Stand buku yang sepi dari pengunjung. Buku menjadi usaha "neraka" di Unhasy
Stand buku yang sepi dari pengunjung. Buku menjadi usaha “neraka” di Unhasy

tebuireng.online– Seperti yang dicita-citakan seluruh civitas akademika dan theme line yang dipakai, The Real University of Pesantren and Enterpreneurship, Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang, terus mendorong mahasiswanya menuju dunia wirausaha kreatif. Mulai dari makanan, minuman, tekstil, aksesoris, hingga penyedia jasa.

Konsep itu, bukan isapan jempol semata. Satu persatu, baik perorangan maupun kelompok, berbondong-bondong dan berlomba-lomba membuat produk kreatif. Namun dipungkiri atau tidak, tingkat konsumerisme mahasiswa dan santri masih terpusat pada sektor makanan dan minuman. Hal itu sudah tentu, membuat sektor itu lebih unggul dari sektor-sektor yang lain, karena pasar utama mereka adalah mahasiswa dan santri.

Stand makanan dan minuman ramai dan laris sejak awal dibukanya bazar
Stand makanan dan minuman ramai dan laris sejak awal dibukanya bazar

Bercermin pada even bazar yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Dakwah Unhasy berbarengan dengan acara Festifal al-Banjari se-Jawa Timur. Beberapa stand dibuka, mulai dari makanan, minuman, aksesoris, buku, sepatu, kaus, hingga kerajinan tangan seperti kerajinan bambu. Tetapi, sebelum acara usai, satu persatu stand sejak sore hari, bahkan festifal baru saja dimulai, mendadak kosong dan ditinggalkan penggunanya.

Penjual buku, Novia mengaku sangat kecewa dengan pegelaran bazar kali ini yang sepi dari pembeli. Di standnya ia menjual stiker khas Tebuireng dan buku-buku terbitan Pustaka Tebuireng. Namun apa daya, dari sore hingga menjelang malam, hanya dua buku yang terjual, bahkan tak ada satupun stiker yang dilirik oleh pengunjung. “Ini menunjukkan minat baca dan konsumsi buku di kalangan mahasiswa masih rendah, padahal ini produk asli Pesantren Tebuireng. Mahasiswa seharusnya identik dengan buku” ungkap Novia.

Rusdi, penanggung jawab stand Bank Sampah Tebuireng
Rusdi, penanggung jawab stand Bank Sampah Tebuireng

Hal serupa juga dirasakan oleh Rusdi. Penanggung jawab stand milik Bank Sampah Tebuireng (BST) tersebut merasa tingkat perhargaan terhadap kreatifitas mahasiswa masih sebatas pada kepuasan jangka pendek. Stand karajinan hasil olahan sampah non-organik yang ia gawangi bersama para anggotanya, kukut sebelum acara selesai dilaksanakan, bahkan hanya mendapatkan 14 ribu rupiah saja. Ia berharap hal ini segera teratasi dengan managemen acara yang baik, agar tidak membunuh kreatifitas mahasiswa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebaliknya, beberapa stand makanan dan minuman cepat saji seperti es, kopi, jagung susu keju (Jasuke), dan aneka gorengan, laris manis dan dikerubungi banyak mahasiswa. Bahkan stand Jasuke yang dibuka oleh sahabat-sahabat PMII, sejak awal, sudah laris dan padat pembeli. Chumaidi, penjaga stand minuman dingin cepat saji, sosis, tempura, dan sejenisnya, mengaku penjualan kali ini lumayan menguntungkan, hingga malam hari standnya tidak sepi dari pembeli. “Ya lumayan lah, ini makanannya tinggal dua jenis, jenis lain amblas sudah,” ungkapnya.

Begitu juga stand yang menjualkan kopi, yang baru buka malam hari. Seliweran pengunjung yang menyaksikan gelaran Festifal al-Banjari tentu memilih menyeruput kopi hangat sembari mendengarkan indahnya lantunan shalawat. Tentu adalah kesempatan emas, disaat stand-stand lain sudah kosong, membuka kedai kopi dadakan menjadi pilihan yang tepat.

Kalau ini diteruskan, sektor makanan dan minuman akan terus merajai pasar, sedangkan bakul buku dan pengrajin kerajinan tangan, bakal terus gigit jari. Padahal, mahasiswa seharusnya menyukai buku untuk menambah wawasan sebagai kaum terdidik di negeri ini. Tetapi memang urusan selera lidah dan perut masih mendominasi. Apa kabar generasi masa depan bangsa? (abror)