
Di sebuah desa yang terpencil, jauh dari keramaian kota, terdapat pohon-pohon yang masih asri, memberi kesegaran dan kedamaian. Di desa inilah tinggal seorang gadis cantik dan mungil bernama Wahida. Kehidupannya meski sederhana, begitu tenang. Meskipun hidup di desa penuh dengan keterbatasan, Wahida merasa lebih damai daripada harus terjebak dalam kegaduhan kota yang tiada henti. Wahida dan keluarganya menjalani kehidupan dengan kesederhanaan yang penuh rasa syukur.
Namun, di balik kehidupannya yang damai, Wahida tak bisa menahan rasa ingin tahu tentang kehidupan yang lebih serba kecukupan. Dalam hatinya, dia sering membayangkan hidup yang penuh dengan kemewahan. Membayangkan menjadi orang kaya yang tak perlu bekerja keras, hanya duduk dan uang mengalir begitu derasnya. Tetapi, meskipun harapan itu ada, Wahida tahu bahwa untuk meraih derajat yang lebih tinggi, pendidikan adalah kuncinya. Tanpa lelah, dia terus belajar dan berusaha mengukir prestasi demi keluarganya, untuk menjawab pandangan meremehkan yang sering datang kepada mereka.
Suatu sore, sepulang kuliah, Wahida mendengar suara notifikasi dari ponselnya. Saat membuka pesan tersebut, dia melihat sebuah undangan pernikahan dari teman lamanya, Jihan, yang dulu bersamanya di Malang. Undangan itu langsung membuatnya tersenyum. Tanpa berpikir panjang, Wahida membalas pesan tersebut dan menyatakan niatnya untuk hadir di pernikahan teman tersebut.
Setelah itu, Wahida bergegas pulang dengan motor scoopy hijau kesayangannya. Di sepanjang perjalanan, dia tidak henti-hentinya mengucapkan tahmid, tasbih, dan takbir, doa-doa yang selalu diajarkan oleh almarhum ayahnya yang sangat dia cintai. Dalam hati, Wahida terus membayangkan kehidupan temannya yang akan menikah. Kehidupan yang terlihat sangat mewah, dengan kemudahan yang tiada habisnya. Namun, di sisi lain, dia juga ingat bahwa Jihan berasal dari keluarga yang penuh masalah, orangtuanya yang bercerai. Meskipun begitu, kehidupan Jihan setelah menikah ternyata lebih bahagia, jauh dari yang Wahida bayangkan.
Sesampainya di rumah, Wahida disambut oleh ibunya yang begitu hangat. “Bu, Jihan nikah minggu depan, undangannya baru saja Wahida terima,” ujar Wahida sambil menyerahkan undangan pernikahan itu.
Ibunya tersenyum dan berkata, “Jadi nanti kamu ke Malang, ya? Hati-hati di jalan, Nduk. Salam ibu untuk Jihan, semoga mereka menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.”
Dengan restu dari ibunya, Wahida memeluknya erat. Bagi Wahida, perjalanan ke Malang adalah momen istimewa, karena dia bisa bertemu teman lama dan merasakan suasana pernikahan yang megah.
Hari-hari pun berlalu, dan Wahida mulai kebingungan memilih pakaian untuk acara tersebut. Seperti kebanyakan perempuan, dia merasa tidak punya baju yang pantas, padahal lemari sudah penuh. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya dia memilih abaya coklat dengan jilbab pashmina kaos yang menambah kesan elegan di wajahnya.
Pagi itu, sebelum berangkat ke Malang, Wahida berpamitan kepada ayah, ibu, dan neneknya. Bersama teman-teman alumni, dia pun berangkat ke Malang. Sepanjang perjalanan, tawa dan cerita lepas mengisi ruang perjalanan. Teman-temannya mengingatkan Wahida akan masa-masa indah bersama di Malang.
Sesampainya di lokasi pernikahan, Wahida terpesona. Acara pernikahan itu sangat megah, dengan dekorasi yang memukau dan sajian makanan yang begitu beragam. Wahida hanya bisa terdiam, memandangi semuanya dengan takjub. “Semegah ini kah pernikahan orang kaya?” gumamnya dalam hati.
Setelah menikmati hidangan dan berfoto bersama pengantin, Wahida dan teman-temannya berpamitan untuk segera pulang, menghindari hujan yang mulai turun. Sepanjang perjalanan pulang, mereka terus berbincang tentang acara dan dekorasi pernikahan yang begitu mewah.
Saat sampai di rumah, Wahida kembali disambut oleh kedua orang tuanya dengan penuh kasih. Setelah makan bersama, Wahida bercerita tentang segala hal yang dia lihat di pernikahan Jihan. “Enak ya, Bu, jadi orang kaya, seperti Jihan?” tanya Wahida dengan nada serius.
Mendengar itu, ayah dan ibu saling memandang dan tersenyum. Ayahnya kemudian berkata, “Nduk, hidup dengan kekayaan itu memang ada enaknya, tapi juga banyak kekurangannya. Orang kaya sering merasa tidak tenang, takut hartanya dicuri, atau takut sesuatu yang buruk terjadi. Kalau kita hidup sederhana, insya Allah hidup akan lebih tenang.”
Ibu menambahkan, “Hidup itu sawang sinawang, Nduk. Setiap orang punya cerita hidup masing-masing. Apa yang kita lihat dari luar tidak selalu menggambarkan keseluruhan. Jihan, misalnya, dulu hidup dalam ketakutan karena orang tuanya bercerai. Kebahagiaan bukan hanya tentang uang.”
Wahida terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. “Terima kasih, Ayah, Ibu, atas semua pelajaran hidup yang sudah kalian berikan. Kalianlah support sistem terbaik dalam hidupku,” ucap Wahida dengan penuh rasa syukur.
Kemudian mereka berpelukan, merasakan kedamaian dalam hati. Wahida kini menyadari bahwa sejatinya hidup bukan tentang banyaknya uang, tetapi tentang bagaimana menjalani hidup dengan penuh rasa syukur, menghargai apa yang sudah diberikan, dan menerima takdir dengan lapang dada. Karena kebahagiaan sejati datang dari ketenangan hati, bukan dari apa yang dimiliki. Seperti kata ibunya, hidup itu sawang sinawang, setiap orang punya jalannya masing-masing.
Penulis: Wan Nurlaila Putri