Oleh: Ana Saktiani Mutia

Sejenak ku teringat, akan aku dimasa lalu. Bagai terlempar jauh ingatanku, hingga akupun hanyut dalam setiap kenangan yang ku lalui. Aku rindu? Entahlah. Mungkin ini hanya sebuah angan yang terlintas.

Ah… bukan . Ini bukan angan, ini memang betul-betul kerinduanku akan pelukan hangatnya, belai kasih sayang dan dekapan eratnya kala ku menjerit meminta setetes air yang akan hilangkan dahagaku.

Ibu  aku sangat merindukanmu. Jwaku ini terus memanggilmu. Ibu, aku sungguh rindu..

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Izinkan aku tuk mengenang seraya memeluk, mencium, nan mendekapmu dengan segala rasa yang ku punya. Maafkan aku yang  selama ini selalu membuatmu menangis di kala kau bersimpu menghadap-Nya…

Ibu izinkan aku mencium surgaku sebelum kau kembali menghadap-Nya. Izinkan aku melihat senyum tulusmu itu tuk kembalikan gairah semangatku yang luntur karena dunia.

Ibu… rindu ini kembalikan ingatanku… ingatan yang telah lekang oleh waktu. Mengingat sosok yang rela tuk taruhkan setiap helaan nafasnya. Mengingat seluruh peluh yang ia rasakan. Terngingang jerit pesakitan yang kau rasakan karenaku. Ibu, aku teringat itu. Teringat akan teriakanmu saat ku menjerit tuk pertama kalinya.

Aku teringat saat kau menimangku kala malam merajut mimpi. Aku teringat saat kau paksakan diri tuk melahap semua jenis makanan yang tak kau sukai, kau lakukan demi aku, ibu. Kau rela menahan mual untuk makanan yang kau tahu itu baik untukku.

Ibu… saat aku jatuh sakit, kau tak pernah mengeluh lelah karenaku. Ibu… ku tak kuasa bila harus mengingat seluruh pengorbananmu. Pengorbanan yang kau peruntukkan untukku. Tak peduli terik, tak peduli peluh, tak peduli lelah, tak peduli jenuh nan bosan, kau selalu ada untukku, ibu.

Dan kini, akupun teringat akan pengorbananmu saat aku, ayah, dan engkau akan dihancurkan oleh sosok yang tak ku harapkan. Kau perjuangkan itu ibu. Kau pertahankan seluruh janji suci itu. Ibu… betapa sakit yang kau rasa… kau terkapar bersama air mata yang terus mengalir di sudut mata sayumu itu ibu… sakit itupun kau tepis dengan memelukku, mendekapku, seraya menuntunku tuk pasrahkan seluruh hidup ini pada-Nya.

Ibu kau telah ajarkan aku bagaimana cara bertata krama, kau ajarkan aku bagaimana berbicara pada yang lebih tua, kau arahkan aku agar ku tak menyakiti hati sesama. Kau selalu acungkan tanganmu kala lisanku ini menyayat hatimu. Kau selalu mengajariku bagaimana cara tuk menghargai setiap jeri payah orang lain. Kau ajarkan semua yang telah Allah titahkan padamu, Ibu.

Kau mengajariku membaca, kau mengajariku menulis, kau ajari aku tuk menyebut nama-Nya setiap waktu. Kau ajarkan semua yang betul-betul ku perlukan saat ini. Ibu, maafkan aku yang terlalu sering membuatmu cemas akan kemalasanku ini ibu. Maafkan aku yang terlalu sering membuat tangan lentikmu itu menyeretku ke kamar mandi, hanya karena ku tak ingin membaca dan menulis.

Ibu, kini aku tau akan semua yang kau lakukan di masa laluku itu ibu. Semua yang kau lakukan itu demi kebaikanku di masa sekarang dan yang akan datang. Di masa yang kian miskin akhlak. Ibu… andaikan aku terus tunduk akan titahmu, ku tak akan menyesali setiap langkah yang telah kau lakukan untukku.

Ibu… aku rindu padamu ibu…

Karena engkau aku dapat tersenyum, karena engkau aku dapat berdiri, karena engkau aku dapat memberi. Ibu, aku dapat bertahan sampai sejauh ini ibu. Karena doamu aku dapat melihat dunia yang penuh warna. Engkaulah ibu yang tak pernah membuatku mengeluh, engkaulah alasan yang membuatku bertahan.

Ibu… aku merindukanmu ibu. Aku rindu pelukmu, aku rindu dekap kasih sayangmu…

Ibu, ingatanku masih lekat dengan kisah ini, ibu. Kisah dimana engkau mendekapku begitu erat. Engkau dekap aku dengan sejuta rindumu. Kau dekap aku dengan segala rasamu, ibu. Ibu, aku tau itu ibu. Rindu yang telah lama kau tahan. Rindu akan pertemuan yang kian menyudutkan hari-harimu itu, ibu. Aku tau kau merindukanku. Ku dapat merasakan itu ibu. Ku dapat rasakan itu semua dari dekapan hangatmu ibu. Kau tahan rindu itu saat kau bertandang ke tanah asing, tempat kau mengais rezeki. Kau pulang dengan membawa segenap rindu, kau pulang dengan segenap jerit derita yang membuatmu harus rasakan sakit yang tiada ampun. Batinmu, tubuhmu… oh ibu… bagaimana bisa aku lupakan itu ibu. Bagaimana aku bisa mengikis seluruh ingatan itu, sedangkan kau telah curahkan seluruh rasamu itu ibu.

Ibu, aku tak lupa jika hari ini adalah harimu. Hari dimana sang buah hati sepertiku mengucapakan selamat hari ibu. Aku tak lupa itu ibu, aku tak lupa akan hari istimewa ini. Ibu, aku tengah menahan rindu ibu. Rindu akan dekapan kasih sayangmu. Aku rindu itu ibu.

Ibu, andai saja malam ini kau ada di sisiku, ku akan memelukmu erat-erat. Akan ku usap peluhmu semampuku. Akan ku hapus luka akibat ucapanku yang amat menyayat hatimu. Maafkan aku ibu. Maafkan lisanku ini…

Ibu…

Aku pun mulai teringat, bahwa semua ingatan itu tinggalah cerita manis yang terus membayangiku. Cerita manis yang selalu menghantuiku. Kala ku ingat bahwa kau tak akan ada lagi di sisiku.

Ibu… aku disini berhasil menjadi orang nomor satu. Orang nomor satu yang terus merindu akan dekap nan belai kasihmu. Aku rindu engkau ibu. Belai aku bersama rindumu yang kini membuatku semakin faham bahwa engkau sangat mencintaiku melebihi dirimu. Kau membiarkanku hidup dengan seseorang yang kau hadiahkan untukku di hari istimewa ini. Dan karena itu, kau meninggalkanku. Kau pergi dengan menanggalkan organmu dalam tubuhku. Kau relakan nafas terakhirmu untukku. Dan kau telah membuatku semakin rindu akan pelukmu. Ibu… hanya air mata penyesalan yang dapat ku uraikan saat ini. Air mata yang dulu sempat kau usap. Kini, kau telah tinggalkan aku bersama kenangan manis di hari ibu.

Selamat hari ibu… ibuku sayang… kau ibu terhebat yang ku miliki. Kau adalah ibu yang selalu menguatkan aku… maafkan aku yang hanya bisa membuatmu menangis.