Oleh: Umdatul Fadhilah*
Matahari sudah tumbang di kaki langit, menyisakan jingga yang sebentar lagi hilang berganti gelap malam. Aku tetap berdiri di balkon meski Adzan telah berkumandang. Masih menyaksikan sisa-sisa sunset yang perlahan mulai tenggelam dimakan malam.
Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya bagi diriku, menimba ilmu di kota santri menjadi santriwati di sini. Dari ujung Jawa Tengah kini berada di ujung Jawa Timur. Tepat cahaya sunset habis sudah, rinduku semakin menggebu, membuncah ke angkasa. Disaksikan oleh bintang yang berkelap-kelip. Aku merindukan Ibu, Ayah juga adikku.
“La, Shalat ayo,” ajak gadis berjilbab itu padaku. Suaranya membuyarkan lamunanku namun tidak dengan rinduku. Aku pun mengangguk mengiyakan pintanya. Segera kuambil air wudhu lalu bergegas pergi ke masjid bersama santri lainnya. Entahlah, bukan karena tidak betah, bukan karena menyesal, tapi aku sangat merindukan sosok-sosok yang selama ini selalu menemaniku. Ibu, aku rindu ocehanmu ketika aku malas mencuci piring. Ayah, aku rindu kata-kata motivasi darimu, dan adik, aku rindu engkau menggangguku dengan candamu yang jahil itu. Sungguh aku merindukannya.
“Kamu kenapa sih La? Udah seminggu kelihatan murung terus, sini cerita sama mbak,” ucap gadis itu padaku. Sembari merangkulku. Kami masih memakai mukenah, masih ingin di masjid beberapa menit sebelum kemudian bel berbunyi tanda diniyah masuk. Namanya mbak Arin. Ia lebih tua dua tahun dariku. Ia sudah mondok kurang lebih 6 tahun. Aku sangat dekat dengannya. Entahlah bagaimana ceritanya kami bisa dekat, yang pasti mbak Arin sudah menganggapku seperti adiknya sendiri. Aku yang tak memiliki kakak pun serasa memiliki kakak. Dia yang paling peduli padaku. Dia pun selalu berusaha membuatku bercerita tentang masalah yang ku hadapi. Jurusannya matematika, namun kalau ditanya masalah agama. Subhanallah. Aku selalu salut mendengar jawabannya. Sedangkan aku. Aku bagai balita yang baru belajar berjalan. Selalu berhati-hati dalam melangkah. Dan selalu ingin mendengarkan setiap cerita serta hal yang belum diketahui.
Ku tatap mbak Arin. Rasanya ingin semua yang ada dibenak ku luapkan padanya. Namun entah mengapa mulut ini hanya diam membisu di depannya. Mbak Arin menatapku kembali. Tatapannya tajam.
“La…. kamu rindu keluarga ya?” tanyanya lembut. “Mbak juga pernah lho ngerasain kayak kamu,” tambahnya. Aku terdiam sejenak. Mencerna yang diucapkan mbak Arin. Sedikit terkejut. Belum Aku bercerita, mbak Arin sudah mengetahuinya. Aku pun mulai berfikir. Mencoba bertanya-tanya pada diriku sendiri. Selama ini mbak Arin tak pernah terlihat murung. Padahal ia pernah bercerita, bahwa sudah sepuluh tahun tidak beretemu Ayah dan Ibunya.
“Nggih mbak, Kulo kok mboten pernah semerep sampean sedih?” tanyaku. Mbak Arin hanya tersenyum. Seperti akan ada banyak kalimat yang tersimpan di lubuk hatinya. Aku semakin penasaran. Kringgggggggggggg….. Kringgggggg…… Kringgggggg. Bel diniyah berdering kencang. Aku menghela nafas panjang. Sedikit kesal, karena ada banyak jutaan pertanyaan yang akan ku lontarkan padanya. Rasa penasaran ini terpaksa ku pendam dahulu. Mbak Arin lagi-lagi hanya tersenyum melihatku, bahkan sempat menahan tawa melihatku kesal.
“Yah… mbak ko malah ngetawain sih,” gerutuku kesal.
“Ahahahah…. mboten ih,” jawabnya dengan menahan tawa. “Mbak tau, kamu kepo. Yaudah ntar habis diniyah jangan tidur dulu. Nanti mbak cerita,” tambahnya. Lalu merangkulku.
Suasana ruangan diniyah mulai ramai. Para santriwati berpakaian rapi menyandang kitab. Duduk manis menunggu ustadz. Aku duduk nomer dua di pojok tembok. Alasannya singkat. Agar bisa nyender. Ustadz pun sudah datang. Para santriwati mulai anteng.
“Assalamu’alaikum. Wr. Wb,” salam sang ustadz.
“Wa’alaikumssalam.Wr.Wb,” jawab santri serentak.
“Baiklah, kita mulai sekarang ngajinya, sebelumnya marilah kita berdoa dahulu. Alfatihah….” tambahnya.
“Jadi sampai mana ngajinya?” tanya sang ustadz, sembari membuka kitabnya.
“Sampai bab keutamaan menuntut ilmu ustadz,” jawab salah seorang santriwati.
“Baiklah kita mulai…” ucap sang ustadz.
“Nggih ustadz,” jawab kami serempak menggunakan bahasa Jawa.
“Bissmillahi.. Kelawan nyebut Asmane Allah. Arrohmani.. Dzat kang paring welas asih ing ndalem dunyo. Arrohimi dzat kang welas asih ing ndalem akherat bloko..”
Ucap ustadz yang diawali dengan membaca basmalah dan mengartikannya, sudah mulai mendikte maknanya. Aku pun mencatat apa yang diucapkan ustadz. Meski belum pernah mondok sama sekali, aku tidak terlalu kagok dengan ngaji seperti ini. karena di rumah Ayah mengajar ngaji kitab seperti ini. Walau dulu, aku hanya mendengarnya dari dalam kamar.
Sudah hampir selembar kami memaknai kitab ini. Para santriwati sudah mulai mengantuk, beberapa dari kami bahkan ada yang sudah memejamkan mata, padahal masih terduduk. Aku juga beberapa kali menguap. Terkadang tertinggal apa yang dikatakan ustadz tadi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Diniyah sudah selesai. Para santri bergegas keluar dari kelas diniyah. Aku paling akhir. Sengaja.
“Dila… ayo!” Ajak salah satu santriwati.
“Eh….. iya duluan aja,” kataku sambil tersenyum.
Aku berjalan menyusuri lorong pesantren. Dinginnya malam itu benar-benar menusuk ke tulang. Aku dekapkan dua tanganku ke tubuh. Sesekali menggosok-gosokkan kedua telapak tangan. Dan ku tempelkan ke area mulutku. Ruangannya sudah mulai sepi. Sebagian dari santri bercerita tentang keanehan yang ada. Aku seringkali diam, tidak ikut campur. Karena sejujurnya diriku takut mendengar cerita seperti itu. Tapi entah ada angin apa, malam ini aku tidak takut sama sekali. Dan deg tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Aku menoleh perlahan. Bulu kudukku sudah mulai berdiri. Dan tenyata ah mbak Arin. Bulu kudukku kembali tidur.
“Jangan ngelamun terus ah.” Ucapnya padaku.
“Gak ih.” Jawabku meledek.
Ia pun merangkulku. Kami berdua berjalan bersama menuju kamar.
“Mbak aku masih penasaran yang tadi. Mbak cerita dong. Kenapa sih mbak nggak pernah sedih?” Tanyaku sangat penasaran. “Aku lho pernah sedih,” jawabnya singkat. Sesampainya di kamar. Aku langsung duduk di kasur. Namun mbak Arin malah masih di luar. Bertengger di balkon di depan kamar kami. Karena kami berada di lantai dua.
“Mba kok nggak masuk?” Ucapku, keluar menghampiri mbak Arin.
“Di sini tuh udaranya seger tahu, kalau malam,” ujar mba Arin
“Serem ah mbak. Ayo masuk,”
“Mbak bakalan cerita di sini. Kalau di kamar nanti kasihan yang lain. Nanti ada yang terganggu. Dan mbak nggak bisa leluasa cerita ke kamunya,”
“Tapi ini udah mau jam sepuluh,”
“Sampai pagi juga nggak apa-apa kan? Biar bisa lihat sunrise.
Aku hanya mengangguk. Lagipula aku sangat penasaran.
“Aku juga manusia La, aku juga bisa sedih. Namun tinggal bagaimana cara kita menyambut kesedihan tersebut. Bagaimana caranya agar kesedihan tersebut tidak sampai mengganggu keseharian kita. Dan kalau bisa, jangan sampai diketahui orang lain.” Ujar mbak Arin mengawali ceritanya.
“Aku pernah merindukkan sosok orangtua dalam hidupku, aku ingin bisa seperti yang lain. Setiap setahun sekali ketika lebaran bisa berkumpul bersama orangtua mereka. Namun aku bisa apa. Aku tak bisa jika harus merengek meminta bertemu dengan kedua orangtuaku. Aku sadar, aku mengerti. Mereka merantau pergi jauh di negeri orang untuk membiayai kehidupanku. Aku tak pernah menyesal, ketika dari lulus Madrasah Ibtidaiyah di serahkan ke pesantren. Karena aku juga sadar. Ini demi kebaikanku. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar,” mata mbak Arin menerawang, kelihatannya ia hampir meneteskan air mata.
“Mbak…. “ Gumamku padanya. Mataku mulai berkaca-kaca. Rasanya tak dapat ku bendung lagi air mata ini. Aku ingin tumpahkan namun aku melihat mbak Arin belum setetespun air mengalir di matanya..
”Terus bagaimana caranya mbak ngelalui itu semua, maksudnya menyambut itu gimana mbak, masa kesedihan disambut?” Tanyaku sambil menyeka ujung mataku yang sedikit berair. Dengan rasa penasaran yang amat tinggi.
“Gimana ya, kebahagiaan tanpa perlu kita persiapkan mesti kita siap menerimanya dalam suatu kondisi apapun. Tapi kesedihan? Kalau kita nggak siap, kita bisa jatuh kebawa arusnya. Maka dari itu kita harus mempersiapkannya. Caranya, Kita itu harus pandai bersyukur. Ketika mendapat nikmat kebahagiaan. Alhamdulillah. Ketika sedih? Banyak masalah? Coba deh kita pandang masalah ini dari sisi kacamata positif. Dengan adanya masalah, sebenarnya kita itu sedang dipersiapkan untuk menjadi orang yang jauh lebih kuat. Lebih dewasa,” ceritanya panjang lebar.
“Jadi, kamu jangan sedih. Jangan hanya karena merindukan seseorang. Kamu jadi galau nggak karuan,” katanya.
“Ih mbak… merindukan keluarga keles,” ucapku tidak terima.
“Eh iya. Maksudnya itu hahahaha….” Jawabnya sambil tertawa. “Doakan mereka agar senantiasa sehat dan selalu dalam lindungan-Nya.” Tambahnya.
Kami pun tertawa bersama. Kesedihanku mulai terkikis. Cerita mbak Arin membuatku bersyukur, karena aku masih jauh lebih beruntung darinya. Aku masih dapat bertemu orangtuku setahun sekali. Di atas balkon menyenderkan kedua tangan. Tidak terasa sudah menunjukkan pukul tiga malam. Karena besok hari libur. Kami berencana mengganti tidur malam ini, besok pagi sepuasnya. Mbak Arin pun menyuruhku jangan tidur. Ia mengajakku tadarrus di Masjid sembari menunggu Adzan Shubuh serta melihat Sunrise.
*Penulis adalah santri Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang, saat ini menepuh pendidikan S1 di Unhasy.