Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #16

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Sebagai pesantren besar, Tebuireng telah mencetak banyak tokoh dan pejuang di berbagai bidang. Kemasyhuran Kiai Hasyim tentu sudah melegenda di mana-mana. Banyak santri yang ingin mengaji kepada beliau. Keikhlasan dalam mendidik lah yang kemudian membuat santri-santri Tebuireng, khususnya yang masih bisa sempat menimba ilmu kepada beliau, bermanfaat bagi sesamanya. 

Dalam nuansa kemerdekaan ini, patut kita perbincangkan, beberapa santri Kiai Hasyim yang turut serta berjuang merebut dan mempertahankan RI dari rongrongan sekutu.

Beberapa nama telah kami pilih, sebagai santri-santri fenomenal. Di antaranya ada yang menjadi komantan militer, politisi, dan lain sebagainya. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

1. KH. Achyat Chalimi

KH.  Achyat Halimy,  dilahirkan pada tahun  1918,  dari pasangan  suarni istri Hj.   Marfu’ah   binti  Ali  dan  H.   Abd.   Halim   dari  Gedeg  Mojokerto. Setelah bersekolah di Sekolah Rakyat Miji (Sekarang SD Miji 1) Achyat kecil berserta kakaknya Aslan melanjutkan sekolahnya ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Mereka juga sempat diajar secara langsung oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, dan putra beliau KH. A. Wahid Hasyim. Bahkan karena usianya yang hampir sebaya, KH. Wahid Hasyim selain sebagai guru, juga  sebagai sahabat dalam berbagai diskusi, termasuk juga sebagai sahabat dalam barisan perjuangan di masa proklamasi kemerdekaan.

Sebagai anak laki-laki yang yatim beliau mempersiapkan  diri supaya kelak  bisa  menjadi pelindung  bagi  ibunya yang  sudah tiada bersuami. Justru  karena  itu,  beliau  tanpa  ragu-ragu  memutuskan  untuk  belajar   sambil bekerja  dan bekerja sambil belajar, sehabis mengikuti pelajaran beliau pun lantas bergegas menjual  es.

Kalau liburan beliau pulang, dan kembali ke pondok sambil membawa kain batik untuk dijual di pasar. Selama di Tebuireng, Kiai Achyat juga menyucikan baju teman-temannya dengan imbalan diikutkan makan atau nunut makan dengan mereka. Itu semua dilakukan sebagai tempaan seorang Achyat muda dalam menuntut ilmu.

Setelah keluar dari Tebuireng, Kiai Achyat dan kakaknya Kiai Aslan malah mendirikan Pesantren Sabilul Muttaqin, Lazkar Hizbullah Mojokerto, dan menjadi pejuang yang berpengaruh. 

Kiai Achyat menjadi pioner perjuangan melawan penjajah dan sekutu yang kembali ingin menjajah bumi pertiwi. Bersama sahabat beliau, Kiai Munasir dan Kiai Yusuf Hasyim, Kiai Achyat memimpin perjuangan para pemuda muslim dan santri dalam pertempuran melawan sekutu, termasuk saat pertempuran 10 November 1945.

Apalagi sejak adanya fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh sang guru, Kiai Hasyim.  Pasca revolusi Kiai Achyat tidak berhenti berjuang untuk umat, selain mendirikan beberepa sekolah dan pondok pesantren, beliau mendirikan Rumah Sakit Sakinah di Sooko Mojokerto dan memprakarsai Serikat Tani Islam Indonesia (STIT).

Beliau juga mengabdi di NU dengan dedikasi yang tinggi. Selama pemberontakan PKI tahun 1965, beliau juga mengkomando pemuda Ansor untuk membendung tindakan kejam PKI. 

2. KH. Munasir Ali

Salah satu kiai didikan Kiai Hasyim dan menjadi komandan di era kemerdekaan adalah KH. Munasir Ali. Selama perang kemerdekaan, ia aktif berjuang dan berkarir di dunia kemiliteran. Kariernya dimulai dengan mengikuti latihan kemiliteran prajurit Jepang dengan masuk sebagai anggota penerangan Heiho.

Kiai Munasir aktif sebagai pasukan Hizbullah dengan menjadi Komandan Batalyon Condromowo dan ikut berperan dalam mendirikan Hizbullah Cabang Mojokerto. Ketika Hizbullah melebur ke dalam barisan TNI, ia pun terdaftar sebagai anggota aktif, hingga akhirnya diangkat menjadi Komandan Batalyon 39 TNI AD.

KH. Munasir Ali lahir di Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Beliau lahir pada tanggal 02 Maret 1919 dari pasangan Haji Ali dan Nyai Hasanah. Ayahnya adalah seorang Lurah di Desa Modopuro. 

Pendidikan pertama kali yang dimasuki oleh Munasir Ali adalah sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) yakni lembaga pendidikan milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lalu melanjutkan ke pendidikan pesantren.

Pesantren pertama yang disinggahi oleh Munasir Ali adalah pesantren Al Islah Trowulan Mojokerto, dibawah asuhan KH. Dimyati. Tidak lama setelah itu, Munasir muda melanjutkan pendidikan ke Pesantren Tebuireng. 

Setelah pulang kampung, tepatnya pada tahun 1939, Munasir Ali ikut beraktifitas mengamalkan ilmunya dengan beraktivitas ditengah masyarakat. Beliau juga menjadi anggota Persatuan Petani NU dan bergabung di organisasi Ansor Mojokerto yang dibentuk pada tahun 1938 oleh teman sepondoknya di Tebuireng yakni KH. Achyat Halimi.

Di Ansor inilah dunia aktivisnya ditempa. Ia mendampingi masyarakat dikala masa masa sulit dijajah Jepang. Juga menjadi saksi beragam gelombang peristiwa yang dialami sebelum dan pasca kemerdekaan.

Karena keberanian dan ketangguhan dalam perjuangan itu, maka ketika Laskar Hizbullah Mojokerto dibentuk, Munasir Ali ditunjuk menjadi Wakil Ketua Laskar Hizbullah Mojokerto. Bahkan Munasir Ali juga menjadi staf Dewan Perjuangan Daerah Suarabaya (DPDS) yang kemudian membentuk Tentara Rakyat Djelata yang berjumlah 2000 orang.

Santri menjadi pemimpin tentara yang beranggotakan umum.  Beberapa pertempuran juga pernah dilakukan oleh Kiai Munasir, selain di Surabaya, juga di Mojokerto, Jombang, dan Nganjuk. Dengan karir yang menjak di kemiliteran, pada tanggal 31 Maret 1953, Munasir Ali memutuskan untuk mengundurkan diri dari kemiliteran. Pangkat terakhirnya kala itu, Mayor dengan nomor NRP 10512.

Pasca mundur dari militer, beliau aktif di partai NU, lalu membidani juga lahirnya PKB. Di dunia pendidikan Kiai Munasir mendirikan lembaga pendidikan Dahlan Syafi’i di Pekukuhan Mojosari. 

3. KH. M. Hasyim Latief

Satu lagi santri Kiai Hasyim yang sangat berpengaruh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI alias di masa-masa revolusi kedaulatan 1945-1949, yaitu KH. M. Hasyim Latief.

Hasyim Latief  lahir di desa Pakelan Kecamatan Kota Kabupaten Kodya Kediri pada tanggal 16 Mei 1928 hari  Rabu (26 Dul qoidah 1346 H). Namun, pada 1933 ia dan keluarga pindah ke Sumobito Jombang. 

Beliau nyantri di Tebuireng sejak umur 8 tahun di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari. Santri Hasyim ditempatkan di Pesantren Seblak dekat dengan Tebuireng di bawah asuhan KH. Mahfudz Anwar. Tebuireng saat itu masih belum menggunakan sistem klasikal. 

Pada Januari 1945, dibentuk dewan pimpinan Hizbullah dengan KH. Zainul Arifin sebagai ketua komandan dan Mr Moch Roem sebagai wakil ketua. Sedangkan anggota pengurusnya, antara lain: KH Iman Zarkasi, S Surowijono, Soedjono Hadisoediro, dan Anwar Tjokroaminoto.

Kiai Hasyim Latief pun ikut serta pelatihan Hizbullah yang dipusatkan di Cibarusa, Bogor. Awal karirnya di Hizbullah ia mulai di kala ia berstatus sebagai peserta pada pelatihan opsir Hizbullah se-Jawa dan Madura.

Kiai Hasyim Latief langsung menjabat sebagai seorang komandan latihan. Dan ketika kisaran tahun 1947 terjadi peleburan antara TNI dengan Hizbullah, ia masuk ke dalam resimen 293 dengan komandan Letkol KH A Wahib Wahab. Pangkat terakhirnya yang ia panggul adalah Komandan Kompi I Yon Munasir.

Bersama Kiai Yusuf Hasyim dan Kiai Hasyim Latief dituduh terlibat pemberontakan DI/TII. Mereka dikejar-kejar pemerintah Soekarno. Kedua ditangkap dan diadili. Kiai Hasyim Latief memang tidak setuju pemerintah memberantas DI/TII karena tidak ingin ada pertumpahan darah antar muslim. 

Setelah perjuangan militer, Kiai Hasyim Latief memilih perjuangan di NU dan pendidikan. Mendirikan yayasan di Sepanjang Sidoarjo dan mendirikan Pertanu (Persatuan Tani dan Nelayan NU).

Ini untuk melawan gerakan-gerakan PKI yang menggunakan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. PKI menggunakan massa-massanya dari BTI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat untuk mengganggu, bahkan menyerobot tanah-tanah umat Islam. 

Itulah tiga santri Kiai Hasyim yang turut serta berjuang dijalur militer dan keagamaan. Mereka semua adalah santri yang terbukti ikut dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.

Bahkan mereka menjadi komandan-komandan yang tangguh dan sukses memimpin prajurit di medan peperangan. Sebenarnya masih banyak santri Kiai Hasyim yang berjuang baik di militer maupun non militer, namun tak mungkin dapat disebutkan satu-persatu. 

*Tim Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.