Proses Detail Lahirnya Fikih Hadis

Pembahasan dalam bagian sebelumnya, mengantarkan kita pada gambaran genealogi mengenai bagaimana proses detail lahirnya fiqh al-hadits. Pertama, diawali dengan lahirnya hadis-hadis hukum yang disabdakan Nabi. Kedua, secara sengaja sebagian sahabat mengumpulkan hadis-hadis tersebut secara tertulis dalam perkamen-perkamen. Ketiga, diskusi di antara para sahabat dan tabi’in mengenai hadis-hadis hukum berkembang sehingga melahirkan ijtihad dari masing-masing mereka. Tapi tidak banyak yang terkodifikasi.

Keempat, Imam Malik muncul dengan karya monumentalnya, yakni al Muwaththa’, yang
menggabungkan antara hadis-hadis hukum, qaul sahabat, qaul tabi’in, bahkan sesekali pendapatbeliau sendiri. Kelima, muncul Imam asy Syafi’I yang menulis karya berjudul ar Risalah berisi tentangbagaimana cara beristidlal yang baik dan benar terkait hukum suatu masalah. Keenam, semua prosestersebut menginspirasi lahirnya sunan, yakni kodifikasi hadis dengan metode tabwib al-fiqhi, sehinggaterpilah secara sistematis hadis-hadis yang berbicara tentang hukum.

Ketujuh, ketika kodifikasi hadis telah sempurna dengan metode tabwib al-fiqhi sehingga lahir kitab sunan, maka secara otomatis hadis-hadis hukum terdeteksi dan terseleksi. Kedelapan, dengan terseleksinya hadis-hadis hukum dalam sebuah kitab khusus, ternyata tidak otomatis membantu dalam menyelesaikan masalah hukum. Sebab, umat tidak bisa serta merta mencomot satu hadis yang ada di dalamnya kemudian dijadikan dalil hukum. Sehingga diperlukan metode khusus untuk mengupas kodifikasi hadis tersebut (sunan) untuk melahirkan kesimpulan hukum yang benar. Metode itulah yang selanjutnya diistilahkan oleh ulama dengan fiqh al-hadits.

Fikih Hadis setelah Dibukukan

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

‘Ashr at-tadwin atau masa kodifikasi bermula saat kekhalifahan Islam ada di tangan Umar bin AbdulAziz, yakni tahun 100 hingga 111 Hijriah. Lalu pada masa kekhalifahan Abu Ja’far Al-Manshur penulisanlebih gencar dilakukan. Semua ditulis dalam buku, termasuk hadis, ijtihad sahabat, dan ijtihad tabi’in.

Bahkan, hadis yang awalnya tidak diperkenankan ditulis dalam satu buku dengan qaul sahabat dantabi’in, di masa ini ditulis bersama pemahaman para sahabat dan tabiin. Sehingga mulai dari masainilah, aktifitas ilmiah para ulama sudah dapat dilacak dari karya mereka, termasuk metode fikih hadisyang mereka terapkan. Lebih dari itu, beberapa ulama telah memaparkan dan mengidentifikasi kitabkitab apa saja yang masuk dalam kategori fiqh al-hadits.

Karya-Karya yang Diakui Ulama sebagai Kitab Fikih Hadis

  1. Al Muwaththa’ karya Imam Malik ibn Anas (w. 179 H)

Ada beberapa metode fiqh al-hadits yang dijelaskan dalam al Muwaththa’. Pertama, metode tabwib al-fiqhi. Dalam metode ini, Imam Malik membuat tema-tema khusus yang merupakanpokok ajaran dalam Islam. Dalam setiap tema tersebut terkandung dalil-dalil sahih sebagaipijakannya. Kedua, penyertaan qaul sahabat dan tabi’in untuk memperkuat penjelasan hadis.

Ketiga, mengungkap pendapat Imam Malik. Dalam konteks ini, pendapat Imam Malik berkedudukan sebagai ijtihad. Hal ini menjelaskan pada kita tentang tahapan-tahapan dalam mengambil kesimpulan hukum dari suatu hadis setelah mendapat penjelasan tambahan dari qaul sahabat atau tabi’in. Keempat, memilih hadis dan atsar yang sahih. Artinya, hadis dan atsar yang layak diteliti, diambil hikmah dan hukumnya adalah yang kualitasnya sahih, minimal hasan. Sedangkan hadis dan atsar yang daif maka tidak layak untuk dijadikan objek fiqh al-hadits.

  1. Ar Risalah karya Imam Asy-Syafi’I (w. 204 H)

Hampir semua komponen metodologi fiqh al-hadits telah dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’I dalam kitabnya ini, hingga tingkat cara kerjanya. Di antara beberapa komponen inti yang dikenalkan secara metodologis adalah pertama, metode mengupas ayat Al Quran. Kedua, metode pemaparan praktik atau tradisi sahabat. Ketiga, menjelaskan urgensi qaul tabi’in. Keempat, urgensi ijma’ ulama. Kelima, metode mengulas bahasa. Keenam, qaul ulama.

Pada salah satu bab, Imam Asy-Syafi’I juga menjelaskan tentang mukhalif al-hadits. Bahkan, dasar dan pijakan utama fiqh alhadits mengenai kehujahan khabar al-wahid pun telah dikupas oleh Imam Asy-Syafi’i. Sedangkan, fiqh al-hadits pada dasarnya adalah membedah dan menggali hukum dan hikmah dari hadis yakni satu persatu, yang itu mayoritas adalah khabar al-wahid.

  1. Ma’alim as Sunan karya Abu Sulaiman Al-Khaththabi (w. 388 H)

Menurut penjelasan pengarang, kitab ini merupakan hasil dari upaya menggabungkan antara fikih dan hadis. Di dalamnya termuat, pertama, tafsir hadis beserta makna-maknanya. Kedua, pendapat para ulama beserta ikhtilaf mereka. Ketiga, analisa bahasa. Inilah komponen metodologi fiqh al hadits yang diterapkan Abu Sulaiman al Khaththabi di dalam kitabnya. Dibanding dua kitab sebelumnya, metodologi fiqh al-hadits dalam kitab ini tampak lebih sederhana. Hal itu wajar karena di masa itu sudah lahir madzhab empat. Sehingga penafsiran hadis cukup dengan mengutip pendapat imam madzhab beserta imam imam lainnya dengan terlebih dahulu mengutarakan pendapat pribadinya. Kitab ini merupakan kitab pertama yang menerapkan metodologi fiqh alhadits ke dalam pensyarahan kitab induk hadis.

  1. At Tamhid Lima fi al Muwaththa’ min al Ma’ani wa al Masanid karya Muhammad ibn ‘Abdil Barr an Namri (w. 463 H)

Ibnu ‘Abdil Barr telah menjelaskan sendiri metode yang digunakan dalam kitab ini. Beberapa
metodenya merupakan bagian dari metodologi fiqh al-hadits yang bisa diterapkan. Seperti
menghadirkan riwayat lain yang dari sisi sanadnya lebih kuat daripada sanad yang digunakan oleh Imam Malik dalam al Muwaththa’ sebagai kitab yang disyarahi. Hal ini karena memang misi Muhammad ibn ‘Abdil Barr adalah menguatkan dalil-dalil dan hujah daripada Imam Malik. Oleh sebab itu, tidak seperti kitab syarah lain yang hanya memuat hadis dari kitab yang disyarahi, at Tamhid ini menyertakan riwayat lain selain yang ada di kitab yang disyarahi. Metodologi lain yang digunakan adalah analisa bahasa, qaul ulama, syawahid, dan analisa perawi terkait nasab, usia, dan wilayah tinggalnya.

  1. Subul as Salam karya Muhammad ibn Ismail ash Shan’ani (w. 1182 H)

Dalam kitab ini, ash Shan’ani menyebutkan hadis sebagaimana urutannya dalam kitab Bulugh AlMaram. Kemudian memberikan catatan ringkas tentang: 1) Paparan biografi sahabat secara singkat, 2) Penjelasan matan secara terperinci dari sudut pandang ilmu hadis, 3) Penjelasan kalimat hadis yang gharib, 4) Sesekali menjelaskan sintaksis kata, 5) Mengupas berbagai kemusykilan yang ada di dalam hadis, dan 6) Memaparkan berbagai pendapat ulama kemudian memandang qaul yang paling rajih dan membahas hujah yang berseberangan. Artinya, dalam metodologi fiqh al hadits, beliau sangat disiplin mematuhi kode etik penerapan komponen yang baku. Hal itu terbukti sangat membantu pembaca memahami kandungan hadis secara utuh.

  1. Nail Al-Author karya Muhammad Asy-Syaukani (w. 1250 H)

Kitab ini merupakan syarah kitab Muntaqa al Akbar karya al Majdu Ibnu Tamiyah yang berisi hadis shadis sahih yang menjadi dalil masalah-masalah hukum. Komponen metodologi fiqh al-hadits yang digunakan diantaranya adalah takhrij, jarh wa ta’dil, mutabi’at dan syawahid, mengompromikan hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan, istinbath hukum, memaparkan qaul ulama dan madzhab, dan menjelaskan kata-kata asing dalam redaksi.

Kitab Lain yang Mempunyai Komponen Metodologi Fikih Hadis

Komponen yang ada dalam kitab yang diakui ulama sebagai kitab fiqh al-hadits di atas, selanjutnya dapat dijadikan standarisasi atau barometer kitab fiqh al-hadits. Standar ini kemudian dapat dijadikan tolak ukur untuk mengategorikan kitab-kitab lain sebagai kitab fiqh al-hadits atau bukan. Berikut ini di  antara beberapa kitab yang dapat dikategorikan sebagai kitab fiqh al-hadits:

  1. Shahih al Bukhari karya Imam al Bukhari (w. 256 H)
  2. As Sunan al Kabir karya Abu Bakar al Baihaqi (w. 458 H)
  3. Al Muntaqa karya Ibnu Khalaf al Baji (w. 494 H)
  4. Al Mu’allim bi Fawaid Al-Muslim karya Muhammad ibn Ali al Mazi (w. 536 H)
  5. Ikmal al Mu’allim bi Fawaid al Muslim karya al Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H)

Kitab Lain yang Mempunyai Komponen Metodologi Fikih Hadis

Pada abad ke-6 Hijriah, fiqh al-hadits menemukan coraknya melalui pensyarahan terhadap beberapa kitab kumpulan hadis hukum. Abad ini menjadi saksi lahirnya fase baru dalam fiqh al-hadits, yakni fase di mana fiqh al-hadits lebih fokus pada corak kemadzhaban. Pada abad ini fiqh al-hadits menjadi sarana yang efektif bagi fuqaha untuk menyebarkan ideologi dan madzhab tertentu. Pengumpulan hadis-hadis hukum yang sahih pada satu kitab kitab tersendiri sangat membantu fuqaha. Adapun di antara kitab kumpulan hadis hukum yang merupakan pelopor lahirnya corak fikih dalam fiqh al-hadits adalah sebagai berikut.

  1. ‘Umdah al Ahkam min Kalam Khair al Anam karya Taqiyuddin Abdul Ghani al Maqdisi (w. 600 H)
  2. Al Muharrar fi Ahadits al Ahkam karya Ibnu ‘Abd al Hadi (w. 744 H)
  3. Bulugh al Maram min Adillah al Ahkam karya Ibnu Hajar al ‘Asqalany (w. 852 H)

Kitab-kitab di atas beserta berbagai syarahnya otomatis menjadi karya yang mendorong dan mewarnai perkembangan fiqh al-hadits di abad ke-8 dan ke-9 Hijriah. Dengan demikian perkembangan fiqh al-hadits terus berkesinambungan dari abad ke abad. Bahkan semakin ke belakang, pasca kutub as-sittah, setelah muncul kitab-kitab yang secara khusus menghimpun hadis-hadis hukum, perkembangan fiqh al-hadits sangat pesat terutama terkait dengan komponen metodologi dan coraknya.


*Diringkas oleh M. Syahrul Ramadhan sebagai bahan diskusi rutin Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari pada Senin, 18 September 2017.