Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #22

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan ulama tersohor di Nusantara, karena peranannya dalam mendirikan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di negeri ini NU, mendirikan Pesantren Tebuireng, dan merupakan pejuang kemerdekaan dan pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan. 

Namun, tak banyak yang tahu, bisa jadi karena tertindih oleh pemikiran-pemikiran geniusnya dalam bidang keilmuan lain, khususnya hadis, fikih, dan segala peranannya terhadap Islam, NU dan Bangsa Indonesia, bahwa Kiai Hasyim mempunyai pemikiran tentang pernikahan, pengelolaan keluarga, dan pembentukan rumah tangga sakinah dalam kitabnya berjudul, Dhau’ al-Mishbah fi Bayani Ahkam an-Nikah.

Di dalam Kitab Dhau’u al-Mishbah fi Bayani Ahkam an-Nikah, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, memang tidak menerangkan secara eksplisit tentang rumah tangga sakinah. Namun kebetulan skripsi penulis membahas soal ini dan menemukan bahwa di dalam kitab tersebut terdapat indikator-indikator pembentukan keluarga sakinah. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di antara indikator-indikator yang terdapat dalam kitab tersebut adalah:

1. Harus Patuhi Hukum, Syarat, dan Rukun Nikah

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mengawali  pembahasan inti dengan menjelaskan hukum-hukum nikah. Hukum nikah tergantung pada tujuan dan kondisinya. Setidaknya Hadratussyaikh menyebutkan ada lima hukum nikah.

Pertama, hukum nikah adakalanya sunnah. Kiai Hasyim mengutip perkataan Syaikh al-Nawawi ad-Dimasqi yang mengatakan bahwa jika niat nikah itu adalah untuk mengikuti sunnah, atau untuk memperoleh keturunan, dan menjaga kemaluan atau mata, maka nikah dianggap sebagai amal akhirat yang berkonsekuensi mendapatkan pahala. 

KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan pula bahwa barang siapa yang telah mencapai keinginan syahwat dan mampu untuk memberikan mahar dan nafkah, maka sunnah baginya untuk menikah. Sebaliknya yang masih belum mampu demikian, justru dia mengatakan sunnah untuk tidak nikah dulu, karena dihadapkan pada realita-realita yang harus ia hadapi dan itu dapat menyebabkan ia sibuk, sehingga mengganggu ibadahnya.

Jika tidak nikah dulu bisa membuatnya dapat beribadah dengan tenang, maka meninggalkan nikah terlebih dahulu jauh lebih selamat baginya demi agama. 

Kiai Hasyim mengutip perkataan Syaikh as-Syarqawi dalam Hasyiyah at-Tahrir, justru nikah akan menjadi wajib jika ia diposisikan sebagai jalan atau solusi pencegahan zina dan perceraian terhadap istri yang punya hak untuk digilir (suami poligami).

Hukumnya terkadang bisa menjadi khilaful aula atau menyalahi sesuatu yang lebih utama, seperti orang yang sudah ingin nikah dan sudah siap, tetapi tetap menahannya dengan puasa atau dengan cara lain yang dapat menahan hawa nafsu. 

Bagi yang belum nafsu nikah dan sebenarnya sudah siap, tetapi mempunyai penyakit yang dapat menghalangi nikah, maka hukumnya makruh. Bahkan Kiai Hasyim mengatakan terkadang dalam kondisi tertentu nikah bisa menjadi haram, seperti menikahi seseorang yang haram bagi dia untuk menikahinya atau dari dirinya sendiri memang tercegah untuk menikah seperti orang gila dan masih anak-anak atau belum baligh. (Selebihnya bisa dibaca dalam kitab beliau tersebut).

2. Anjuran-anjuran Memilih Pasangan   

Kiai Hasyim menganggap bahwa membentuk jalinan kasih rumah tangga sakinah, dimulai jauh sebelum nikah dilaksanakan, yaitu sejak keduanya memilih pasangan yang tepat untuk membina rumah tangga.

Salah satu konsep pemilihan itu ada pada hadits Nabi SAW., dari sahabat Abu Hurairah ra. di atas tentang pemilihan pasangan melalui empat kualifikasi, yaitu al-maal (finansial), al-hasab (jabatan), al-jamal (keindahan penampilan fisik), dan ad-diin (agama) atau dalam redaksi lain, al-hasab diganti dengan istilah an-nasab (silsilah keluarga). 

Rasul menitik beratkan pada ad-Diin (agama) sebagai kualifikasi nomor wahid untuk memilih pasangan. Menurut Hadratussyaikh hal itu disebabkan karena memilih pasangan dengan kualifikasi pondasi agama yang kuat adalah mathmahu nadhrin (menjadi pusat perhatian) dan tathawulu shuhbatin (setia menemani), sehingga tujuan pernikahan, yaitu al-usyrah bi al-ma’ruf (bergaul dalam kebaikan) dan thayyibu al-‘iisy (penghidupan yang baik), dapat dicapai bersama membangun rumah tangga yang sakinah. 

3. Mengetahui Faidah Nikah

Kiai Hasyim mengungkapkan lima faidah nikah, yaitu mendapatkan keturunan, memecahkan problematika hasrat seksual, mengatur urusan-urusan rumah tangga, memperbanyak keluarga, memerangi hawa nafsu dengan tugas-tugas dalam keluarga dan bisa bersabar dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut. 

Sebaliknya, Kiai Hasyim menuliskan tiga bahaya nikah yang tidak sesuai dengan tuntunan, yaitu ketidakberdayaan dalam mencari yang halal, kegagalan dan sembrono dalam menghidupi keluarga, serta keluarga dan anak yang dapat menjadi penghalang ketaatan kepada Allah, serta menarik pada usaha yang berlebihan dalam mencari keduniaan dengan menumpuk harta. 

4. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Walau dalam kitab ini, tidak dijelaskan secara detail bagaimana keluarga sakinah itu, namun indikator-indikator dalam rupa pesan tersirat dari Kiai Hasyim adalah pembentukan umat terbaik dengan keluarga yang baik.

Dalam hal ini, barang mesti yang dapat membina rumah tangga sakinah. Untuk melengkapi pembahasan soal nikah, Kiai Hasyim dalam bagian khatimah atau penutup kitab Dhau’u al-Mishbah fi Bayani Ahkam an-Nikah, menjelaskan tentang hak dan kewajiban suami dan istri sebagai bagian dari pembentukan rumah tangga sakinah. 

Di antara kewajiban suami, menurut Kiai Hasyim, pertama, suami dan istri bagaikan pakaian yang saling menutupi dan menghangatkan sehingga harus ada mu’asyarah bi al-ma’ruf, menurutnya menjadi landasan penting dalam berumahtangga sakinah. 

Kedua, suami harus memperlakukan istrinya dengan baik. Ketiga, suami agar memberikan nafkah berupa makanan sehari-hari dan pakaian. Kelima, suami dilarang memukul wajah istri serta manyakitinya.

Keenam, setiap suami harus berakhlak baik dan lembut dalam berhubungan dengan keluarganya. Ketujuh, (suami) wajib menjadi pimpinan yang baik dalam rumah tangganya. Kedelapan, Seorang suami juga dituntut untuk bisa mendidik keluarganya agar mengerjakan shalat.

Bahkan, KH. Hasyim menegaskan bahwa suami yang tidak memerintahkan keluarganya dan tidak mengajarinya ilmu agama, maka ia sama halnya mengkhianati perintah Allah dan Rasul-Nya. 

Begitu pula bagi seorang istri, menurut KH. Hasyim Asy’ari, istri harus memenuhi kewajibannya; Pertama, tidak berpuasa dan tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izin dan rida dari suami. Kedua, istri juga dituntut tidak menyombongkan diri atas kecantikannya.

Ketiga, melakukan adab-adab yang baik, seperti taat terhadap perintah suami, diam tatkala suami berbicara, dan berdiri tatkala suami datang dan pergi. Keempat, meninggalkan sikap khianat (menyeleweng) tatkala suami pergi khususnya dalam persoalan kamar (perselingkuhan) dan harta.

Kelima, berperilaku menyenangkan suami, seperti memakai wangian, menjaga mulut agar tetap wangi, dan menjaga penampilan di hadapan suami serta meninggalkan hal itu tatkala suami pergi. Keenam, memuliakan keluarga dan kerabat suami, melihat sesuatu (pemberian) yang sedikit sebagai sesuatu yang banyak, dan mengharapkan rida suami.

Sebagai konsekuensi logis bahwa demi tercapainya tujuan pembentukan rumah tangga sakinah, keluarga yang diridai Allah dan RasulNya adalah yang dapat mengaplikasikan hak dan kewajibannya masing-masing. Suami harus memenuhi hak istri dan melaksanakannya. Maka, istri juga melakukan hal yang sama. 

Sumber

Kitab Dhau’u Al Mishbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, dikumpulkan dalam Irsyadus Syari oleh KH. Ishomuddin Hadzik.

*Penulis adalah Tim Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.

[fb_plugin comments width=”100%”]