Tebuireng.online– Budidaya ikan lele semakin diminati kalangan santri di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Hal itu tidak terlepas dari intervensi bantuan kolam budidaya ikan lele dengan sistem bioflok yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun lalu.
“Di sistem bioflok ini, kebutuhan pakan bisa ditekan hingga 50 persen. Di Tulungagung, untuk menghasilkan satu kilogram lele, dibutuhkan pakan sejumlah 1,6 kilogram. Tapi dengan sistem bioflok, kebutuhan pakan bisa ditekan hingga 0,8 kilogram,” ungkap Sekretaris Jenderal KKP Rifky Effendi Hardijanto saat menghadiri Kuliah Umum “Mengembangkan Spirit Kewirausahaan di Kalangan Santri” di Yayasan Khoiriyah Hasyim Seblak, Jombang, Jumat (05/01/2018).
Penghematan itu, lanjut Rifky, diperoleh karena lelenya diberi pakan flok yang dihasilkan dari probiotik. “Inilah yang membuat lele sistem bioflok menjadi higienis,” imbuh alumnus Institute Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya itu.
Ia menceritakan, saat mendampingi kunjungan Presiden Jokowi ke Sumenep, awal Oktober lalu, rombongan presiden sempat disuguhi sashimi dari lele. “(Sashimi lele) itu hanya bisa didapatkan dari hasil produksi kolam sistem bioflok. Rasanya juga enak, ada kenyal-kenyalnya seperti campuran antara salmon dan cumi,” lanjutnya.
Hasil produksi kolam sistem bioflok itu akan jadi lebih higienis jika peternak lele mau menggunakan pakan mandiri. “Kalau produksi lele, nila atau gurami, kemudian pakannya berasal dari bahan yang diperoleh dari kekayaan alam setempat, kita praktis membuat perputaran rupiah itu hanya ada di Indonesia. Kalau lelenya diekspor, berarti kita menarik devisa. Ini tentu memberi dampak ekonomi yang luar biasa,” tegasnya.
Pendiri Roemah Snack Mekarsari Ida Widyastuti yang juga menjadi pembicara dalam kuliah umum tersebut mengisahkan pengalamannya merintis jalan menjadi eksporter aneka camilan, sambal tradisional hingga lele. “Santri Jombang harus bertekad, sepulang dari pondok harus bisa merintis usaha sendiri,” ujar perempuan kelahiran 1974 ini.
Kepada para santri, Ida menuturkan bahwa keberhasilan yang diraihnya tidak datang tiba-tiba. Sejak kecil hingga lulus SMA, perempuan kelahiran Jombang itu sebenarnya hidup dalam kemiskinan. Pekerjaan berat menjadi buruh tani dilakoninya sejak usia dini. “Setelah lulus SMA, sekitar 1997, saya pernah menjadi buruh kecil di Batam dengan gaji Rp 157 ribu sebulan,” kisahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ida juga sempat memutarkan film dokumenter yang menceritakan perjalanan hidupnya. Dalam film itu digambarkan, saking menderitanya, Ida sempat menggugat Tuhan atas kemiskinan tak berkesudahan yang dialaminya.
Film singkat itu juga menggambarkan titik balik yang dialaminya dan kemudian menuntunnya merintis jalan berwirausaha hingga menjadi eksporter camilan, sambal dan ikan beku (frozen fish). Ia juga mengulas prinsip bisnisnya yang berpedoman pada Motherhood Triangle (sharing, caring and loving).
Usai kuliah umum, Rifky dan Ida menyempatkan diri mengunjungi kolam lele sistem bioflok yang dikelola oleh Panti Asuhan Al-Choiriyah Seblak. Rifky berharap, para santri dan pengelola kolam lele dapat memanfaatkan peluang ekspor yang telah dibuka oleh Ida tersebut.
Menanggapi hal itu, Faiz Ahmad Elsaputra (28), salah satu santri pengelola lele menyatakan kesanggupan untuk memenuhi harapan dari KKP. “InsyaAlloh kami usahakan yang terbaik dalam pemanfaatan dan pengelolaan kolam bantuan dari Bu Menteri Susi ini,” ujar santri yang juga alumnus ITS Surabaya itu.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto menyatakan komitmennya untuk membantu pemberdayaan ekonomi kalangan pesantren. “KKP berkomitmen membantu kalangan pesantren untuk budidaya ikan. Harapan kami, minimal bisa berkontribusi dalam perekonomian lokal dan peningkatan gizi santri,” ujar Slamet yang turut hadir dalam kunjungan tersebut.
Pewarta: Nur Hidayat
Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin