohon itu berbuah dan buahnya masak.
Jika ditanya pondok mana yang paling dekat dengan masjid Kaujon, jawabannya adalah Pondok Jagalan. Pondok di mana aku berada, mengisi waktu dan hari dengan mengaji dan menuntut ilmu agama. Pondok ini ramai. Walaupun jumlah santrinya hanya berkisar 300-an, tetapi tidak sebanding dengan luas pondok yang ada.
Suatu hari, sekolahku mengadakan seminar motivasi dengan menghadirkan motivator nasional dari Jakarta. Seminar itu dihadiri oleh ribuan peserta dari Jombang maupun luar Jombang. Aku sangat tercengang sekali. Seumur hidup aku di pondok hanya berkelut dengan selimut kotor, kitab-kitab kuno, dan wajah kusam sahabat karibku. Tak pernah aku merasakan duduk di kursi seminar yang dibelongsong dengan kain mewah. Saat hendak duduk, aku harus berhati-hati jangan sampai kain itu kusut dan terlipat.
Acara ini digelar atas kerja sama antara sekolahku sebagai panitia penyelenggara dan sebuah lembaga di Jakarta sebagai penyokong dana. “Menurut Winston Chuchill, keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat,” tutur Sang Motivator.
Aku manggut-manggut. Aku pikir semua temanku yang datang juga terkejut. “Oh, ternyata selama ini kita tak tahu apa-apa. Kita hidup di pondok pesantren dan tidak melihat kenyataan hidup yang terang benderang seperti ini.”
Sang Motivator itu pun melanjutkan dengan kutipan orang lain, “Seorang yang sukses adalah dia yang bisa meletakkan pondasi kokoh dengan menggunakan batu bata yang dilemparkan orang lain kepadanya, kata David Brinkley.”
Dalam sesi tanya-jawab, seseorang mengacungkan tangan dan menerima microphone, lalu bertanya dengan penuh semangat, “Bapak, mengapa Bapak sangat mendorong orang-orang untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan, padahal Albert Einstein pernah bilang, ‘Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value.’ Cobalah untuk tidak menjadi orang yang sukses, melainkan orang yang bernilai. Dan kata-kata ini juga senada dengan perkataan Ranchodas SC dalam film 3 Idiots. ‘Jangan bermimpi menjadi orang sukses. Bermimpilah menjadi orang besar, maka sukses akan mengikutimu.’ Bagaimana Bapak menanggapi ini? Terima kasih,” pungkas si penanya.
Sebelum pertanyaan itu terjawab, ada sesuatu yang mengganjal dalam isi kepalaku. Aku segera bangkit dari kursi dan tak mempedulikan lipatan-lipatan yang ada di belongsongnya. Aku keluar tanpa tanda tanya dari Kang Arip yang tadi di sebelahku. Setelah melewati ribuan kursi, akhirnya aku sampai di pintu keluar. Aku tak merasakan udara buatan AC lagi.
Beberapa resepsionis memandangiku dengan tatapan aneh. Mereka mengira aku mencari toilet, atau minta tambahan snack. Tapi aku lebih memilih beranjak ke bawah pohon yang tumbuh melengkung di depan gedung penyelenggaraan itu. Aku pun tak mengenali pohon apa itu. Setelah pantatku menyentuh rerumputan, aku menemukan apa yang sedari tadi mengganjal di dalam isi kepalaku. Oh, itu sebuah pertanyaan.
“Kenapa setiap orang yang ada di gedung itu mengutip kata-kata orang lain?”
***
“Kau tahu Winston Chuchill?” tanya Kang Arip pada Mahmudi yang sedang khusyuk menelaah kitab Safinatun Naja.
Mahmudi menaikkan kedua alisnya, pertanda ia tak tahu apa yang Kang Arip katakan. Menyebut nama itu pun susahnya bukan main, lebih susah daripada mengucapkan makharijul huruf. Mahmudi menggeleng kepala. “Siapa?”
“Winston Chuchill, tokoh terkenal internasional…” Kang Arip mengadahkan dagunya. “Tidak tahu kan? Kalo Albert Einstein? Pasti tidak tahu! Apalagi David Brinkley.”
Mahmudi mengalihkan pandangannya dari kitab yang sedang ia baca. “Kalau Imam Bukhori saya tahu, Kang. Namanya Muhammad bin Ismail, lahir di Bukhara tahun 810 Masehi. Tapi kalau nama yang Anda sebutkan tadi saya gak kenal sama sekali.”
“Winston Chucill, Albert Einstein, David Brinkley,” Kang Arip mengulangi lagi. “Coba sebutkan!”
“Gak bisa, ah!”
Kang Arip berseloroh. “Hahaha… makanya ikut seminar kemarin, jangan ngaji kitab gituan terus. Kapan kita bisa maju? Buktinya, kamu ndeso, kan?”
Mahmudi kehabisan kalimat. Kami masih melingkar berempat.
“Kang Arip, ikut aku yuk,” ajak Kang Qorib, teman sekamarku selain Mahmudi dan Kang Arip.
“Kemana?”
“Ke tempat di mana kita akan memborong banyak kutipan.”
“Di mana itu?”
“Warnet.”
“Warnet? Haram. Itu pelanggaran,” tolak Kang Arip.
“Tidak masalah, cuma sekali-kali, yang penting kita bisa mendapatkan kata-kata dari orang terkenal yang tingkatnya sudah internasional.”
Setelah dibujuk berapa lama, akhirnya Kang Arip mengikuti ajakan Kang Qorib. Mereka berdua berangkat dengan pakaian ala santri, mengendap-endap seperti tahanan lapas yang mau melarikan diri.
Sedangkan aku dan Mahmudi pergi ke warung Mak Tami dua jam setelah matahari tergelincir. Di warung itu, aku memesan nasi pecel, sedangkan Mahmudi memesan menu yang sama. Kebiasaan kami minum air putih dari teko yang telah disediakan.
Di tengah suap nasi pecel, datang seorang ibu membawa anaknya yang baru pulang dari sekolah. Ibu itu berniat membeli lauk yang akan dimakan di rumah. Sehabis ibu itu memesan dan membayar, Mak Tami memasukkan dua mendoan ke dalam plastik bersama dengan pesanan ibu itu secara gratis. “Ini buat adek,” kata Mak Tami dengan senyumnya. “Sekolah yang rajin, ya.”
Mak Tami memang terkadang begitu, memberikan gratisan kepada pelanggan. Apalagi kalau azan maghrib sudah terdengar, semua dagangannya akan digratiskan kepada santri yang datang.
“Sekarang kecipir susah nyarinya di pasar,” kata Mak Tami tiba-tiba. “Jadi pecelnya ya tidak ada kecipirnya.”
Aku baru menyadari kalau nasi pecel yang aku makan memang tidak ada sayuran merambat itu. Tapi aku rasa, kenikmatannya sama saja. Karena inti dari sebuah hidangan nasi pecel adalah sayur-sayuran dan bumbu kacang. Biasanya kangkung, bayam, kacang panjang, tauge, dan kol. Tapi setiap kabupaten memiliki pecelnya sendiri-sendiri.
“Tidak apa-apa, Mak,” balasku. “Rasanya sama saja.” Kini yang sedang duduk di warung ini hanya aku, Mahmudi, dan Mak Tami saja. Karena jam ramai telah berlalu tadi.
“Kecipir itu aslinya enak, mirip dengan bengkuang. Warnanya hijau, bentuknya panjang, rela dipotong-potong demi untuk dibuat nasi pecel. Bila belimbing memiliki lima sudut, kecipir memiliki empat sudut. Lima atau empat sama saja bagusnya.”
“Kalau yang lain, Mak? Apa masih gampang nyarinya?”
“Kalau gampang sih gampang! Harganya itu lho, kian hari kian melonjak, walaupun dua ratus rupiah. Jadi nasi pecel itu ibarat seorang anak yang diperjuangkan oleh orang banyak, seperti kalian. Nasi pecel itu tidak cuma dibuat dari satu bahan saja, tapi racikan dari beberapa sayuran dan bumbu. Kalian juga seperti itu, diperjuangkan oleh orangtua kalian, oleh saudara kalian, teman kalian sekamar, dan oleh Mbah Yai.”
Aku mengangguk mendengar kata-kata Mak Tami, sekaligus tertegun sadar bahwa diriku kini diperjuangkan. “Kalau nasi campur, Mak?”
“Nasi campur juga kumpulan dari beberapa bahan, mie, kering, tahu. Tapi bahan-bahannya tidak alami. Sedangkan nasi pecel alami, tanpa adanya proses sebelumnya selain cuma digodok dan diulek.”
“Hubungannya sama kita apa Mak? Ada gak?”
“Oh, ada. Itu menjadi sebuah pesan. Kalian harus menjadi alami, jangan sampai kalian dipengaruhi oleh hal-hal asing. Pemikiran kalian harus tetap berpijak pada kitab-kitab para ulama, kitabnya anak pondok. Jangan kagum dengan pemikiran-pemikiran orang Barat yang sesat. Apalagi perilaku mereka yang serba maksiat. Berpakaian saja tidak benar. Hi… aku malah risih.”
“O, begitu ya, Mak. Kalau mengikuti seminar boleh apa tidak?”
“Seminar? Ya boleh-boleh saja. Itu malah perlu. Tapi ingat, kita harus punya misi. Jangan sampai kita terbawa arus, kitalah yang harus membuat arus.”
Tak terasa nasi di piringku sudah habis. Setelah aku meneguk segelas air putih, aku dan Mahmudi langsung membayar. Kami berjalan melewati Masjid Kaujon yang telah menabuh bedug ashar.
Aku berkata pada Mahmudi bahwa kebanyakan mengutip kata-kata orang terkenal tidaklah baik. Percapakan dengan Mak Tami tadi hanyalah percakapan singkat. Dan aku yakin, Mak Tami yang kerjanya jualan nasi pecel itu lebih kolot dari kami semua. Tapi dia tetap mempertahankan kekolotan itu, karena kemodernan tidak bisa membuat ia menjadi lebih baik.
“Itu tadi cuma percakapan singkat. Sejak perkataannya kepada anak SD tadi ‘sekolah yang rajin ya’ sudah membuat hatiku berubah. Itu adalah sebuah kutipan. Kutipan yang biasa dipakai banyak orangtua, walaupun tidak keluar dari mulut internasional. Kalimat itu sudah menjadi penyemangat disertai dua buah mendoan.”
“Kalau begitu, kini saatnya kata-kata kita dikutip,” kata Mahmudi.

*) Penulis adalah Hilmi Abdillah, aktif di Sanggar Kepoedang (Komunitas Penulis Muda Tebuireng) Pesantren Tebuireng Jombang.Cerpen ini pernah dimuat di Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) pada minggu (14/05/15)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online