tebuireng.online– Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Indinesia berduka, menambah daftar ulama dan kiai yang meninggal pada tahun ini, giliran sesepuh NU dan kiai kharismatik dari Malang, KH. Muchit Muzadi menyusul. beliau wafat pada dini hari menjelang shubuh, Ahad (06/09) di rumah sakit Persada Malang.
Jenazah akan dishalatkan di Masjid Al-Hikam Malang atau di komplek pesantren yang dipimpin oleh adik kandungnya KH Hasyim Muazdi. Jenazah kemudian akan diberangkatkan ke Jember, di kediaman keluarga besar Mbah Muchith
KH Muchit Muzadi wafat pada usia 90 tahun. Beliau lahir di Tuban Jawa Timur pada 1925, beberapa bulan sebelum NU dideklarasikan. Mbah Muchit adalah sesepuh NU yang merupakan santri dari Rais Akbar NU Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Mbah Muchith tinggal di Jember dan pernah menjadi sekretaris Rais Aam NU KH Achmad Shiddiq pada tahun 1980-an serta menjadi mustasyar PBNU untuk beberapa periode.
Sampai akhir hayatnya, Mbah Muchit senantiasa memikirkan NU dan dalam kondisi sakit pun ia hadir dalam kegiatan-kegiatan NU terutama dalam kegiatan kaderisasi NU yang diikuti oleh anak-anak muda NU. Beliau di kenal sebagai ideolog NU garis depan yang selalu memperjuangkan NU dan ajaran Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah.
Dalam wawancara eksklusif tim Majalah Tebuireng pada 2 Oktober 2009, Beliau banyak memberikan pesan-pesan moral, dan kenangan-kenangan mengenai Sang Guru, Hadratusyaikh. “Kiai Hasyim itu sudah mandiri, secara ekonomi, ini bedanya Kiai Hasyim dengan Kiai lain”, terang beliau saat itu.
“Kalau ada acara, Kiai bikin sendiri gitu aja, tanpa proposal tanpa apa-apa. Sekarang santri puinter-puinter membuat proposal. Proposal yang dulu ya artnya rancangan kegiatan, kalau sekarang proposal yang permintaan sumbangan”, sindir beliau dengan keadaan banyak santri sekarang.
Beliau juga mengkritik, beberapa pengurus cabang di NU yang berangkat ke Muktamar tapi meminta dana dari Bupati atau Pemerintah Kabupaten/Kota. “Itu bedanya kiai dulu dengan kiai sekarang, itu sebabnya kiai sekarang tidak ada muru’ah (wibawa). Makanya jangan heran sekarang kalau pemilu Kiai morat-maret nggak karuan”, tambah beliau semakin semangat.
Selanjutnya beliau juga menyindir lewat humor, mengenai watak serba uang yang sudah merambah di tubuh NU. “Coba sekarang, diundang kampenye (pasti tanya) mana ongkosnya, kalau diundang istighosah, ada ongkosnya nggak, saya khawatir besok-besok kalau diundang jum’atan tanya ongkos (juga).
Kiai Muchit dalam perjaungan kemerdekaan pernah menjadia anggota Lazkar Hizbullah zaman penjajahan Jepang tahun 1943. Karena nyantri di Pesantren Tebuireng, beliau dididik menjadi kader NU dan kader bangsa, “Saya pulang dari Tebuireng tahun 1942, tahun 1945 saya di Tuban. Sebelum itu saya sudah ikut perjuangan yang macam-macam yang menuju pada kemerdekaan”, pungkas beliau.
Begitulah pesan-pesan beliau beberapa tahun lalu, kepada para tim Majalah Tebuireng. Selamat jalan Mbah Muchit, selamat menyusul Sang Guru, Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Jasa, pemikiran, dan perjuanganmu terhadap, NU, agama, dan bangsa ini semoga selalu terkenang, terrefleksikan, dan menjadi pesan-pesan moral sepanjang masa.
Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu. Lahul Fatihah! (abror)