Oleh: M. Rohmatullah*

Dalam kurun waktu setengah tahun terakhir, penjualan buku yang lumayan melonjak ya di bulan Agustusbaboe, ini juga dirasakan oleh penerbit Pustaka Tebuireng yang digawangi oleh M. Fao cs, dan saat itu pula Pustaka Tebuireng mulai mengepakkan sayapnya dan memulai langkah-langkah konkret -bulan pertama untuk memulai test drive, katanya-. Bagaimana tidak, di bulan pasca Ramadan yang saat itu selain berkah -keuntungan nonmateri-, juga memperpanjang usia dapur supaya terus ngepul, sebab memang di bulan itu bertepatan dengan diselenggarakannya hajat besar, tidak lain Muktamar ke-33 NU yang dilaksanakan di Jombang, kota beriman sekaligus kota “wiu wiu” dengan ratusan ambulan di setiap desanya. Nyaris periodik, setiap 15 menit sekali kita disuguhi bunyi nyaring dari sirine yang dipasang di atas atap mobil besutan Suzuki, didatangkan guna pengadaan inventaris untuk setiap desa di Jombang oleh bupati terpilih periode 2013-kini. Ya, ambulan desa yang rumornya diambil dari anggaran 500 juta per desa. Efisienkah program ambulan desa yang digagas pak bupati Dr. Ec. H. Nyono Suharli Wihandoko ini, yang belakangan sekali duakali kedapatan sedang berada di tempat piknik? -Ah, saya tak mau membahasnya, nanti disangka “apa-apa”-

**

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa muktamar saat itu begitu gaduh. Tak sedikit info-info miring yang dilayangkan, mulai dari media lokal sampai media bertaraf nasional, dan tak menutup kemungkinan bertaraf internasional. Banyak judul yang sengaja dipakai mengandung unsur profokatif, dengan banyaknya kepentingan-kepentingan individu bahkan kelompok tertentu, entah keuntungan berupa duit atau numpang beken, maklum saja dibalik kekuatan besar terdapat tanggung jawab yang besar pula. Belum lagi bertebarannya sepikulasi-sepikulasi dari para hadir yang di luar panggung, dari pengamat, penggembira, hingga bakul-bakul yang memenuhi di hampir seluruh pusat kota. Bahkan, tak sedikit dari para bakul yang mengharapkan muktamar diperpanjang waktunya. -saya tidak sedang berkapasitas sebagai bakul, bakul buku khususnya. Tapi, kalau pun diperpanjang ya al-hamdulillah-

**

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dengan lapak berukuran kurang lebih 6×3 meter yang kebetulan berlokasi radius 15 meter di depan bibir gerbang makam tiga tokoh pahlawan nasional sekaligus founding fathers Nahdlatul Ulama, sebagai bakul buku yang ber-aliansi (Gus Rijal, Lek Syam dan saya), maka sangatlah wajar jika banyak tamu yang hadir dan mengunjungi lapak kami yang bersih dan nyaman, dan yang begitu menggoda tuk dijamah, buku-bukunya.

“Mas, bagaimana acaranya (muktamar)?” Tanya seorang penulis muda, massif, progresif pro aktif, Pak Mukani. Satu diantara karyanya diterbitkan Pustaka Tebuireng.

“Lumayan, pak. Top!!! Sangat ramai, sponsornya saja tak tanggung-tanggung, salah satu maskapai penerbangan ternama ikut andil, lho. Rumornya sampai-sampai pak Din Syamsudin -ibarat kata seperti­- ngambeg, alhasil di setiap banner ucapan selamat diselenggarakannya muktamar NU dihimbau supaya diimbuhi ucapan selamat juga untuk Muhammadiyah di bawahnya.” saya menjawab sekenanya, saya faham dengan pertanyaan pak Mukani, beliau menanyakan perihal kegaduhan muktamar, bukan animo masyarakat yang turut memeriahkan pagelaran muktamar. Selain sedang sibuk ngelapak juga kurang tertarik dengan obrolan bertema kegaduhan yang sedang berlangsung.

“oh, ya?” pak Mukani melanjutkan pertanyaannya.

enggeh, pak. Tapi segaduh-gaduhnya muktamar kali ini, tidak mengalahkan kengerian muktamar di Cipasung, 1994. Yang saat itu dimenangkan Gus Dur dengan adegan yang dramatis. Perolehan angka yang nyaris.” Sengaja saya jawab dengan menggeser topik, namun masih dalam tema muktamar. Saya menyadari, bahwa ketika kejadian atau pergolakan yang belum “dikatakan” selesai maka akan sulit dikisahkan, yang ada hanyalah prediksi, terkadang menggunakan teori-teori konspirasi yang bila kita nikmati sangatlah renyah, gurih namun nirgizi, terlalu naif dan memihak. Belum lagi perspektif yang tendensius, seperti yang pernah dijelaskan Imam Syafi’i, bahwa pengambilan sudut pandang dalam menyikapi suatu hal ada dua macam. Pertama “pandangan cinta” yang efek pada penggunanya bisa sampai mengkultuskan bahkan mendewakan Objeknya. dan yang kedua “pandangan benci” berujung fitnah, jangankan salahnya, wong benarnya saja salah. Maka mafhum mukholafahnya, apalagi?.

**

Ooo, yang lawan tandingnya -GD itu- Abu Hasan ya?” sambung pak Mukani.

Upaya pengalihan tema pun berhasil. Hehehe…

“Betul banget, Abu Hasan hanya tumbal, bisa dikatakan korban politik belah bambu-nya Pak Harto, hehehe.”

Pak Harto dengan kekuasaannya menggunakan anasir untuk menggulingkan Gus Dus. Disinilah Abu Hasan “dikondisikan” untuk menjadi tonggak perlawanan. Bahkan, pamanda Gus Dur, KH. Yusuf Hasyim turut serta dalam upaya menyingkirkannya, dan tentunya KH. Yusuf Hasyim tak sendiri.

Tak cukup sampai di situ. Pak Harto mengerahkan sedikitnya 1500 tentara berseragam dan ratusan telik sandi guna “mengamankan” arena muktamar. Mengamankan? Ya, bahasa kode yang pernah dipakai dalam film Knight and Day; pesan dari seorang agen yang bernama Roy Miller kepada kawan barunya dan belakangan menjadi “partnernya”, June Havens.

There’s a few common DIP keywords to listen for; Reassuring words. Words like, “stabilize,” “secure,” “safe.” If they say these words, particularly with repetition…

…It means they’re going to kill you. Or intern you somewhere offshore for a very long time.

Ada beberapa ciri umum bahasa DIP (semacam lembaga seperti FBI, MIB, BBC, ABC, atau Panti Asuhan barangkali) yang perlu sampean ketahui: Kata-kata yang meyakinkan, seperti “stabil,” “terkendali,” “aman.” Jika mereka mengucapkannya secara berulang-ulang…

…yaa itu artinya mereka bakalan membunuh sampean. Atau sampean bakal ditahan di suatu tempat untuk waktu yang lama, -nah lho-.

**

Kembali ke muktamar 1994. Masih dirasa kurang “aman”? Tentu saja, adanya tentara ribuan tanpa adanya dukungan alutsista semisal panser sama halnya dengan Jambeng dan Abror, diam anteng di hadapan makanan, fenomena yang sangat tidak sedap dipandang dan tentunya sangat janggal.

Sarat dengan “permainan,” tidak sedikit, pemuda berbadan kekar seliweran dengan menggunakan atribut Banser, Banser kok muda dan kekar? “seketika hening sesaat.” Melihat pemandangan yang unik ini, membuat kita bertanya-tanya, bagaimana dengan tanggapan Gus Dur? Dalam malam terakhir muktamar, Gus Dur berkelakar dan berterimakasih kepada tentara yang telah meminjamkan serdadu tambahan kepada Banser.

Ketegangan menjadi-jadi manakala perhitungan dimulai. Dalam putaran pertama, GD meraih 157 suara, Abu Hasan 136, Fahmi Saifuddin 17, dan Chalid Mawardi 6 suara. Di sisi lain, gedung penghitungan suara dikelilingi panser dan tentara, tentu sangatlah sulit bagi pendukung Gus Dur meninggalkan tempat dan potensi chaos menjadi nyata, ini yang membuat suasana menjadi semakin ngeri. Kaum muda NU kebingungan dan beberapa kiai sepuh menangis, mereka bahkan bermunajat agar Dia ikut campur dalam hal ini.

Ketegangan pun berakhir dan menjadi suasana yang mengharu-biru ketika penghitungan suara berkhir dengan selisih skor 32 suara, GD 174 dan Abu Hasan 142. Emosi tak mampu dibendung lagi, kaum muda pun berdiri di depan pintu membentuk barisan melingkar sembari meneriakkan yel-yel berbahasa Inggris; SOEHARTO HAS TO GO, SOEHARTO HAS TO GO! (Soeharto Turun! Soeharto Turun!). ya ini pulalah yang membuat orang nomer satu negeri ini marah besar, presiden kita yang kurang-lebih 32 tahun menguasai (saking lamanya sampai agak lupa) menolak bertemu ketua umum PBNU selama 2 tahun. Sewajarnya dan bahkan menjadi sebuah aturan tak tertulis, ketika ormas besar mengadakan reformasi, maka ketua terpilih akan soan ke istana Negara, meminta restu.

**

Malang tak dapat di tolak, Abu Hasan yang sudah kalah mencoba menghimpun secercah harapan, ia pun meminta ganti rugi kepada Letnam Jenderal R. Hartono selaku orang kepercayaan pak Harto, karena memang sudah ada perjanjian dan teken kontrak politik sebelumnya. Apa kata Jendal kelahiran Madura?

“Perjanjiannya kan kalau kamu berhasil mengalahkan Gus Dur. Faktanya, kamu justru yang kalah.”

Seperti kata kiyai Fulan “sudah jatuh tertimpa tangga, udah kalah digebuki tentara. Akhirnya, pak Abu pun mendatangi Gus Dur dan meminta maaf. Bagaimana sikap cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu? Dengan sikap ksatria dan mengayomi, GD justru mengajak Abu Hasan keliling belusukan ke Jawa dan luar Jawa. Ia menyeimbangkan kekuatan internal dengan menggunakan Abu Hasan dan konsolidasi eksternal melalui tangan Mbak Tutut. Kok mbak Tutut? Ya, dengan begitu lunaklah hati sang bapak (pak Harto). “Ngemong anak entuk restu bapak.” Cerdik to?

(Allahu a’lam)

**

“mas, kalau muktamar kali ini gimana?” sadar dialihkan, pak Mukani menanyakan kembali ke pembicaraan, muktamar 2015.

“ah, saya ndak ada urusan dengan “dinamika” NU ini, pak. Dinamika itu kalau ditilik lagi artinya ruwet. Saya ini hanya “supporter sepakbola” yang mencintai club, tidak ada efek dan tidak ada urusan dengan saya mengenai siapa yang bakal menjadi pelatihnya, tetep saya mencintai club, itu saja. Dan suporter yang bijak tidak membiarkan kopinya dingin dan membeku, monggo disruput kopinya.”

“hahaha.” Kelakar pak Mukani sembari menablek punggung saya.

Saya pun berpamitan dengan menggunakan bahasa yang sopan “sampun, pak. Saya mau mBaBu (mBakul Buku: jualan buku) lagi, ini sudah melebihi batas ngobrol, hahahaha.”

Kalian pasti berfikir, saya ini orang yang kurang ajar mempermainkan penulis ternama, bahkan ngibuli?

Maaf, sayang sekali, kalian benar.


*Staff penerbit Tebuireng divisi marketing.

Tebuireng, 5 Januari 2016