Sumber foto: Tribunnews.com

Oleh: Ana Saktiani Mutia*

Tepatnya 22 Desember, ditetapkan menjadi hari ibu nasional. Sejarah adanya hari ibu tersebut, tak luput dari perjuangan kaum perempuan di masa penjajahan. Begitu banyak perempuan tangguh yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan memperjuangan kehormatan perempuan kala itu terkoyak-koyak sebab penjajahan.

Jika sumpah pemuda dideklarasikan karena semangat para pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan, maka Indonesia juga memiliki kongres perempuan yang terinspirasi dari para pejuang perempuan terdahulu. Seperti halnya Kartini, Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan lainnya.

Para pejuang perempuan tersebut merupakan pelopor emansipasi wanita, yang memperjuangkan kedudukan perempuan menjadi setara dengan kedudukan laki-laki di abad ke-19.

Maka kemudian diadakanlah Kongres Perempuan yang merupakan pertemuan para pemimpin organisai perempuan dari 12 kota di Indonesia seperti Jawa dan Sumatera.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertemuan tersebut membahas sekaligus menyatukan pemikiran mengenai perbaikan nasib kaum perempuan. Selain itu, pertemuan yang diselenggarakan di Gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta tersebut juga membahas mengenai pendidikan bagi perempuan, perdagangan anak, perbaikan gizi, kesehatan ibu dan anak, serta mengatasi pernikahan usia dini di masa itu.

Kongres ini dihadiri oleh wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond. Tokoh-tokoh populer yang datang antara lain Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), dan A.D. Haani (Walfadjri).

Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar pendidikan dan usia hadir dalam kongres Perempuan Indonesia Pertama ini. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain, Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, Darmo Laksmi, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan Wanita Taman Siswa. Demikian yang tercantum dalam buku Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007) karya Susan Blackburn.

Pertemuan tersebut berlangsung pada tanggal 22-25 Desember 1928 silam. Setelah kongres pertama terselenggara, Kongres Perempuan kembali mengadakan pertemuan kedua pada Juli 1935. Dalam pertemua tersebut, kongres perempuan membentuk Badan Buta Huruf (BPBH) dan menentang perlakuan kurang ajar pada buruh perempuan di perusahaan batik Lasem, Rembang, Jawa Tengah.

Setelah kongres perempuan mengadakan pertemuan yang kedua kalinya, pada tanggal 22 Desember 1938 kembali digelar pertemuan untuk ketiga kali hingga akhirnya pada kongres yang dilaksanakan di Bandung ditetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.

Dahulu hari ibu dimaknai untuk mengenang jasa pahlawan perempuan dalam melakukan perubahan bagi kaum perempuan, khususnya di Indonesia. Lalu, pada 22 Desember 1953, dalam peringatan kongres ke-25, melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1953, Presiden Sukarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai: Hari Ibu.

Saat ini dengan ditetapkannya momen Kongres Perempuan Indonesia pertama sebagai Hari Ibu, cenderung diperingati sebagai hari kasih sayang seorang ibu secara individu.

Jika kita melihat sejarah, memang ada isu-isu yang dibahas saat itu yang berkaitan dengan problematika ibu. Majalah Tempo tanggal 27 Desember 2015 menyebutkan dalam salah satu aertikelnya, bahwa hari ibu telah mengalami kerancauan istilah ibu.

Berbagai gerakan perempuan mencoba mengganti kata Hari Ibu menjadi Hari Perempuan Indonesia, dengan tujuan agar dapat dimaknai oleh masyarakat sesuai dengan persepsi mereka saat ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu memiliki arti majemuk, yaitu “ibu adalah perempuan yang telah melahirkan seseorang”; “ibu adalah kata sapaan bagi yang bersuami; “ibu adalah panggilan yang takzim kepada perempuan, baik yang sudah bersuami maupun belum”; “ibu adalah sebutan untuk perempuan yang sudah bersuami”; “ibu adalah suatu bagian yang pokok (semisal ibu jari, ibu kota)”.

Ada satu arti dalam KBBI tersebut bahwa ibu adalah panggilan takzim kepada perempuan, baik yang sudah menikah maupun belum (berarti seluruh perempuan), bisa menjadi penengah antara pendapat yang menyetujui 22 Desember sebagai hari ibu dan pendapat bahwa melihat sejarahnya dianggap kurang tepat menetapkan hari itu sebagai hari ibu. Para perempuan perumus Kongres Perempuan telah mengangkat harkat dan martabat perempuan (ibu).

Bagaimanapun cara kita memaknai Hari Ibu, sudah sepatutnya kita tetap menyayangi, mencintai serta menghormati ibu. Namun, penghormatan serta rasa cinta kita tersebut harus ditunjukkan dan dimaknai setiap hari, bukan hanya ketika hari ibu saja.

Kasih sayang seorang ibu, serta pengorbanannya tidak akan mampu diganti oleh sang anak dengan apapun. Begitu juga dengan perjuangan para pahlwan perempuan terdahulu. Generasi ibu-ibu di era milenial ini harus mampu mencontoh serta meneruskan perjuangan para pahlawan perempuan.

Hari Ibu sudah sepatutnya dimaknai dengan menghormati perjuangan pahlawan perempuan terdahulu, sekaligus dapat memaknainya dengan menghargai segala pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu yang telah melahirkan, mendidik serta mengajarkan anak-anaknya sejak dalam kandungan.

Sosok ibu sudah mendarah daging dalam diri setiap anak, dan menjadi perempuan yang sangat diprioritaskan oleh agama Islam dalam konteks birrul walidain, sebagaimana sabda Rasulullah yang kerap kali kita dengar. Bahkan sudah dihafal di luar kepala, bahwa surga di telapak kaki ibu dan Rasulullah mengatakan “Ibu” tiga kali baru kemudian ayah.

Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia.

Begitulah istilah yang dapat kita ungkapakan pada seorang ibu, sebagai gambaran kasih sayangnya. Sedewasa apapun seorang anak, dan setinggi apapun pangkat anak, ia akan tetap terlihat seperti anak kecil di mata seorang ibu. Karena pada hakikatnya, seorang anak tetap membutuhkan kehadiran, serta kasih sayang sosok ibu, karena ia adalah segalanya bagi anak dan perhisan terindah bagi seorang suami.

Untuk yang telah ditinggal pergi oleh sosok ibu yang disayangi, sudah sepantasnya kita memaknainya dengan menziarahi, ataupun mendokan almarhum ibu, walau tak harus pada saat Hari Ibu. Ibu bagaikan belahan hati yang tak akan pernah tergantikan, taat dengan perintah serta permintaannya saja sudah sangat membuat hati seorang ibu bahagia.

Kini, saatnya kita berbakti dan mengabdi kepada orang tua sebagai bentuk terima kasih kita sebagai seorang anak. Selamat Hari Ibu para pahlawan perempuan, dan selamat hari ibu untuk perempuan yang telah melahirkan kita ke dunia ini.


*Alumni Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.