Oleh : Siti Mureni*

 

Kukuruyuk……….

Suara ayam berkokok mulai terdengar saat aku tengah merapikan kembali mukenah yang kupakai saat sholat tahajud tadi. Dan benar saja ayam jago telah bangun karena waktu telah menunjukkan pukul 03.00 WIB. Namun, mataku masih terasa ngantuk karena telah begadang semalaman untuk mengerjakan tugas sekolah tadi pagi, kemudian aku pun tidur kembali sembari menunggu adzan Shubuh. Tak lama kemudian suara adzan shubuh berkumandang, dan aku pun bangun dari tempat tidurku.

Tiba – tiba terdengar suara seorang pria dari luar pintu kamarku.
“Selamat pagi nak, ayo sholat shubuh berjamaah di masjid” Sambutan hangat yang diberikan ayah untuk pagi ini.
Namaku Adara Fredella Ulani, biasa dipanggil Della, usiaku masih muda yakni 15 tahun. Aku tinggal bersama ayah dan kedua adikku, yaitu Akmal dan Aira. Akmal masih berusia 12 tahun sementara Aira 10 tahun. Ibu telah meninggalkan kami 2 tahun yang lalu karena kecelakaan saat kami hendak liburan ke Jakarta. Liburan yang kami rencanakan akan menjadi kenangan terimdah justru sebaliknya, liburan ini menjadi liburan yang menguras airmata karena kami harus kehilangan orang yang sangat kami sayangi. Aku harus kuat menjalani kehidupanku bersama ayah dan adikku.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kini ayah memiliki dua peran untuk keluarganya, yaitu sebagai ayah dan ibu. Ayah mencari nafkah untuk ketiga anaknya yang masih kecil dan juga setiap hari ayah yang menyiapkan makanan di meja untuk aku dan kedua adikku. Aku cuma bisa membantu sebagian kecil dari kegiatan yang ayah lakukan setiap hari.

Nama adalah sebuah do’a, nama adalah sebuah pengharapan dan nama adalah sebuah identitas yang bisa menggambarkan sifat, karakter dan perilaku dari si empunya nama. Ayah memberikan nama Adara Fredella Ulani kepadaku agar aku menjadi orang yang riang gembira dan membawa kedamaian untuk semua orang.

Suasana pagi ini terasa begitu cerah. Matahari menyambut pagi ini dengan senyuman lebar. Seolah-olah alam tengah ikut merasakan apa yang aku rasakan pagi ini. Setelah pulang dari masjid, ayah dan aku membuat sarapan pagi untuk kami sekeluarga. Menu sarapan pagi ini adalah nasi goreng. Ketika ayah sedang memasak, aku bercerita panjang lebar ke ayah tentang peristiwa yang aku alami saat bersekolah. Ayah begitu setia mendengarkan ceritaku dan tidak menyuruhku untuk berhenti cerita walaupan beliau sedang sibuk dengan masakannya.

Tak lama kemudian, nasi goreng ala chef ayah pun jadi. Kemudian aku bersiap-siap untuk pergi kesekolah, sementara ayah membantu kedua adikku untuk memakai seragam sekolah. Setelah selesai memakai seragam sekolah, aku dan kedua adikku menikmati nasi goreng yang dibuatkan oleh ayah. Ayah tidak ikut sarapan bareng anaknya karena beliau harus bersiap-siap untuk pergi bekerja. Ayah selalu membawa bekal dari rumah, kemudian dimakan ketika sudah sampai ditempat kerja. Sebelum ayah menuju tempat kerjanya, dengan sabar dan ikhlas beliau selalu mengantarkan aku dan kedua adikku ke sekolah.
(Tiba di sekolah)

Tettt…Tett…Tett…

Bel masuk berbunyi dan semua murid yang berada diluar kelas segera memasuki ruang kelasnya masing-masing untuk belajar. Sebelum memasuki ruang kelas, setiap murid akan diberikan satu pertanyaan mengenai pelajaran yang sudah diberikan oleh gurunya. Jika jawaban benar maka murid tersebut dapat masuk ke kelas, namun jika jawabannya salah akan diberi sanksi yaitu mengumpulkan sampah yang berserakan di lapangan sebanyak 20 buah sampah kemudian dibuang ke tempat sampah.

Tanpa terasa bel pulang berbunyi dan semua murid bergegas merapikan bukunya kedalam tas. Proses pembelajaran hari ini berjalan dengan lancar dan aku pun dapat memahami materi pelajaran hari ini.

Aku menunggu jemputan ayah didepan gerbang sekolah, namun sudah 40 menit ayah tak kunjung datang untuk menjemputku. Aku pun mulai berfikiran aneh-aneh tentang ayah. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang jalan kaki sendirian dibawah terik matahari yang begitu menyengat hari ini. Setelah sampai dirumah, aku melihat ayah sedang berbaring diatas ranjang dengan wajah pucat pasi. Tanpa berfikir lama, aku langsung menghampiri ayah.

“Ayah, Ayah kenapa ?” tanyaku kepada ayah dengan penuh khawatir dan cemas.

“Ayah baik-baik saja, nak. Ayah cuma kurang istirahat saja.” jawaban ayah dengan perasaan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa padanya.
Namun, perasaanku kali ini berkata lain. Aku takut penyakit ayah kambuh kembali. Sudah 1 tahun ayah menderita penyakit asam lambung.
Malam hari pun tiba, aku dan ayah sedang bercerita di ruang tamu tentang cita-citaku.

“Ayah, jika aku besar nanti aku ingin menjadi seorang dokter. Aku akan membantu menyembuhkan penyakit bagi masyarakat khususnya bagi yang kurang mampu.” Aku mulai bercerita kepada ayah.

“Cita-citamu sungguh mulia, nak. Gapailah cita-citamu dan buktikan janjimu itu. Jangan biarkan keterbatasan membuatmu rendah dan terbelenggu pikiran, karena ada jalan lain yang bisa kamu tempuh dari keterbatasan itu. Berikan perubahan dalam hidupmu yaitu perubahan yang mempengaruhi kehidupan masa depanmu menjadi lebih baik.” Nasihat yang diberikan ayah kepadaku

“Berusahalah bersyukur sebanyak mungkin. Hari ini mungkin belum kamu dapati tapi besok bisa jadi kamu mendapatkannya setelah bersyukur hari ini. Sekali lagi nasihat untuk kebaikanmu, walau kamu tahu bahwa nasehat tak selamanya dibutuhkan saat ini, tapi simpanlah apa yang baik. Hindari berkata tidak untuk nasihat. Tapi simpanlah nasihat itu dulu, suatu hari bisa bermanfaat bagimu.” Sambung nasihat ayah untukku.

Tiba-tiba mataku mulai mengantuk, dan aku pun pamitan kepada ayah untuk tidur terlebih dahulu. Sebelum aku memejamkan mataku, tiba-tiba aku teringat bahwa tiga hari lagi adalah hari ulang tahun Ayah yang ke 38. Aku harus membuatkan kejutan yang istimewa di hari yang spesial itu.
Adzan shubuh pun berkumandang, dan biasanya ayah selalu membangunkanku untuk sholat shubuh di masjid. Udah 15 menit aku menunggu ayah dikamar untuk membangunkanku, namun nampaknya tidak ada tanda-tanda ayah menuju kamarku. Kemudian aku memutuskan untuk menuju ke kamar ayah.

Dalam suasana malam yang masih dingin nan hening, sebuah kamar kecil dipojok belakang rumah nampaknya memberikan sebuah tanda kepadaku sebelum aku mendekatinya. Lantai rumahpun seakan-akan mencegahku untuk menghentikan langkah kaki ini supaya tidak melanjutkan niatku menuju ruangan dipojok belakang rumah. Seorang pria yang seharusnya udah bersiap untuk jamaah sholat Shubuh di masjid nampaknya masih tertidur dengan pulas. Entah, aku tidak mengerti apa yang terjadi pada pria yang 3 hari lagi berumur 38 tahun tersebut.

Tidak ada kata yang keluar dari mulutku ketika aku melihat Ayah berbaring lemah di atas ranjang. Badan ayah terasa panas dan wajahnya pucat pasi. Aku langsung menuju kerumah paman yang jarak rumahnya sekitar 10 meter dari rumahku. Kemudian aku menceritakan apa yang terjadi tentang ayah kepada paman, dan paman langsung menuju rumahku untuk membawa Ayah ke rumah sakit menggunakan becak milik tetangga. Aku pun ikut bersama paman menuju rumah sakit.

Sampai dirumah sakit sekitar 5 menit kemudian, suasana pagi di rumah sakit sudah dipenuhi lalu lalang pasien dan para suster yang akan mengantarkan sarapan pagi kepada para pasiennya. Paman langsung mencarikan dokter untuk ayah, namun sayang pagi ini tidak ada jadwal dokter praktek pagi hari. Ketika seorang suster hendak membawa ayah ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD) tiba-tiba ayah sudah tidak menghembuskan nafas lagi.

Tanpa sadar aku menjatuhkan diri di lantai dalam ruangan yang sama dengan ayah dimana beliau meninggalkan aku dan kedua adikku untuk selamanya. Seperti mendapatkan sambutan petir dengan suara yang menggelegar dipagi hari yang cerah untuk menyadarkan diriku bahwa semua yang ada didunia tidak ada yang abadi. Begitu pula dengan orang yang sangat kita sayangi, pasti akan berpisah dengan kita. Aku tidak bisa menghentikan air mata yang menetes dari kedua mataku yang sudah lebam karena menangis berjam-jam.

Jam dinding menunjukkan pukul 07.00, ayah dimakamkan di TPU belakang masjid. Aku belum bisa ikhlas menerima kenyataan ini, namun aku harus ingat bahwa aku mempunyai dua orang adik yang masih kecil dan membutuhkan aku.

Padahal esok hari adalah hari yang spesial buat ayah, dimana ia akan menggenapkan usia yang ke 38. Namun, sekarang aku hanya bisa menunggu detik-detik ulang tahun Ayah, tapi sudah tidak bisa peluk cium ayah lagi sambil bilang “Selamat Ulang Tahun, Pahlawanku”.

 

*Penulis adalah Mahasiswa UNHASY Tebuireng dan aktif di komunitas penulis muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang