Oleh: Cholidy Ibhar*
Ade sejumlah motif menjadi santri. Adakalanya, murni dihardik dan diperintah orang tua. Ada yang karena motif dari dalam diri santri itu sendiri. Ada pula yang kuatnya keinginan orang tua serupa dengan minat sang anak.
Ada yang terpengaruh orang lain yang sukses saat keluar dari pesantren. Dan, masih ada lagi, yang lantaran ingin “mengobati” dan menyembuhkan penyakit yang diderita anaknya. Yang terakhir ini, bisa jadi karena kenakalan anak atau pathologi sosial seperti mengidap kecanduan narkoba. Ada motif lainnya–kendati kini kian sepi peminatnya, nyantri dengan maksud memperoleh kedigdayaan.
Sudah barang pasti, rupa-rupa motif itu sangatlah berpengaruh kepada kualitas kesantrian dan bobot ketika kelak keluar sebagai mutakharrij atau alumni pesantren. Lantaran secara teoritik, motif merupakan “the inner dynamic”, nilai dan penggerak laku dari dalam diri seseorang. Niatan, azam, dan motivasi yang benar mampu melecut secara linier langkah-langkah yang serba positif di kemudian hari.
Ustadz Ali Musthofa sejak mula dan berada pada model santri yang padu antara keinginan orang tua dan dirinya sendiri untuk menjadi santri atau “tafaqquh fiddin”. Mudah dimengerti, kelak apa yang diperbuatnya senantiasa paralel dengan motif atau “aqsha al-ghayah” menjadi santri. Ini tercermin pada pilihan langkah, aktifitas dan tingkah laku di Pesantren Tebuireng.
Ustadz Ali Musthofa penganut dan pengamal hadis “falyaqul khair auliyasmut”. Pendiam, “tidak rewok”, lebih banyak mendengar. Meminjam istilah dari guru Bahasa Inggris Ustadz Ali Musthofa yang sangat populer di tahun 1970-an di Pesantren Tebuireng, Pak Gunadi, “silent is gold”. Seperlunya dalam bertutur dan menghindari ngobrol-ngobrol yang sekedar menghabiskan waktu.
Kloplah, raut muka yang dari sono-nya serius dengan ekspresinya yang tidak menyukai kesantaian. Kemanfaatan, menjadi tolok ukur Ustadz Ali Musthofa dalam menggunakan waktunya. Wajarlah bila sekilas ada yang menuding mendayung di atas rutinisme yang tampak monoton dan membosankan, namun sesungguhnya yang pertama dan utama bertujuan mencapai target jangka panjang: meraih predikat santri yang berkualitas, tafaqquh fiddin dan ber-akhlaqul karimah.
Bahkan kabarnya, gestur, talenta, gharizah yang melekat pada diri Ustadz Ali Musthofa Ya’kub sewaktu remaja, sejak di kampungnya sudah ada yang “meramalkan” bahwa di kemudian hari akan menjadi “orang besar”. Ternyata, seincipun tidak meleset. Ustadz Ali Musthofa menjadi ahli hadis yang terhitung langka di negeri ini, bahkan lebih hebat lagi kelasnya tidak sekedar domistik, namun levelnya internasional atau kondang di berbagai belahan dunia. Lewat berbagai karyanya yang begitu banyak, larisnya diundang dalam perhelatan akademik dalam pelbagai ceramah di dalam dan luar negeri, mengukuhkan bobot keilmuannya.
Perhatikan kritik tajam dan telak Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kud terhadap Muhammad Nashiruddin al-AlBani. Padahal, tidak sedikit penyanjung dan analisis hadisnya dirujuk sebagai kata putus. Tentunya, banyak yang terperangah saat Ustadz Ali Musthofa mendemontrasikan kapasitas kepakaran hadisnya dalam menguliti secara teliti dan menunjukkan kelemahan pemikiran Muhammad Nashiruddin al-AlBani.
* Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen